Gerakan bisnis bertema hijau, biru, dan sirkular menjadi komitmen global, dan pelaku usaha memiliki keinginan sama.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG semakin menjadi kebutuhan serta melekat dalam perencanaan jangka panjang perusahaan. Akumulasi komitmen serta realisasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk perusahaan-perusahaan, juga bakal mendukung tercapainya target Indonesia Emas 2045.
Hal itu mengemuka dalam CEO Insight bertema ”Menjawab Tantangan melalui Pengembangan Bisnis Keberlanjutan”, yang juga rangkaian Kompas100 CEO Forum Powered by PLN, di Jakarta, Senin (23/10/2023). Hadir sebagai pembicara kunci Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Nurul Ichwan.
Para pembicara dalam diskusi adalah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur Edwin Syahruzad, VP General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh, Managing Partner East Ventures Roderick Purwana, dan Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia Iman Rachman.
Nurul mengatakan, gerakan bisnis global bertema hijau, biru, dan sirkular bukan hanya komitmen global, tetapi para pelaku usaha pun memiliki keinginan sama. Sebab, mereka juga memiliki kepentingan untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan. Paling penting bagi Indonesia ialah pengurangan jejak karbon dari sisi energi.
”Sebab, ternyata bukan hanya karena komunitas global melakukannya, tetapi market (pasar) juga menginginkan itu. Ada survei menyebutkan generasi awal hingga generasi Z sepakat untuk membeli produk-produk yang kontribusi karbonnya lebih rendah, sekalipun harganya lebih mahal,” ujar Nurul.
Pengurangan jejak karbon di sektor energi, imbuh Nurul, antara lain, bakal didorong dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon, capture, and storage/CCS).
”Hal itu jadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045, dengan perekonomian keempat atau kelima terbesar di dunia. Tanpa mengikuti norma-norma baru global, yakni mengurang jejak karbon, Indonesia menjadi tidak menarik,” ucap Nurul.
Ada survei menyebutkan, generasi awal hingga generasi Z sepakat untuk membeli produk-produk yang kontribusi karbonnya lebih rendah, sekalipun harganya lebih mahal. (Nurul Ichwan)
Jangka panjang
Tony mengatakan, penerapan ESG oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) bukan dianggap sebagai keharusan, tetapi menjadi keniscayaan dan kebutuhan. Hal itu pun sudah melekat pada perencanaan bisnis jangka panjang perusahaan.
Anggaran lingkungan dan sosial sudah masuk perencanaan bisnis PTFI. ”Tahun lalu (2022), biaya sosial kami Rp 2 triliun dan biaya lingkungan Rp 2,5 triliun. Ini bukan pengeluaran ekstra karena secara mendasar masuk budget dan kami akan lakukan itu sampai dengan 2041, sesuai perencanaan jangka panjang kami,” ujarnya.
Menurut Tony, terkait pendanaan bisnis, saat ini seluruh dunia memang sudah mensyaratkan ESG. Beberapa tahun lalu, misalnya, saat MIND.ID membeli 51 persen saham PTFI dan melakukan roadshow ke luar negeri untuk menjajakan global bond senilai 4 miliar dollar AS, 80 persen pertanyaan yang diajukan investor terkait dengan ESG.
PTFI, imbuh Tony, juga memiliki rencana mengganti pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara sebesar 200 megawatt (MW) dengan gas alam cair (LNG). ”Ini potensial menjadi komitmen untuk menurunkan emisi hingga 60 persen pada 2030. Kalau berhasil dilakukan pada 2027, itu akan berkontribusi signifikan pada pengurangan emisi,” ucapnya.
Edwin Syahruzad menuturkan, dalam pembangunan, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menjadi panduan. Sebagai perusahaan pembiayaan, ia memastikan proses kredit dan investasi sejak awal mengadopsi environmental and social due diligence (ESDD). Dengan demikian, aset kreditnya otomatis mematuhi prinsip-prinsip ESG.
”Terkait sustainability report (SR), kami menjadi pelopor. Karena itu mandat pembangunan, (keberlanjutan) lebih mengental. Pembiayaan dan investasi itu tujuannya untuk people, bukan hanya profit. Jadi, profit itu hanya media untuk kita tetap sehat,” ujar Edwin.
Terkait climate risk, Edwin menyampaikan, pasti ada biaya yang dibutuhkan atau ada tambahan modal. Sementara dari sisi liability, yang dibutuhkan adalah satu struktur pembiayaan campuran yang dapat mengombinasikan berbagai sumber dana, termasuk filantropi, agar terjadi penurunan cost of capital.
Iman Rachman menuturkan, jumlah emiten di Bursa Efek Indonesia per Senin (23/10/2023) mencapai 897 emiten. Diperlukan sinergi ekosistem terkait dengan ESG di pasar modal. ”Dari 897 emiten, saat ini sudah 88 persen yang menerbitkan sustainability report (laporan keberlanjutan),” katanya.
Pihaknya memulai untuk mengarahkan agar emiten-emitan berkomitmen akan keberlanjutan guna menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan terbuka juga memiliki perhatian pada ESG. ”Dalam lima tahun lagi, kami optimistis seluruhnya, terutama untuk perusahaan-perusahaan yang ada di papan utama dan pengembangan,” ujarnya.
Adapun untuk UMKM di BEI saat ini terdapat 38 UMKM di papan akselerasi. Ia berharap ke depan akan ada penilaian ESG (ESG scoring) yang dimulai dengan bantuan dengan lembaga pemeringkatan ESG.
Roderick Purwana menuturkan, sebagai perusahaan pendanaan, East Ventures, juga sudah mulai menerapkan ESG framework yang dikembangkan sendiri ataupun dengan investor dan rekan-rekan pendanaan. Di samping itu, hal serupa juga mulai dikembangkan bersama perusahaan diinvestasikan oleh East Ventures.
Pada usaha kecil menengah, imbuh Roderick, pihaknya juga melihat sejauh mana tujuan-tujuan berkelanjutan itu ada pada mereka. ”Kami mengajarkan dan mengedukasi guna memastikan apakah pengembangan bisnis mereka juga punya tujuan keberlanjutan yang jelas, apalagi untuk mereka yang kita sudah investasikan,” ujar Roderick.
Sementara Vera mengatakan, saat masih menjadi perusahaan terbuka dulu, Aqua berkomitmen dengan SR. ”Setelah go private, praktik tersebut (laporan keberlanjutan) masih kami jalankan sampai sekarang. Komitmen itu masih terjaga. Permasalahan lingkungan jadi perhatian di 25 pabrik yang ada di Indonesia,” katanya.
Ia menambahkan, keberlanjutan atau ESG juga tentang keberagaman dan inklusivitas. Pihaknya tengah berupaya dalam meningkatkan dipekerjakannya para disabilitas, baik di kantor pusat maupun pabrik. Meski saat ini baru 2 persen, program itu terus dilanjutkan. Tak hanya dari sisi jender, tetapi juga pengayaan cara berpikir yang beragam.