Momentum Pembenahan untuk Perikanan Keberlanjutan
Tahun 2024 adalah momentum pembenahan untuk mewujudkan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan serta keberlangsungan nelayan.
Dorongan sektor perikanan yang berkelanjutan terus menggema. Keberlanjutan perikanan menjadi isu krusial sejalan dengan krisis iklim, peningkatan kebutuhan dunia untuk pangan bernutrisi, dan tuntutan pasar.
Di tengah kebutuhan pangan penduduk dunia yang terus meningkat, pemenuhan nutrisi saat ini serta kepastian pasokan berkelanjutan di masa depan menjadi hak dasar manusia yang wajib dipenuhi. Tantangan bagi dunia adalah menjaga keamanan pangan sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan, jumlah penduduk dunia pada 2050 akan mencapai 9,1 miliar sehingga kebutuhan pangan dunia akan meningkat 70 persen. Laporan FAO, ”The State of World Fisheries and Aquaculture 2022”, mencatat, sumber daya perikanan tangkap terus menurun akibat penangkapan ikan berlebihan, polusi, serta tata kelola perikanan yang buruk. Namun, muncul tren peningkatan hasil tangkapan yang berasal dari stok berkelanjutan. Pada 2019, sebanyak 82,5 persen pendaratan ikan berasal dari stok berkelanjutan atau naik 3,8 persen dari 2017.
FAO memproyeksikan produksi perikanan pada tahun 2030 mencapai 202 juta ton yang bersumber dari pertumbuhan berkelanjutan budidaya perikanan sebesar 106 juta ton dan perikanan tangkap 96 juta ton. Perikanan tangkap pada 2030 meningkat 6 persen dari tahun 2020 sebagai hasil peningkatan pengelolaan sumber daya, penurunan sumber daya ikan yang ditangkap, dan menurunnya pembuangan sampah di laut. Tata kelola perikanan yang efektif dinilai akan memulihkan stok.
Bagaimana upaya Indonesia mengadopsi tren perikanan berkelanjutan yang berkembang di dunia?
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan, tugas yang diberikan Presiden Joko Widodo kepadanya saat menjabat menteri pada tahun 2020 adalah menyeimbangkan ekonomi dan ekologi. Kebijakan ekonomi biru pun digulirkan untuk mendorong kelautan dan perikanan berkelanjutan, meliputi perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budidaya, pengawasan dan pengendalian pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pembersihan sampah plastik di laut.
”Desakan ekonomi di laut Indonesia sangat besar. Kita mengelola wilayah laut dari Sabang sampai Merauke dengan luasan besar dan 17.500 pulau, serta jumlah penduduk pesisir 140 juta orang. Ini bukan sesuatu yang mudah. Ekologi pasti akan terabaikan oleh siapa pun ketika orientasinya lebih ke soal ekonomi,” papar Trenggono dalam Kaleidoskop Kelautan dan Perikanan 2023 yang diselenggarakan Destructive Fishing Watch Indonesia, pertengahan Desember 2023.
Baca juga: Optimalkan Tata Kelola Perikanan
Pemerintah juga memperkuat pengawasan perairan dengan command center untuk memantau pergerakan seluruh kapal ikan yang beroperasi dan mencegah pelanggaran kapal perikanan. KKP menyinyalir, terdapat sekitar 23.000 kapal ikan yang beroperasi, tetapi kapal yang berizin dan teregistrasi hanya 6.000 kapal.
Namun, tantangan muncul dalam keberlanjutan profesi nelayan sebagai dampak perubahan iklim. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) selama 1993-2022 serta proyeksi Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, hingga 2030, jumlah petani dan nelayan akan menurun hingga 2,4 persen atau sekitar 926.492 pekerja yang akan meninggalkan pekerjaannya akibat perubahan iklim.
Butuh pembenahan
Dua kebijakan utama yang diusung pemerintah untuk keberlanjutan, yakni kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan pemanfaatan sedimentasi hasil laut menuai kontroversi publik. Polemik publik yang mencuat terkait penangkapan ikan ikan terukur, antara lain, sosialisasi publik yang belum optimal, kesiapan infrastruktur yang minim, dan kekhawatiran privatisasi laut oleh oligarki industri perikanan skala besar yang berpotensi meminggirkan nelayan lokal.
Aturan pengelolaan sedimentasi laut yang memungkinkan pemanfaatan hasil sedimentasi berupa pasir laut dan lainnya untuk diekspor juga menuai diskursus publik. Aturan ekspor pasir laut dinilai sejumlah kalangan merupakan langkah mundur pemerintah karena mendorong eksploitasi dan ekspor pasir laut Indonesia kian tak terbendung.
Kebijakan lain yang juga memicu perdebatan publik, yakni rencana pemerintah membuka keran ekspor benih lobster. Kebijakan ekspor benih bening lobster itu dikhawatirkan sejumlah kalangan akan memicu eksploitasi besar-besaran terhadap plasma nutfah itu sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya dan memukul usaha budidaya lobster nasional.
