Pesawat merupakan moda transportasi dengan prosedur keselamatan yang ketat. Namun, bukan berarti bebas dari risiko kecelakaan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Bekerja sebagai pramugari dan pramugara (flight attendant) ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Pekerjaan mengarahkan penumpang serta membagi-bagikan makanan hanyalah sebagian kecil peran yang dilakukannya. Lebih dari itu, mereka perlu bertugas memastikan kenyamanan dan keselamatan penumpang.
Pramugari dan pramugara perlu mengikuti pendidikan dan pelatihan minimal enam bulan sebelum akhirnya mendapatkan lisensi untuk terbang. Setelah mendapatkan jam terbang, mereka akan kembali ke kelas untuk menerima pelatihan atau uji kompetensi tiap setahun sekali.
“Jadi tugas kami enggak cuma dandan, senyum, dan mengangkatkan koper karena sebenarnya prosesnya berdarah-darah,” ujar pramugari Lion Air, Esfa Herlani Setyorini, yang pernah bertugas untuk armada Boeing 737, saat ditemui di Balaraja, Tangerang, Banten, Jumat (15/12/2023).
Selain tuntutan melayani penumpang dengan ramah, pramugari dan pramugara ini wajib menguasai beragam prosedur keselamatan penerbangan. Tiga di antaranya berupa prosedur menghadapi kebakaran di dalam pesawat, evakuasi di darat, dan evakuasi di air.
Ilmu-ilmu prosedur keselamatan dalam industri penerbangan ini memang pada dasarnya diajarkan bagi kru penerbangan. Namun, seiring berjalannya waktu, operator penerbangan mulai memperkenalkan prosedur ini kepada masyarakat awam guna meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingya keselamatan di pesawat.
Esfa menjelaskan dengan runut jenis-jenis kebakaran berdasarkan sumbernya, yakni kelas A (benda padat), B (benda cair), dan C (arus listrik). Sejumlah kode komunikasi antarkru diserukan, seperti ”halon” yang menandakan ada kebakaran di dalam pesawat. Kode ini dilakukan agar penyelamatan lebih efisien dan mencegah kepanikan penumpang.
Pramugari lainnya, Fitri Hayati Faisal dan Mauly Nurbaini, dengan cekatan memperagakan memadamkan api pada barang dalam kabin yang mudah terbakar. Salah satunya adalah kursi penumpang kelas B, kemudian ditanggulangi dengan halon atau alat pemadam api ringan.
Meski tak pernah mengalami musibah saat mengudara, keduanya dapat menghadapi api yang membara dengan tenang. Itulah salah satu kunci yang terus dipupuk guna mengendalikan kepanikan penumpang jika peristiwa itu terjadi. Sebab, kepanikan itu menular.
Dalam materi kedua mengenai evakuasi di darat, ketiga pramugari ini memperagakan proses penyelamatan melalui pintu darurat. Peluncur penyelamatan (escape slide) dibutuhkan dalam tahap ini. Simulasi harus dilakukan cepat sebab standar proses evakuasi ketika musibah terjadi, seluruh penumpang dan awak pesawat harus menyelamatkan diri dalam 90 detik.
Setelah itu, evakuasi di laut (ditching).Simulasi diciptakan serupa dengan kondisi asli sehingga para peserta memahami pentingnya bergerak cepat. Hal ini disusul pula dengan sejumlah formasi yang dilakukan guna membantu penumpang lain yang perlu diprioritaskan, antara lain bayi, warga lanjut usia, dan orang cedera.
Formasi untuk menghalau hiu saat berenang, kemudian menjaga kehangatan sembari naik ke atas rakit keselamatan (life raft) diajarkan. Belum lagi peralatan-peralatan yang perlu dikuasai, antara lain penggunaan jaket pelampung (life vest), penggunaan alat-alat pertolongan pertama, perlengkapan obat-obatan, serta cara melepas suar.
”Kami harus memahami cara-cara penyelamatan ini di luar kepala,” kata Fitri.
Tiga metode keselamatan ini hanya sebagian kecil dari aspek-aspek teknis yang perlu dipahami pramugari dan pramugara. Dalam setahun, prosedur-prosedur keselamatan akan dikembangkan sehingga mereka wajib membaca dan mengikuti sosialisasi berkala yang dilakukan.
”Standard operating procedure (SOP) itu ’hidup’ ya, akan terus dikaji dan akan ada selalu ada perbaikan-perbaikan sehingga menghasilkan perubahan juga. Dalam setahun, ada 2-3 kali pembaruan (prosedur),” ujar Esfa.
Fatalitas kecelakaan pesawat
Rumitnya proses evakuasi serta penyelamatan diri ternyata kerap dipandang sebelah mata oleh para penumpang sebab mereka tak pernah membayangkan bagaimana kondisi sebenarnya ketika musibah terjadi. Meski kemungkinan kecelakaan pesawat lebih rendah dibandingkan moda transportasi lain, bukan berarti kondisi darurat mustahil terjadi.
Menurut data Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) pada 2022, rasio kecelakaan pesawat sebesar 1,21 kejadian per 0,83 juta penerbangan. Rasio itu meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 1,13 kejadian per 0,89 juta penerbangan.
Risiko fatalitas industri penerbangan pada 2022 sebesar 0,11. Artinya, rata-rata seseorang perlu menggunakan pesawat tiap hari selama 25.214 tahun untuk mengalami kecelakaan fatal.
Kecelakaan jarang terjadi dalam dunia aviasi. Setidaknya ada lima kecelakaan fatal di antara 32,2 juta penerbangan pada 2022. Hal itu menunjukkan bahwa terbang merupakan salah satu aktivitas teraman. ”Meski risiko terbang termasuk rendah, bukan berarti bebas risiko,” kata Direktur Umum IATA Willie Walsh dikutip dari laman IATA.
Hal serupa diutarakan Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Lie. Jumlah penumpang transportasi udara di Indonesia hampir mencapai 100 juta per tahun, bahkan pernah melampaui angka itu.
”Dari sekian banyak penumpang ini, pada umumnya juga belum pernah tahu prosedur-prosedur dan hal-hal yang boleh serta tak boleh dilakukan. Selain menghambat kelancaran, hal itu juga membahayakan diri sendiri,” ujar Alvin yang juga pemerhati industri penerbangan.
Pelatihan prosedur keselamatan yang dibuka bagi masyarakat awam diharapkan menyadarkan mereka pula bahwa peran awak kabin tak hanya melayani makan-minum penumpang. Apa yang selama ini penumpang lihat di bandara dan di dalam pesawat hanyalah puncak gunung es karena di baliknya terdapat kompleksitas sistem yang perlu dikuasai awak kabin.