Dorong Investasi, Pemerintah Keluarkan Insentif Baru Kendaraan Listrik
Aturan ini antara lain memberikan insentif perpajakan bagi pelaku industri kendaraan listrik yang hendak masuk ke Indonesia. Ini agar harga mobil listrik bisa lebih murah sehingga menarik minat masyarakat.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mendorong investasi dan perkembangan ekosistem industri kendaraan listrik dalam negeri, pemerintah mengeluarkan insentif baru dalam payung hukum Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023. Aturan ini antara lain memberikan insentif perpajakan bagi pelaku industri kendaraan listrik yang hendak masuk ke Indonesia.
Dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Deputi Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin mengatakan, keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan Perpres No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) memiliki semangat untuk mendorong investasi dan pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik.
Perpres yang diundangkan pada 9 Desember lalu itu memberikan sejumlah insentif perpajakan, yakni insentif fiskal keringanan pajak bea masuk impor, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan pengurangan pajak daerah untuk KBLBB. Ini berlaku untuk impor mobil dalam keadaan utuh (completely built up/CBU) dan mobil yang diimpor dalam keadaan komponen (completely knock down/CKD) dengan tingkat kandungan dalam negeri di bawah 40 persen.
Artinya, jelas Rachmat, untuk meningkatkan populasi mobil listrik, para pemilik merek mobil listrik ini perlu impor dulu ke Indonesia. Agar harganya kompetitif, pemerintah memberikan insentif pajak ini.
Aturan insentif fiskal impor kendaraan listrik ini akan berlaku hingga akhir 2025. Insentif fiskal impor ini juga akan diikuti aturan apa yang disebut ”utang mobil” atau utang untuk merakit kendaraan listrik di dalam negeri hingga 2027.
Misalkan, pemilik merek mobil listrik akan mengimpor 1.000 mobil listrik sampai 2025, dia bisa menikmati insentif keringanan pajak untuk 1.000 unit. Lewat dari 2025, mereka diharuskan merakit kendaraan sebanyak ”utang” mereka, yakni 1.000 unit, hingga akhir 2027. Seandainya sampai akhir 2027 mereka baru merakit 900 unit, maka negeri akan memberikan sanksi karena gagal memenuhi sisa 100 unit lainnya itu.
”Ini adalah win-win program yang cukup progresif untuk Indonesia dan investor. Kita perlu membangun skala ekonomi untuk pasar kendaraan listrik di Indonesia, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan program insentif untuk membentuk ekosistem kendaraan listrik di Indonesia,” ujar Rachmat.
Ia menambahkan, insentif ini untuk mendorong pengembangan pasar yang belum terbentuk. Oleh karena itu, pemerintah memberikan peluang kepada investor untuk membangun pabrik kendaraan listrik di Indonesia. ”Pada saat yang sama sebelum pabrik beroperasi, mereka dapat memasarkan produk impor kendaraan listrik mereka di Indonesia dengan harga yang lebih kompetitif,” katanya.
Mengutip data Badan Energi Internasional (IEA), penjualan mobil listrik global saat ini telah mencapai 14 persen dari total penjualan mobil global. Pada 2022 angkanya mencapai 10 juta unit, meningkat pesat dari 2020 yang baru 3 juta unit.
Namun, saat ini, kapasitas manufaktur kendaraan listrik Indonesia tertinggal dari negara tetangga. Tercatat kemampuan produksi Indonesia mencapai 34.000 unit mobil, 2.480 unit bus, dan 1,45 juta unit sepeda motor per tahun. Sementara, kapasitas produksi mobil listrik di Thailand mencapai 240.000 unit per tahun.
Indonesia menargetkan 2 juta mobil penumpang kendaraan listrik dan 13 juta sepeda motor listrik yang mengaspal pada tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut dan memastikan kelancaran implementasi paket insentif tambahan tersebut, saat ini pemerintah tengah melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam penyusunan dan harmonisasi peraturan teknis.
Dihubungi terpisah, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto mendukung kebijakan tersebut. Sebab, kebijakan itu bisa mendorong lebih cepat lagi jumlah populasi dan pengembangan eksosistem industri kendaraan listrik.
”Tujuannya kan percepatan. Ini baik sekali untuk industri,” ujar Jongkie.
Selama ini salah satu tantangan utama yang menghambat pengembangan kendaraan listrik adalah harganya yang masih terlampau mahal. Pasar mobil di Indonesia paling laris di kisaran harga Rp 100 juta-Rp 300 juta, sedangkan mobil listrik saat ini masih di kisaran Rp 700 juta. Insentif pajak ini bisa menurunkan harga mobil sehingga bisa menarik minat konsumen.
Kemacetan
Peneliti transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan, saat ini memang kendaraan listrik harganya mahal, belum mencapai skala ekonomi masyarakat kita. Ia memahami tujuan pemerintah memberikan insentif untuk pembelian sepeda motor dan mobil listrik sepertinya lebih untuk menolong industri sepeda motor dan mobil listrik yang sudah telanjur berinvestasi dan berproduksi, tetapi pangsa pasarnya masih sangat kecil sehingga perlu diberikan insentif.
Ia melihat program bantuan pemerintah atau insentif untuk kendaraan bermotor listrik akan lebih banyak menguntungkan kalangan produsen kendaraan listrik. Secara tidak langsung, program ini menjadi cara pemerintah untuk menjaga investasi kendaraan listrik di Indonesia dan mencoba menarik investor baru.
Ia berharap insentif jangan sampai akhirnya justru dinikmati orang yang tidak berhak atau orang kaya serta memicu kemacetan di perkotaan. ”Selain akan menambah kemacetan, juga akan menimbulkan kesemrawutan lalu lintas dan menyumbang jumlah kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat,” ujar Djoko.
Menurut dia, harapan program bisa mengurangi konsumsi BBM dan menekan emisi karbon berpotensi jauh panggang dari api. Jika dicermati, program insentif kendaraan listrik ini memang tidak memiliki aturan atau kewajiban bagi pembeli kendaraan listrik untuk melepas kepemilikan kendaraan berbahan bakar minyak yang mereka miliki.
Yang justru terjadi adalah penambahan konsumsi energi dan makin bertambahnya kendaraan pribadi yang berjejal di jalan. Adapun pihak yang akan diuntungkan dari program ini hanya kalangan produsen kendaraan listrik.
Djoko menegaskan, ketimbang memberikan subsidi untuk memperbanyak populasi mobil lagi yang telah menimbulkan kemacetan di mana-mana yang juga menciptakan efek perlambatan ekonomi, lebih baik subsidi saja pengadaan transportasi atau bus listrik.
Menurut Djoko, Indonesia saat ini sedang alami krisis transportasi umum dan krisis keselamatan lalu lintas. Saat ini, transportasi umum di perkotaan dan di perdesaan tidak lebih dari 1 persen yang beroperasi. Pesatnya perkembangan industri sepeda motor telah mengalihkan pengguna dari angkutan umum ke sepeda motor.
Pemberian insentif kendaraan listrik lebih tepat diberikan pada perusahaan angkutan umum. Di samping akan mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, juga dapat memperbaiki pelayanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi kemacetan.