Sejalan dengan polemik publik, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang beberapa kali diundur akhirnya kembali ditunda. Kebijakan yang semula akan diterapkan mulai tahun 2022, ditunda menjadi 2024, kemudian ditunda lagi menjadi 2025. Sementara kebijakan pemanfaatan sedimentasi laut berlanjut dengan pembentukan tim kajian sedimentasi laut.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, tim kajian bertugas, antara lain, menyusun dokumen perencanaan yang berisi sebaran lokasi prioritas, jenis mineral, dan volume hasil sedimentasi di laut, serta rencana pemanfaatan hasil sedimentasi laut.
Sejumlah kalangan berpendapat, program dan kebijakan yang memicu polemik publik semestinya disikapi pemerintah lewat pembenahan kebijakan dengan berbasis kajian akademik dan riset serta melibatkan partisipasi publik. Tahun 2024 menjadi momentum pembenahan kebijakan publik guna memastikan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan serta tantangan ketahanan pangan global.
”Penundaan implementasi penangkapan ikan terukur mesti dimanfaatkan untuk menyiapkan aspek teknis dan transparansi pemberian kuota serta mekanisme dan pengawasan agar tidak terjadi monopoli dan menciptakan keadilan bagi pelaku usaha,” kata Mohammad Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, saat dihubungi, Minggu (17/12/2023).
Baca juga: Penangkapan Ikan Terukur Dinilai Belum Siap Diterapkan
Ancaman menurunnya profesi nelayan perlu segera ditindaklanjuti dengan skema perlindungan nelayan, seperti dimandatkan Undang-Undang No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Perlindungan perlu didorong dengan jaminan layanan dan kebutuhan dasar nelayan, seperti bahan bakar minyak (BBM), kredit usaha rakyat sektor perikanan, asuransi nelayan, dan pupuk bersubsidi bagi petambak.
”Selain itu, peningkatan perlindungan awak kapal perikanan yang selama ini belum menjadi prioritas KKP. Padahal, penangkapan ikan terukur akan membuat beban kerja anak buah kapal semakin berat dengan jadwal kerja yang ketat,” kata Abdi.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menyoroti krisis regenerasi nelayan. Nelayan merupakan salah satu mata pencarian strategis bagi ekonomi nasional dengan serapan lapangan kerja hingga mencakup pengolah dan pemasar ikan. Indonesia menghadapi risiko kehilangan generasi nelayan yang berpengalaman jika tidak ada solusi strategis dari pemerintah dan masyarakat.
”Jika profesi nelayan tidak berkelanjutan, maka potensi yang ada di laut juga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal,” ujarnya.
Perubahan iklim, seperti perubahan suhu, pola cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan air laut memengaruhi populasi ikan, migrasi, dan penurunan sumber daya ikan. Ini mendorong nelayan untuk mencari ikan lebih jauh dari lokasi biasanya, meningkatkan biaya operasional, dan merugikan hasil tangkapan.
Upaya konkret diperlukan untuk perlindungan profesi nelayan tradisional. Selain itu, edukasi, inovasi teknologi, serta perlindungan lingkungan untuk menjaga keberlanjutan nelayan di tengah tantangan perubahan iklim. ”Kolaborasi pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat diperlukan dalam menjaga keberlanjutan profesi nelayan, tak hanya sebagai mata pencarian, tetapi juga warisan budaya bahari,” ujar Dani.
Di sektor hilir, hambatan ekspor udang yang merupakan andalan utama ekspor perikanan juga perlu segera disikapi di tahun 2024. Ekspor udang Indonesia dituduh melakukan praktik dumping dan praktik subsidi di pasar Amerika Serikat. Dumping merupakan sistem penjualan barang di luar negeri dengan harga lebih murah.
Tuduhan dumping serta program subsidi bagi produsen dan pengolah udang Indonesia dilayangkan Asosiasi Pengolah Udang Amerika (ASPA) melalui petisi ke Departemen Perdagangan AS (DOC) dan Komisi Perdagangan Internasional AS pada Oktober 2023. Terkait tuduhan itu, ASPA mengajukan petisi pengenaan bea masuk antidumping atas impor udang dari eksportir yang didapati melakukan praktik dumping serta bea masuk imbalan (CVD) untuk mengimbangi subsidi atas seluruh ekspor udang, antara lain, dari Indonesia.
Tuntutan keamanan pangan dunia dan tren perikanan berkelanjutan perlu disikapi Indonesia dengan memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan di dalam negeri, mendorong daya saing di rantai pasok global, serta menyejahterakan pelakunya.
Segala pembenahan konkret dinantikan sebagai wujud keberpihakan pemerintah untuk memastikan gaung keberlanjutan di sektor kelautan dan perikanan.