Peran Bank BUMN Penting sebagai Katalis Pembiayaan Transisi Energi
Pemerintah mematangkan kebijakan untuk menyalurkan kredit bunga rendah lewat bank pelat merah agar tidak hanya APBN dan APBD yang membiayai proyek transisi energi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank BUMN punya peran sebagai katalis positif pendorong perbankan nasional lain untuk mendukung pembiayaan transisi energi. Pemerintah tengah mematangkan kebijakan penyaluran kredit bunga rendah lewat bank pelat merah sebagai stimulus ekosistem energi terbarukan dari sisi penawaran.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, perbankan punya peran vital dalam mendanai proyek transisi energi. Pasalnya, porsi pendanaan untuk mencapai target transisi energi terlalu jumbo jika hanya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah (APBN dan APBD).
Berdasarkan hitungan Laporan Pembaruan Dua Tahunan (Biennial Update Report/BUR), Indonesia memerlukan pendanaan hingga lebih dari Rp 4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, termasuk untuk agenda transisi energi, sesuai dengan dokumen kontribusi nasional (NDC) pada 2030.
”Potensi pendanaan transisi energi lewat perbankan masih sangat besar. Jika bank BUMN dapat digerakkan, risiko kredit proyek hijau menjadi lebih baik. Ini juga menjadi katalis bagi bank non-BUMN dan yang bank lebih kecil untuk proyek transisi energi,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (25/12/2023).
Kementerian BUMN akan mendorong bank-bank BUMN untuk memberikan insentif berupa bunga murah kepada pengusaha yang melakukan transisi energi dalam kegiatan bisnis mereka.
Peran perbankan saat ini dalam mendanai proyek energi hijau di Indonesia sudah jauh lebih baik dengan adanya sistem klasifikasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bernama taksonomi hijau. Klasifikasi ini berisi daftar kegiatan ekonomi ramah lingkungan yang dapat menjadi pedoman bagi sektor perbankan dalam menambah portofolio hijau mereka.
Meski begitu, lanjut Fabby, pemerintah tetap perlu mendorong bank BUMN sebagai motor penggerak pendanaan transisi energi. Ia melihat skala bank pelat merah, seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sangat besar untuk memberikan pinjaman bagi proyek berkelanjutan.
Fabby melihat, di tahun depan ada beberapa proyek pembangkit energi terbarukan yang makin diminati perbankan, yakni pembangkit hidro, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTmh). Kemudian, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), terkhusus off-grid.
”Tidak hanya itu, pengadaan pasokan biomassa untuk co-firing juga menjadi proyek yang diincar oleh perbankan karena membutuhkan modal kerja dan dapat diklasifikasikan sebagai proyek hijau karena menyediakan bahan baku untuk pembangkit,” katanya.
Sebelumnya, dalam Seminar Outlook Perekonomian Indonesia 2024 di Jakarta, Jumat (22/12/2023), Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kontribusi bank BUMN dalam mendanai proyek transisi energi semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Kartika yang akrab disapa Tiko melanjutkan, untuk merangsang ekosistem energi terbarukan dari sisi penawaran, Kementerian BUMN akan mendorong bank-bank BUMN memberikan insentif berupa bunga murah kepada pengusaha yang melakukan transisi energi dalam kegiatan bisnis mereka.
”Tentu ini peran para perbankan bagaimana memberikan persyaratan, mengarahkan, dan memberikan bunga lebih murah untuk pengusaha-pengusaha pembangkit listrik yang ingin menurunkan emisinya dalam jangka pendek. Ini kebijakannya sudah kita masukan di perbankan,” ujar Tiko.
Ia menambahkan, stimulus untuk sisi permintaan juga dilakukan melalui perluasan dan penambahan subsidi kepada masyarakat diperlukan untuk mempercepat akselerasi konversi ke mobil atau motor listrik, termasuk skema pembiayaan agar bank mulai membiayai pembelian atau konversi menuju motor dan mobil listrik.
Dari kaca mata pengusaha, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus CEO dari Sintesa Group, Shinta W Kamdani, menilai, faktor pembiayaan dapat membawa imbas yang besar dalam upaya mengakselerasi penanganan krisis perubahan iklim, termasuk di dalamnya program transisi energi.
”Selain lewat saluran perbankan, pengusaha juga memiliki banyak alternatif sumber pembiayaan yang mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan sektor pengembangan energi terbarukan,” ujarnya.
Namun, untuk mendapatkan akses kepada pembiayaan-pembiayaan alternatif tersebut, perusahaan perlu menerapkan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang erat kaitannya dengan keberlanjutan bisnis sebuah perusahaan.
Untuk itu, proses transisi energi perlu dilakukan secara berkeadilan dengan memperhatikan pihak-pihak yang terdampak oleh proses transisi tersebut. ”Untuk menuju transisi energi, pemangku kebijakan harus memperhatikan lingkungan, termasuk pekerja-pekerja yang ada dalam sektor terkait,” ujar Shinta.