Di Mana Indonesia di Tengah Bising Pengakhiran Energi Fosil?
Tuntutan untuk mengakhiri energi fosil dalam waktu cepat terjadi di Konferensi Antar-Pihak COP28 di Dubai. Di mana posisi Indonesia dalam isu ini?
Puluhan anak muda dari berbagai negara dan ras memegang balon kuning dengan senter ponsel yang diarahkan di ujung balon. Di depan barisan terpajang papan hitam dengan lampu LED yang membentuk huruf kapital menjadi kalimat ”END THE FOSSIL ERA”.
Suasana itu terjadi di halaman di antara dua gedung yang digunakan sebagai tempat pertemuan dan negosiasi penting Konferensi Para Pihak ke-28 atau COP28, di Dubai Expo, Dubai, Uni Emirat Arab, Senin (11/12/2023) malam. Di lokasi tersebut, tiga aksi lainnya juga terjadi dengan pesan senada, yakni menuntut agar energi fosil segera diakhiri.
Aksi secara bersamaan di lokasi tersebut baru kali ini terjadi selama dua minggu penyelenggaraan acara di bawah bendera Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Ekskalasi aksi ini sudah diprediksi terjadi jika Presidensi COP28 tidak menegaskan pengakhiran energi fosil dalam waktu cepat dengan dalil menjaga suhu Bumi tetap di bawah 1,5 derajat celsius.
Hal itu muncul dalam beberapa versi draf dokumen Global Stocktake atau Inventarisasi Global Pertama yang akan menjadi hasil akhir COP28. Dokumen itu untuk mengevaluasi aksi iklim setiap negara, sejak Perjanjian Paris dibuat di COP21 tahun 2015.
Secara garis besar, dokumen yang diterbitkan pada Senin pukul 16.30 waktu Dubai itu menyebut, kebutuhan dunia untuk mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mengurangi konsumsi dan produksi energi fosil, mengakhiri subsidi energi fosil yang tidak efisien, dan mempercepat substitusi produksi energi fosil tanpa upaya mengurangi emisinya.
Draf itu masih akan terus direvisi pada hari terakhir COP28, Selasa (12/12/2023), untuk kemudian diketuk palu atau ditunda.
Gabungan aktivis internasional kepada wartawan di Dubai Expo menanggapi, pasal-pasal yang diatur tersebut dinilai tidak tegas menuntut pengakhiran energi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batubara.
Beberapa dari mereka yang mengobservasi perundingan menyebut, ada upaya-upaya kelompok negara pengekspor bahan bakar fosil minyak bumi, OPEC, seperti Arab Saudi dan Irak, untuk menggagalkan dorongan tersebut. Padahal, negara yang kuat dan maju pengembangan energi terbarukannya seperti Arab Saudi dan China diharapkan dapat membantu negara berkembang dalam menyudahi produksi energi fosil.
Baca juga: COP28 Dubai Tentukan Nasib Bumi
India juga termasuk yang menolak karena mereka masih mengandalkan energi fosil untuk pembangunan sehingga lebih sepakat pada pengurangan energi batubara yang disepakati di COP26 di Glasglow. Sementara itu, negara produsen energi fosil, seperti Amerika Serikat, kata aktivis Destination Zero, Catherine Abrue, konsisten mengarahkan penggunaan teknologi dalam produksi bahan bakar fosil. Teknologi itu diketahui tidak semata-mata untuk mengurangi emisi.
”Tapi, digunakan untuk ekstraksi minyak dan gas yang lebih banyak. Coba tebak siapa yang paling besar rencana ekspansi gas dan minyak dunianya? Amerika Serikat,” katanya.
Coba tebak siapa yang paling besar rencana ekspansi gas dan minyak dunianya? Amerika Serikat.
Negara di Uni Eropa, seperti Jerman, menunjukkan inkonsistensi. Jerman memang vokal untuk upaya penghentian energi fosil, termasuk menginisiasi kesepakatan meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat dan menggandakan efisiensi energi yang kini tertuang dalam draf Global Stocktake. Namun, mengamati sejumlah berita dan data ilmiah, Jerman belakangan tengah kembali berpihak ke energi fosil karena krisis energi pascaperang Ukraina-Rusia.
Posisi Indonesia
Lalu, di mana posisi Indonesia? Internal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan kepada Kompas, secara umum posisi Indonesia, sebagai anggota kelompok negara berkembang G77+China, dapat menerima pengakhiran energi fosil tanpa upaya pengurangan emisi (unabaited), selama merekognisi peran energi tidak terbarukan tersebut dalam pembangunan.
Posisi itu terakhir ditunjukkan Indonesia dengan tidak menandatangani komitmen peningkatan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat dan menggandakan efisiensi energi yang ditawarkan Uni Eropa, tahun ini. Sejauh ini, komitmen yang dinamai Global Renewables and Energy Efficiency Pledge itu telah diikuti 130 negara.
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Harris Yahya, salah satu utusan Indonesia bidang energi di COP28, mengatakan kepada Kompas di Dubai, Minggu (3/12/2023), Indonesia tidak membutuhkan komitmen baru.
