Prabowo dan Ganjar Fokus Teknologi Dekarbonisasi, Anies Evaluasi Ulang RUU EBET
Transisi menuju ekonomi hijau berpotensi memberikan dampak ekonomi hingga Rp 4.376 triliun.
JAKARTA, KOMPAS — Dua calon presiden, yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, akan memonetisasi teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan emisi karbon atau CCUS sebagai langkah dekarbonisasi. Kendati demikian, sejumlah pihak menilai pengadopsian teknologi CCUS malah membuka ruang peningkatan produksi bahan bakar fosil industri ekstraktif.
Sementara di sisi lain, calon presiden Anies Baswedan bertekad mengevaluasi ulang Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang dinilai masih berkompromi dengan energi berbasis fosil dan nuklir yang berisiko terhadap kerusakan lingkungan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hal tersebut merupakan hasil penjabaran para anggota tim pemenangan nasional tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, dalam peluncuran ”Policy Brief” kajian Center of Economic and Law Studies (Celios) bersama Greenpeace, bertema ”Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik” yang dilaksanakan di Jakarta, Selasa (19/12/2023).
Anggota Dewan Pakar Tim Kemenangan Nasional (TKN) pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Drajad Wibowo, mengatakan, implementasi proyek CCUS di Indonesia kian menunjukkan arah positif. Jika terpilih sebagai presiden-wakil presiden, Prabowo-Gibran akan memanfaatkan CCUS sebagai alat mempercepat emisi karbon netral.
Memang CCUS membutuhkan modal investasi jumbo. Jadi, kalau memang PMA yang masuk, maka apa yang mereka (para investor) butuhkan akan kami upayakan.
”Kami sudah mengkaji sumber daya kita bahwa pemanfaatan CCUS bisa digunakan untuk mempercepat komitmen net zero emission (emisi karbon netral),” ujarnya.
Carbon capture, utilization, and storage (CCUS) ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tidak terlepas ke atmosfer. Karbon yang ditangkap dimanfaatkan, salah satunya untuk peningkatan produksi migas melalui penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR).
Karbon dioksida (CO2) dari industri minyak dan gas bumi atau lainnya, ditangkap untuk diinjeksikan ke dalam reservoir atau saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi) sehingga CO2 akan larut ataupun tersimpan secara permanen.
Persoalannya, ujar Drajad, saat ini kebutuhan modal investasi untuk pengembangan teknologi CCUS masih sangat besar sehingga pengembangan CCUS/CCS di dalam negeri masih akan diawali lewat penanaman modal asing (PMA) karena membutuhkan modal investasi jumbo.
Baca juga: Penyimpanan Karbon Jadi Daya Tarik Investasi
”Memang CCUS membutuhkan modal investasi jumbo. Jadi, kalau memang PMA yang masuk, maka apa yang mereka (para investor) butuhkan akan kami upayakan,” ujarnya.
Investasi jumbo
Besarnya biaya investasi CCUS tecermin dari persetujuan revisi rencana pengembangan lapangan (plant development home/POD) Lapangan Abadi Blok Masela oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 28 November 2023.
Hasil revisi POD itu menuliskan biaya investasi dan operasi pengembangan proyek LNG Blok Masela menyentuh angka 34,74 miliar dollar AS atau sekira Rp 535,96 triliun, termasuk biaya investasi CCUS senilai 1,08 miliar dollar AS.
Senada dengan Drajad, anggota Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Agus Hermanto, mengatakan, implementasi teknologi CCUS masuk dalam program kerja Ganjar-Mahfud untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
Penerapan teknologi CCUS pada PLTU diyakini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Meski begitu, implementasinya masih menunggu teknologi tersebut matang secara komersial.
”Jadi, teknologi tersebut masih terbilang mahal hingga saat ini. Itulah kenapa di sisi lain pembangunan PLTU baru akan dihentikan dengan secepatnya,” ujarnya.
Solusi palsu
Hadir dalam kesempatan yang sama, Direktur Celios Bhima Yudhistira menilai CCSU sebagai solusi palsu dari upaya dekarbonisasi. Pasalnya, CCSU bisa menghambat pensiun PLTU batubara karena seolah-olah emisi karbon yang dikeluarkan oleh PLTU bisa ditampung di CCSU.
Bima khawatir implementasi CCSU dapat menghambat proses transisi Indonesia dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau. Pasalnya, pemanfaatan teknologi penangkapan karbon bisa mengaburkan solusi dekarbonasi lain yang lebih efektif, seperti salah satunya elektrifikasi kendaraan.
”CCSU itu adalah upaya untuk memperpanjang usia dari industri ekstraktif dan fosil sehingga dicari cara bagaimana agar aktivitas ekstraktif terus berjalan, dengan solusi penangkapan dan pemanfaatan karbon,” ujarnya.
Dalam ”Policy Brief: Dampak Transisi Ekonomi Hijau terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia”, diperkirakan transisi Indonesia dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau dapat memberikan dampak hingga Rp 4.376 triliun ke output ekonomi nasional.
Diperkirakan transisi Indonesia dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau dapat memberikan dampak hingga Rp 4.376 triliun ke output ekonomi nasional.
Transisi ini juga diprediksi memberikan tambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 2.943 triliun dalam 10 tahun ke depan atau setara dengan 14,3 persen PDB Indonesia pada 2024.
Peralihan ke ekonomi berkelanjutan diramal mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru yang muncul dari berbagai sektor yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan, pertanian, kehutanan, perikanan, dan jenis-jenis industri ramah lingkungan lainnya. Sementara itu, pendapatan pekerja secara total dapat bertambah hingga Rp 902,2 triliun berkat transformasi ini.
Baca juga: Target Emisi Nol Sektor Industri Bisa Tercapai Tahun 2050
Kaji ulang
Juru bicara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Irvan Pulungan, mengatakan, pihaknya lebih merumuskan ulang aturan perundang-undangan yang dinilai bermasalah dan tidak efektif untuk mengejar transisi ekonomi hijau, salah satunya RUU EBET.
”Peraturan perundang-undangan kan produk adiluhung bangsa, kalau proses itu saja sudah dilakukan dengan tidak baik, tidak terbuka, tidak partisipatif, tentunya kami akan ubah. Kami akan berikan kesempatan untuk membahasnya lebih luas, melibatkan tidak hanya para stakeholder, tetapi juga masyarakat terdampak,” ujarnya.
Irvan mengatakan, RUU EBET yang awalnya dirancang khusus untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan justru memuat banyak pasal yang bertolak belakang dengan tujuan tersebut. Salah satunya adalah terminologi energi baru yang bersumber dari energi fosil dan nuklir.
Untuk itu, jika terpilih, pasangan Anies-Muhaimin akan menempatkan proses partisipasi masyarakat dan proses naskah akademik yang baik untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang tidak hanya hijau, tapi juga berpihak kepada masyarakat terdampak. ”Kami akan menyusun APBN-APBD dalam konteks perubahan iklim menggunakan climate change budget tagging dan taksonomi hijau,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menambahkan, momentum Pemilihan Umum 2024 dapat digunakan sebagai katalis untuk mempercepat transisi ekonomi hijau di Indonesia. Krisis iklim yang timbul akibat ketergantungan Indonesia dan dunia terhadap industri ekstraktif semakin memperparah dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Ia pun menekankan perlunya komitmen politik untuk bisa mengimplementasikan transformasi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi berkelanjutan. ”Tanpa komitmen yang kuat, hasil temuan ini hanya akan menjadi pajangan lain di rak buku semata dan masyarakat harus terus menanggung dampak krisis iklim yang semakin parah,” ujar Leo.