BI Proyeksikan Suku Bunga Acuan Turun pada Semester II-2024
Meski BI kembali mempertahankan tingkat suku acuan sebesar 6 persen, terdapat ruang penurunan pada semester II-2024. Perkembangan arah kebijakan The Fed menjadi salah satu pertimbangannya.
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia untuk kedua kalinya kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 6 persen. Kendati demikian, terdapat ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan tersebut pada semester II-2024 dengan pertimbangan tingkat inflasi berada dalam sasaran dan stabilitas nilai tukar rupiah terus terjaga.
Keputusan itu diambil dalam rangkaian Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) Desember 2023 pada 20-21 Desember 2023. Hasil RDG tersebut menetapkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending sebesar 6,75 persen.
Bank Indonesia untuk kedua kalinya kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 6 persen.
BI menggunakan istilah BI Rate per 21 Desember 2023 sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI 7-Day Reverse Repo Rate untuk memperkuat komunikasi kebijakan moneter. Penggantian nama ini tidak mengubah makna dan tujuan BI Rate sebagai stance kebijakan moneter BI serta operasionalisasinya tetap mengacu pada transaksi reverse repo BI tenor tujuh hari.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan BI mempertahankan tingkat suku bunga acuan pada level 6 persen tetap konsisten dengan fokus pada kebijakan moneter untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah (pro-stability). Selain itu, BI masih menerapkan langkah pencegahan (pre-emptive) dan proyeksi ke depan (forward looking) untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 1,5-3,5 persen pada 2024.
”Kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga,” katanya dalam konferensi pers hasil RDG BI Desember 2023, Kamis (21/12/2023).
Dalam menentukan arah BI Rate ke depan, BI turut mempertimbangkan tingkat suku bunga acuan The Fed (fed fund rate/FFR). Untuk sementara ini, BI memperkirakan, akan ada kemungkinan penurunan FFR sebesar 50 basis poin (bps) pada semester II-2024.
Perkiraan tersebut mengacu pada kondisi fundamental ekonomi AS yang sampai saat ini pertumbuhan ekonominya masih terus menguat serta tingkat inflasi yang masih di atas target sebesar 2 persen. Kendati demikian, FFR diperkirakan telah mencapai puncaknya, sehingga kecil kemungkinan untuk kembali dinaikkan.
Pada prinsipnya, kami juga tidak akan terburu-buru menurunkan karena kami ingin memastikan tingkat inflasi sebesar 1,5-3,5 persen itu tercapai.
Meski FFR menjadi salah satu pertimbangan, BI Rate tidak akan mengikuti arah kebijakan FFR. Hal ini karena BI Rate lebih mengacu kepada tingkat inflasi pada 2024-2024 serta stabilitas nilai tukar rupiah.
”Kemungkinan ada ruang terbuka (penurunan BI Rate) pada semester II-2024. Bukan karena kami mengikuti FFR, tetapi perhitungannya memang seperti itu. Apabila rupiah dapat menguat lebih cepat dan inflasi bisa lebih rendah, bisa saja ruang-ruang itu (penuruan BI Rate) terbuka,” katanya.
”Pada prinsipnya, kami juga tidak akan terburu-buru menurunkan karena kami ingin memastikan tingkat inflasi sebesar 1,5-3,5 persen itu tercapai,” imbuhnya.
Mitigasi inflasi
Dengan demikian, dampak dari potensi inflasi barang impor dapat dimitigasi. Lebih lanjut, BI akan memastikan stabilitas nilai tukar rupiah sehingga akan memperbesar kemungkinan tercapainya sasaran inflasi sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Per 20 Desember 2023, nilai tukar rupiah tercatat menguat rata-rata 0,44 persen dibandingkan dengan perkembangan nilai tukar rupiah pada November 2023. Secara tahun kalender, nilai tukar rupiah menguat 0,37 persen atau lebih baik dibandingkan dengan peso Filipina, rupee India, dan baht Thailand, yang masing-masing melemah 0,05 persen, 0,53 persen, dan 0,85 persen.
