Penerapan Bisnis Hijau Masih Jadi Pekerjaan Rumah
Upaya mendulang manfaat perekonomian lebih tinggi harus disertai kesadaran memprioritaskan keberlanjutan lingkungan.
Mau tidak mau, suka tidak suka, dunia usaha harus mengesahkan fakta bahwa kelestarian lingkungan adalah syarat mutlak yang perlu dipenuhi agar kegiatan bisnis dapat memberi dampak ekonomi secara berkelanjutan dalam periode panjang.
Berdasarkan laporan World Economic Forum bertajuk The Global Risk Report 2023, lima dari sepuluh ancaman ekonomi dunia dalam dua tahun mendatang berkaitan dengan lingkungan. Adapun enam dari sepuluh ancaman ekonomi global dalam sepuluh tahun ke depan juga berkaitan dengan isu lingkungan.
Lantas apakah perusahaan-perusahaan di Indonesia telah sepenuhnya mawas diri dalam memperhatikan aspek lingkungan di setiap kegiatan bisnis mereka secara berkelanjutan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, diperlukan seperangkat standar atau indikator yang dapat digunakan untuk menilai perangai perusahaan dalam menjalani praktik ekonomi sirkular. Perangkat ini disebut ESG, kependekan dari environment (lingkungan), social (sosial), dan governance (tata kelola).
Berdasarkan hasil survei internal yang dilakukan Apindo terhadap 1.000 perusahaan anggota, tidak sampai 30 persen perusahaan yang memahami ESG.
Secara sederhana, ESG adalah konsep yang mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi, ataupun bisnis yang berkelanjutan sesuai dengan tiga kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Perusahaan yang berpedoman pada ESG wajib untuk mengintegrasikan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip terhadap pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial, juga untuk tata kelola yang baik dalam setiap praktik bisnis serta investasi mereka.
Ada kenyataan pahit yang dibuka gamblang oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terkait masih sangat terbatasnya pengetahuan perusahaan lokal mengenai ESG. Berdasarkan hasil survei internal yang dilakukan Apindo terhadap 1.000 perusahaan anggota, tidak sampai 30 persen perusahaan yang memahami ESG.
Ketua umum Apindo sekaligus CEO Sintesa Group Shinta W Kamdani mengatakan, hasil survei tersebut menunjukkan, yang mulai mengimplementasikan praktik ekonomi sirkular dan mematuhi prinsip-prinsip ESG umumnya adalah perusahaan-perusahaan besar.
Penerapan prinsip ESG oleh perusahaan besar pun umumnya masih dalam bentuk ”keterpaksaan” untuk berbagai kebutuhan, seperti memperkuat daya tarik investasi dan sebagai bentuk akuntabilitas laporan pertanggungjawaban kepada publik dan investor.
Investor memandang ESG penting untuk menyaring perusahaan sekaligus mendorong perusahaan untuk bertindak secara bertanggung jawab. Konsep ESG juga dapat mengawasi perusahaan agar tidak terlibat dalam praktik-praktik yang berisiko dan tidak etis secara aspek lingkungan, sosial, ataupun tata kelola.
”ESG itu, kan, masih sangat erat kaitannya dengan asas compliance (kepatuhan). Jadi, kalau dibutuhkan compliance, perusahaan publik atau yang sejenis ’terpaksa’ menerapkan prinsip ESG. Tetapi kalau tidak, mereka masih belum menyadari kenapa perusahaan harus membuat laporan ESG,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Kondisi tidak jauh berbeda diperkirakan masih akan terjadi pada tahun 2024. Menurut Shinta, masih akan ada ketimpangan pengetahuan tentang prinsip ESG antara perusahaan berskala besar dan usaha berskala kecil-menengah.
Baca juga : Praktik Hijau Jadi Kebutuhan Dunia Usaha
Di satu sisi, perusahaan yang telah terbiasa menjalankan prinsip ESG akan semakin mapan dan menikmati ”kue” pembiayaan, baik dari sumber konvensional maupun alternatif, yang hanya bisa disalurkan untuk proyek yang memenuhi prinsip keberlanjutan.
Di sisi lain, perusahaan berskala kecil yang belum terbiasa menggunakan kerangka ESG dalam praktik bisnis mereka masih membutuhkan dorongan atau stimulus agar secara perlahan bisa turut menjalankan praktik-praktik keberlanjutan dalam bisnis mereka.
”Untuk menerapkan ESG itu, kan, kebanyakan perusahaan harus merekrut konsultan untuk membuat sustainability reporting dan lain-lain. Jadi, menurut saya ini masih jadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi para pemangku kepentingan dalam menyosialisasikan apa itu ESG dan manfaatnya,” ujar Shinta.
