Teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon pada PLTU Dianggap Praktik ”Greenwashing”
Selain dianggap tidak efektif untuk dekarbonisasi, teknologi CCS dinilai menghambat upaya transisi menuju ekonomi hijau.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya dekarbonisasi pada pembangkit listrik tenaga uap lewat penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau CCS dianggap sejumlah pihak dekat dengan praktik greenwashing. Transisi energi dan perlindungan hutan dinilai sebagai cara paling efektif untuk dekarbonisasi.
Greenwashing merupakan bentuk promosi untuk membangun persepsi bahwa produk-produk yang mereka tawarkan ataupun proses produksi yang mereka lakukan sebagai ramah lingkungan. Padahal, bisa saja produk yang dipasarkan ataupun proses produksi yang dilakukan sama sekali tidak ramah lingkungan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menjelaskan, implementasi teknologi CCS pada PLTU bisa masuk dalam kategori praktik greenwashing karena CCS akan tetap melepas emisi karbon dalam jumlah tertentu, yang tidak akan bisa disimpan selamanya.
CCS juga tidak efektif karena butuh tempat penyimpanan yang besar dalam waktu lama dan harus dipindahkan ke wilayah pembuangan yang seluruh prosesnya ini memerlukan biaya mahal. ”Sederhananya, CCS sama saja dengan menyimpan sampah atau limbah berbahaya,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (27/12/2023).
Cara paling efektif untuk dekarbonisasi tentu dengan segera bertransisi ke energi terbarukan yang emisinya jauh lebih rendah atau bahkan nol.
Secara teknis, cara kerja teknologi CCS adalah dengan menangkap karbon dioksida (CO2) dari industri minyak dan gas bumi atau lainnya, kemudian diinjeksikan ke dalam reservoir atau saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi) sehingga CO2 akan larut ataupun tersimpan.
Penggunaan CCS dianggap greenwashing karena PLTU yang menggunakan teknologi ini akan dinilai hijau lantaran buangan emisinya lebih rendah. Bahkan, dalam proses pembangunan, PLTU bisa dapat subsidi. Padahal, kenyataannya, menurut Iqbal, CCS tidak efektif dan bukan bagian dari upaya mengurangi emisi.
Solusi nyata dekarbonisasi selain CCS adalah melindungi hutan, lahan gambut, dan mangrove yang tersisa, serta memulihkan hutan, gambut, dan mangrove yang rusak. Menurut Iqbal, tidak ada yang lebih efektif dan lebih murah untuk menangkap dan menyimpan karbon selain hutan dan ekosistem alami lainnya.
”Selain itu, cara paling efektif untuk dekarbonisasi tentu dengan segera bertransisi ke energi terbarukan yang emisinya jauh lebih rendah atau bahkan nol,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Greenpeace, implementasi teknologi CCS dalam skala besar belum pernah ada di Indonesia. Kendati upaya menyuntikkan karbon ke wilayah pengeboran migas pernah dilakukan, tujuannya adalah untuk mengeluarkan lebih banyak minyak dan gas atau biasa disebut dengan metode enhanced oil recovery.
Dengan kata lain, menurut Iqbal, industri bahan bakar fosil ingin menggunakan emisi polusi karbon dioksida yang ditangkap untuk mengekstraksi lebih banyak minyak dan gas. Kondisi ini justru berpotensi menghasilkan lebih banyak polusi karbon sehingga ini akan memperburuk krisis iklim, alih-alih menjadi solusi.
Istilah greenwashing dikemukakan oleh aktivis lingkungan, Jay Westerveld, dalam sebuah esai tahun 1986 yang menyatakan bahwa industri hotel secara keliru mempromosikan penggunaan kembali handuk sebagai bagian dari strategi lingkungan yang lebih luas. Padahal, tindakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya penghematan biaya yang dilakukan oleh perusahaan.
Tujuan utamagreenwashing adalah untuk memberikan konsumen suatu nuansa atau kesan bahwa perusahaan tertentu menghasilkan produk yang berpihak kepada keselamatan lingkungan. Namun, pada faktanya, perusahaan justru menghabiskan banyak sumber dayanya untuk mempromosikan bahwa mereka ramah lingkungan daripada dampak ekologis akan produknya.
Senada dengan Iqbal, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai CCS sebagai solusi palsu dari upaya dekarbonisasi. Sebab, CCS bisa menghambat pensiun PLTU batubara karena seolah-olah emisi karbon yang dikeluarkan oleh PLTU bisa tertampung.
Bhima khawatir implementasi CCS dapat menghambat proses transisi Indonesia dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau. Sebab, pemanfaatan teknologi penangkapan karbon bisa mengaburkan solusi dekarbonasi lain yang lebih efektif, seperti salah satunya elektrifikasi kendaraan.
”CCS itu adalah upaya untuk memperpanjang usia dari industri ekstraktif dan fosil sehingga dicari cara bagaimana agar aktivitas ekstraktif terus berjalan, dengan solusi penangkapan dan pemanfaatan karbon,” ujarnya.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji menuturkan, dalam penerapan CCS, ada sejumlah tantangan. Dari sisi teknis, misalnya, perlu ada jaminan bahwa setelah diinjeksikan, CO2 tidak keluar lagi atau bocor. Selain itu, saat CO2 berhubungan dengan air, maka akan bersifat korosif sehingga ada potensi kebocoran.
Sementara dari segi keekonomian, tantangannya ialah biaya tinggi untuk menginjeksikan CO2. ”Bagaimana agar biayanya tetap ekonomis? Pemerintah akan membantu. Kalau diperlukan, pemerintah akan mengevaluasi lalu kemudian memberikan insentif,” kata Tutuka.
Tutuka menambahkan, dengan terjadinya perubahan iklim, ke depan, CO2 yang dihasilkan harus disimpan agar tak membuat temperatur bumi meningkat. Di sisi lain, hal itu juga akan menjadi bisnis tersendiri. Misalnya, industri migas tak hanya berbisnis migas, tetapi bisnis fasilitas untuk penyimpanan CO2.
”Contoh, ada negara tetangga yang tidak punya reservoir migas. (CO2) Mau disimpan mana? Kalau dibuang keluar, akan dikenakan pajak oleh negaranya sendiri. Jadi, migas dapat diperlebar untuk carbon management,” kata Tutuka.