Sampai dengan 19 Desember 2023, aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio ke pasar keuangan domestik terus berlanjut atau tercatat beli neto (net inflows) sebesar 5,1 miliar dollar AS. Hal ini salah satunya didukung oleh lelang Sekuritas Rupiah BI (SRBI) dan Sekuritas Valas BI (SVBI), masing-masing pada periode yang sama tercatat telah mencapai Rp 229,95 triliun dan 421,50 juta dollar AS.
Sampai dengan 19 Desember 2023, aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio ke pasar keuangan domestik terus berlanjut.
Terpisah, ekonom senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Ryan Kiryanto, menilai, keputusan BI untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuannya sebesar 6 persen terbilang rasional. Hal ini selaras dengan kemungkinan berlanjutnya era suku bunga tinggi global dalam jangka waktu lama (higher for longer) hingga pertengahan 2024.
”Untuk tetap menjaga margin atau spread antara suku bunga acuan dan inflasi tahunan sesuai ekspektasi pasar, maka pilihan untuk menahan BI Rate menjadi rasional,” katanya secara tertulis.
The Fed
Berdasarkan hasil pertemuan pada Desember 2023, The Fed untuk ketiga kalinya secara beruntun memutuskan menahan FFR pada level 5,25-5,50 persen seiring dengan penurunan tingkat inflasi dari 3,24 persen pada Oktober 2023 menjadi 3,14 persen pada November 2023.
Selain itu, posisi dollar AS terhadap mata uang global lain masih terindikasi kuat sehingga bank-bank sentral lain cenderung menahan suku bunga acuannya guna melindungi mata uang negaranya, sekaligus menahan aliran modal asing keluar (capital outflow).
Baca juga : Pertimbangkan Proyeksi Inflasi Mendatang, BI Tahan Suku Bunga Acuan
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teuku Riefky, menambahkan, BI perlu tetap waspada terhadap langkah yang akan diambil The Fed pada 2024.
Di sisi lain, BI Rate saat ini telah berada pada titik tertingginya dalam kurun waktu 4,5 tahun terakhir sehingga BI memiliki ruang yang cukup untuk menurunkan suku bunga pada 2024.
”Pemilihan waktu untuk menurunkan suku bunga menjadi krusial. Menurunkan tingkat suku bunga terlalu dini berpotensi memicu arus modal keluar dan mendorong pelemahan rupiah, sedangkan terlambat menurunkan suku bunga acuan dapat menekan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan sektor riil,” katanya.
Tekanan inflasi
Selain itu, beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan oleh BI adalah tekanan inflasi akibat periode pemilu dan berlanjutnya El Nino, penurunan arus perdagangan seiring berlanjutnya pelemahan permintaan global, dan potensi arus modal keluar akibat ketidakpastian ekonomi global dan tensi geopolitik.
Kendati tingkat inflasi dapat dijaga dalam koridor target BI di kisaran 2-4 persen, tekanan harga pangan akibat El Nino berpotensi menekan daya beli masyarakat.
Menurut Riefky, meski pemerintah telah berhasil menjaga harga beras melalui kebijakan impor, masih dibutuhkan respons kebijakan lebih lanjut seiring dengan dampak El Nino yang menyebar ke berbagai komoditas lain. Kondisi ini menjadi tantangan dalam pengelolaan inflasi mengingat dampak El Nino diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun depan.
Baca juga : Harga Pangan Diperkirakan Terus Meroket hingga Februari
”Menimbang berbagai aspek, inflasi diperkirakan masih akan dalam batas koridor target BI untuk keseluruhan tahun 2023 dan berpotensi mencapai 3 persen pada akhir tahun seiring dengan pola musiman peningkatan konsumsi pada periode libur akhir tahun,” lanjutnya.
Terkait hal itu, Deputi Gubernur BI Aida S Budiman menjelaskan, dampak dari El Nino yang berkepanjangan mengakibatkan inflasi harga pangan per November 2023 tercatat sebesar 7,59 persen. Namun, dampak tersebut bersifat moderat.
”Meski ada gangguan, inflasi diperkirakan masih dalam target pada tahun depan sebesar 2-4 persen,” katanya.