Salah satu contoh perusahaan domestik yang tahun depan akan semakin matang dalam menerapkan ESG dalam bisnis mereka adalah PT Pertamina (Persero). Pada akhir 2023 saja, perseroan tercatat menempati posisi teratas global dalam peringkat Risiko ESG, subindustri Integrated Oil and Gas, yang diterbitkan lembaga ESG Rating Sustainalytics. Pertamina memimpin skor tertinggi dari 61 perusahaan dunia.
Sebagai informasi, peringkat Risiko ESG oleh Sustainalytics mengukur eksposur perusahaan terhadap risiko ESG yang material bagi tiap industri. Kemudian, seberapa baik perusahaan mengelola risiko tersebut dan memberikan ukuran kuantitatif yang dapat dibandingkan di semua industri.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pernah mengatakan, untuk memperkuat eksposur perusahaan terhadap prinsip ESG, pada tahun 2024, perseroan akan mengalokasikan penandaan anggaran keberlanjutan (sustainability budget tagging) sebesar Rp 1,4 miliar dollar AS, kira-kira setara dengan Rp 21,74 triliun.
Selain menjalankan berbagai inovasi dekarbonisasi dengan memproduksi energi ramah lingkungan, dengan anggaran tersebut Pertamina juga akan terus memperkuat aspek keselamatan kerja, tata kelola perusahaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan UMKM.
Dari sektor konstruksi, PT Adhi Karya (Persero) Tbk menargetkan 30 persen pendapatan berulang (recurring income) perseroan pada tahun 2024 akan disumbang dari proyek-proyek ESG, di antaranya fasilitas pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif (refuse derived fuel/RDF) di Bekasi, Jawa Barat, dan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Baca juga : Ongkos ESG Tinggi Jadi Penyebab Pendanaan Belum Terserap
Pertamina, Adhi Karya, dan perusahaan-perusahaan beraset jumbo lain di Indonesia memang sudah sewajarnya memperluas portofolio ESG. Di level bisnis tersebut, penerapan ESG sesuai standar dapat meningkatkan kepercayaan investor dan publik sehingga berdampak positif bagi keberlanjutan usaha.
Namun, di level menengah ke bawah, menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, perusahaan masih enggan menerapkan prinsip-prinsip ESG sesuai standar dalam proses bisnis mereka karena mahalnya ongkos.
Demi menerapkan ESG, kebanyakan perusahaan harus merekrut konsultan hanya sekadar untuk membuat laporan berkelanjutan ataupun hal-hal lain terkait administrasi. Itu belum menghitung modal yang harus dikeluarkan untuk program atau proyek yang terintegrasi dengan prinsip ESG.
Banyaknya perusahaan lokal yang masih enggan menerapkan ESG dan prinsip berkelanjutan dalam bisnis yang mereka jalani membuat volume pendanaan berkelanjutan yang terus bertambah dari tahun ke tahun sulit terserap.
Solusi agar penerapan ESG lebih masif lagi bukan sekadar bunga murah, melainkan bagaimana ongkos yang dikeluarkan bisa lebih murah.
Sektor keuangan di Indonesia, yang mengelola dana pembiayaan berbasis berkelanjutan, kesulitan dalam menyalurkan pendanaan tersebut. Padahal, bunga berbagai akses pendanaan berkelanjutan atau pembiayaan hijau relatif lebih rendah ketimbang bunga pinjaman komersial.
”Perusahaan akan bilang, daripada dapat bunga rendah tapi harus keluar ongkos tinggi untuk ESG, mendingan saya bayar bunga tinggi. Jadi, solusi agar penerapan ESG lebih masif lagi bukan sekadar bunga murah, melainkan bagaimana ongkos yang dikeluarkan bisa lebih murah,” ujar Aviliani, beberapa waktu lalu.
Di luar ongkos yang tinggi, perusahaan di Indonesia juga kesulitan menetapkan kriteria pengukuran dan indikator terkait ESG. Sektor usaha yang sama di wilayah yang berbeda di Indonesia akan sulit menggunakan indikator penilaian yang sama karena karakteristik sosial dan lingkungan di setiap daerah di Tanah Air berbeda.
”Lagi-lagi terkait dengan data, itu sesuatu yang tidak mudah di negeri ini,” kata Aviliani.
Upaya yang dapat dilakukan pada tahun 2024 untuk memperluas eksposur ESG adalah membuat lini bisnis berskala kecil-menengah masuk dalam jaringan rantai pasok perusahaan-perusahaan besar yang telah mapan menjalankan prinsip ESG.
Bagaimanapun, bagi dunia usaha, sikap abai terhadap ESG berkonsekuensi pada hilangnya berbagai peluang usaha dan akses pembiayaan hijau serta investasi ramah lingkungan.
Selamanya krisis lingkungan akan menjadi ancaman bagi siapa pun yang hidup di muka bumi ini. Karena itu, kesadaran untuk mendulang manfaat perekonomian yang lebih tinggi harus disertai juga dengan kesadaran dalam memprioritaskan keberlanjutan lingkungan.