Saat ini ada panduan yang menyesuaikan Perjanjian Paris, yakni revisi dokumen kontribusi nasional (enhanced nationally determined contribution/ENDC) di 2022 untuk menurunkan emisi karbon penyebab perubahan iklim sampai tahun 2030. Dokumen itu antara lain mengatur 37 persen penurunan emisi gas rumah kaca yang diperoleh dari kegiatan efisiensi energi dan lebih dari 50 persen dengan penerapan energi terbarukan.
”Kita sudah sejalan dengan semangatnya. Namun, kita juga harus melihat bahwa saat ini kita sedang bertransisi,” katanya.
Kita juga harus melihat bahwa saat ini kita sedang bertransisi.
Sesuai ENDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebesar 358 metrik ton CO₂ ekuivalen dengan usaha sendiri dan 446 metrik ton CO₂ ekuivalen dengan bantuan internasional. Ini dikejar dengan mengembangkan energi fosil agar lebih ramah lingkungan dengan teknologi batubara bersih dan pembangkit listrik gas. Kemudian, mengembangkan energi terbarukan, efisiensi energi, reklamasi pascapenambangan, penggunaan bahan bakar rendah karbon, dan kebijakan mandatori biodiesel B20.
Harris tidak menampik bahwa Indonesia masih membutuhkan proses panjang untuk menyesuaikan kapasitas ekonomi negara dalam bertransisi. Bahan bakar yang masih relatif murah sulit untuk dipercepat beralih ke energi ramah lingkungan yang secara umum membutuhkan biaya tinggi.
”Negara berkembang, kan, punya keterbatasan. Pendanaannya terbatas, teknologinya terbatas, kemampuan SDM-nya juga mungkin masih terbatas, political will pemerintahnya juga bagaimana?” ujarnya.
Baca juga: Indonesia Perlu Perbanyak Kerja Sama dengan Asing untuk Tinggalkan Batubara
Melepas ketergantungan
Komoditas fosil seperti batubara realitasnya masih menjadi penopang, termasuk sumber penerimaan nasional dan daerah.
Penelitian transisi berkeadilan di daerah penghasil batubara di Indonesia oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), yang dirilis pada September 2023, menemukan, dana bagi hasil (DBH) dari pajak dan royalti pertambangan batubara berkontribusi hampir sepertiga pada pendapatan pemerintah daerah. Penelitian itu dilakukan selama dua tahun di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, dan Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Direktur Eksekutif Institute of Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, keuntungan dari produksi energi fosil masih dipakai untuk membangun daerah dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Saat ini, total batubara yang diproduksi di dalam negeri sebanyak 30 persen digunakan untuk kebutuhan domestik dan 70 persen untuk ekspor.
Situasi ini membuat pemerintah harus melakukan upaya diversifikasi energi dengan hati-hati. ”Kalau permintaan batubara kita turun, kemudian nanti ekspornya juga turun, itu akan punya dampak ekonomi yang luar biasa,” ujarnya saat ditemui, Kamis (30/11/2023).
Kendati demikian, daerah yang bergantung pada energi fosil itu tetap perlu bersiap-siap mengatur keuangannya dengan tren penurunan produksi dan konsumsi energi fosil ke depan.
Keberpihakan Indonesia pada energi fosil membuat Climate Change Performance Index (CCPI), yang dirilis pada awal Desember 2023 ini, memosisikan Indonesia di peringkat ke-36 dari 67 negara yang diukur. Peringkat itu turun sepuluh poin daripada posisi di tahun lalu, yakni ke-26.
Baca juga: Emisi Energi Fosil dan Deforestasi Indonesia 10 Besar Terburuk di Dunia
Peringkat rendah itu disebabkan penilaian rendah dalam indikator emisi gas rumah kaca dan kebijakan iklim. Ini antara lain karena Indonesia tidak memiliki kebijakan yang jelas untuk menghentikan atau membatasi energi fosil kendati ada komitmen menghentikannya lewat program Energy Transition Mechanism, Just Energy Transition Partnership, dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Adapun indikator penggunaan energi ada di posisi medium dan energi terbarukan di posisi tinggi. Berdasarkan riset CCPI, Indonesia bersama Brasil dari kelompok negara G20 menempati posisi tinggi dalam hal perkembangan energi terbarukan. Laporan penelitian Global Carbon Project pada awal Desember juga menunjukkan, kapasitas energi terbarukan meningkat 22,2 persen per tahun dalam enam tahun terakhir.
Para peneliti CCPI menyebut, mereka mengharapkan Indonesia mencapai aksi iklim potensialnya dengan memiliki peta jalan energi terbarukan dan pengurangan emisi yang layak. ”Indonesia perlu menguatkan NDC-nya agar sejalan dengan tujuan 1,5 derajat celsius. Indonesia juga harus meningkatkan target energi terbarukannya agar sejalan dengan NDC dan rencana pendanaan,” jelasnya.
Tulisan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security.