Ketimbang mengejar kuantitas pergerakan wisatawan, pemerintah diharapkan berfokus pada kualitas wisatawan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan menekankan pada model wisata berkelanjutan di 2024 untuk memulihkan industri pariwisata di Tanah Air. Konsep ini bertumpu pada pilar pengelolaan berkelanjutan, keberlanjutan sosial ekonomi, keberlanjutan budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Selain tak berfokus pada kuantitas, kualitas pariwisata yang menargetkan durasi kunjungan wisatawan yang lebih lama patut diperhatikan.
”Ke depan, pengalaman (berwisata) berdasarkan pada perjalanan. Tak hanya rombongan melihat-lihat, tetapi juga belajar bersama. Sustainable operations sekaligus berwisata menjaga lingkungan,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno dalam Tourism Industry Roadmap in 2024-2029 yang diselenggarakan Tiket.com secara daring, Rabu (13/12/2023).
Direktur Industri, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wahyu Wijayanto menambahkan, setidaknya ada lima tren pariwisata di 2024 yang bakal banyak diminati wisatawan. Pertama, tren culture immersion yang menekankan kegiatan liburan yang berbeda dengan tempat tinggal wisatawan. Kedua adalah wellness tourism dengan destinasi yang kental menawarkan budaya lokal dan alam untuk memperdalam perjalanan spiritual.
”Ketiga work from destination menyasar para pekerja dengan fleksibilitas tinggi agar dapat bekerja dari lokasi wisata, antara lain dilakukan pekerja industri kreatif. Keempat dan kelima adalah off grid travel yang menekankan kesejahteraan wisatawan tanpa memikirkan pekerjaannya dan sport tourism yang mulai populer tahun ini dan diprediksi berlanjut pada tahun depan,” ujar Wahyu.
Tantangan global
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, sektor pariwisata menghadapi tantangan pada 2024 diakibatkan faktor global. Perlambatan ekonomi di sejumlah negara, antara lain Jepang, Korea Selatan, dan China, akan menahan warga di negara tersebut untuk bepergian atau berlibur.
”Ada kecenderungan kemungkinan penurunan wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia dari negara-negara tersebut karena kondisi perekonomian yang membuat dompet mereka sedikit tertahan (membatasi pengeluaran),” katanya.
Terkait tren wisata di 2024, Co-Founder dan Chief Marketing Officer Tiket.com Gaery Undarsa mengatakan, pariwisata berkelanjutan belum lazim diterapkan di Indonesia. Namun, mitra-mitranya telah berusaha mengadopsi konsep ini dalam tiap lini bisnisnya.
Pada masa mendatang, rencana-rencana yang mengedepankan konsep berkelanjutan akan lebih diutamakan. Beragam desa pariwisata yang ada, termasuk para pebisnis dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sebenarnya sudah mengadaptasi sistem berkelanjutan secara bertahap.
”Kami dorong mitra-mitra untuk lebih menjalankan sustainable operation dengan memberikan exposure lebih di platform kami,” ujar Gaery.
Sementara itu, peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Addin Maulana, menilai, pemerintah perlu membentuk tata kelola dan menciptakan satuan ukur konsep pariwisata berkelanjutan ini. Hal ini akan memudahkan para pelaku wisata untuk menjaga keseimbangan dari sisi lingkungan, sosial, dan ekonominya.
Kolaborasi dengan platform industri jasa pariwisata, misalnya, dapat berbagi data untuk memetakan lokasi-lokasi mana saja yang berpotensi terjadi penumpukan wisatawan. Hal ini dapat mencegah fenomena pariwisata berlebih (overtourism). Antisipasi-antisipasi dapat dilakukan sejak dini sebab didukung data untuk memproyeksikan peristiwa ke depan. Kolaborasi-kolaborasi sederhana ini bisa berdampak besar.
”Kalau data ini sudah disampaikan jauh-jauh hari kepada pemerintah sebagai bentuk input untuk kebijakan momen penting, serta manajemen pengunjung terkait area berpotensi overtourism, pemerintah pusat bisa kerja sama dengan pemerintah daerah untuk menangani risiko kerumunan,” kata Addin.
Ia melanjutkan, pariwisata berkualitas dapat menjadi acuan pada 2024. Pemerintah tak perlu mengkhawatirkan jumlah pergerakan wisatawan, tetapi mendorong mereka untuk memilih paket yang lebih signifikan bagi perekonomian. Alhasil, dampaknya akan lebih besar karena mereka jadi target pasar utama untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia.