Sempat Merugikan Nasabah, Produk Unitlink Dievaluasi
Publik diharapkan dapat lebih bijak memilih produk asuransi, terutama yang dikaitkan dengan investasi.
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan asuransi jiwa sedang mengevaluasi unitlink atau produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi. Ini ditempuh mulai dari moratorium hingga penyesuaian skema produk.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan surat edaran yang mengatur tentang produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau dikenal juga dengan unitlink. Surat Edaran (SE) OJK Nomor 5 Tahun 2022 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) tersebut ditujukan untuk melindungi konsumen sekaligus meningkatkan tata kelola dan manajemen risiko bagi perusahaan asuransi jiwa.
Produk unitlink memiliki dua manfaat, yakni manfaat investasi dalam jangka panjang dan manfaat proteksi. Kendati demikian, beberapa tahun ke belakang terjadi penawaran produk asuransi unitlink yang salah kaprah sehingga masyarakat merasa dirugikan.
Beberapa tahun ke belakang terjadi penawaran produk asuransiunitlink yang salah kaprah sehingga masyarakat merasa dirugikan.
Direktur Utama PT Perta Life Insurance (PertaLife Insurance) Hanindio W Hadi mengatakan, pihaknya kini tengah melakukan moratorium atau menghentikan sementara penjualan satu-satunya produk unitlink perseroan, yakni PowerLink. Langkah tersebut diambil atas pertimbangan adanya penyesuaian dalam SE-OJK No 5/2022 tentang PAYDI.
”Dari hasil evaluasi kita ke belakang memang produk ini menimbulkan banyak potensi yang tidak begitu menguntungkan, baik itu buat kami sebagai pengelola maupun nasabah,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (10/12/2023).
Selama ini, penjualan produk unitlink dilakukan melalui agen atau bersifat individual. Hal ini menimbulkan adanya biaya-biaya tambahan, seperti biaya akuisisi, sehingga berpengaruh terhadap pengembangan investasi.
Kurang menggembirakan
Hanindio menambahkan, hasil investasi produk PowerLink tidak terlalu menggembirakan karena banyak dari premi yang diterima itu dipotong di depan dan digunakan untuk pengembangan produk. Sampai dengan triwulan III-2023, Pertalife Insurance mengelola dana PowerLink sekitar Rp 34,5 miliar.
”Kita sedang berpikir bagaimana mengubah strategi pemasaran agar tidak lagi melalui intermandiri yang costly, salah satunya melalui platform digital, dengan tetap memenuhi ketentuan yang telah diberikan oleh regulator. Tapi, apakah efektif atau tidak? Ini masih menjadi PR (pekerjaan rumah) kita,” ujarnya, menambahkan.
Itu (pemahaman nasabah) menjadi tantangan tersendiri bagi PertaLife Insurance agar literasi dan edukasi keuangan dalam hal pengelolaan risiko bagi nasabah dapat dipahami lebih baik lagi.
Direktur Pemasaran PertaLife Insurance Haris Anwar menambahkan, saat ini pihaknya tengah menyesuaikan produk PowerLink sebagaimana dalam SEOJK No 5/2023 tentang PAYDI yang mewajibkan perusahaan melaporkan ulang perbaikan produk unitlink. Penyesuaian tersebut, antara lain, masa tunggu, cuti premi, biaya asuransi, kanal penjualan yang lebih efisien, dan pilihan investasi yang lebih sehat.
Haris meyakini, produk unitlink memang dibutuhkan oleh nasabah. Kendati demikian, penting bagi nasabah untuk memahami produk unitlink secara lengkap agar dapat mengambil keputusan dengan rasional.
”Itu (pemahaman nasabah) menjadi tantangan tersendiri bagi PertaLife Insurance agar literasi dan edukasi keuangan dalam hal pengelolaan risiko bagi nasabah dapat dipahami lebih baik lagi,” ujarnya.
Butuh waktu
Sementara itu, PT Chubb Life Insurance Indonesia (Chubb Life Indonesia) berkomitmen mengedepankan aspek pelindungan konsumen. Presiden Direktur Chubb Life Indonesia Kumaran Chinan mengatakan, pihaknya tidak keberatan untuk menyesuaikan diri dengan regulasi yang mengatur mengenai PAYDI.
”Penyesuaian itu tentu membutuhkan waktu. Kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya menjadi pembelajaran kita bersama di perusahaan asuransi jiwa. Oleh sebab itu, kami berusaha menjaga reputasi kami dengan menerapkan tata kelola yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya menjadi pembelajaran kita bersama di perusahaan asuransi jiwa.
Pada triwulan III-2023, Chubb Life Indonesia mencatatkan pertumbuhan premi Rp 1,34 triliun atau tumbuh 91 persen secara tahunan. Selain itu, rasio solvabilitas (risk-based capital/RBC) Chubb Life Indonesia per akhir 2022 tercatat 1.336,25 persen atau jauh di atas ambang batas minimum, yakni 120 persen.
Mengutip laporan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), pendapatan industri asuransi jiwa per September 2023 tercatat Rp 162,87 triliun atau menurun 0,6 persen secara tahunan. Hasil ini sebagian besar dipengaruhi oleh penurunan premi dari produk asuransi jiwa unitlink.
Motor penggerak pendapatan
Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon mengatakan, produk unitlink memang sempat menjadi motor penggerak utama bagi pendapatan premi industri asuransi jiwa. Hal ini berakibat pada kinerja industri asuransi jiwa seiring dengan pembenahan penjualan produk unitlink.
Kendati demikian, lanjut Budi, kontraksi yang dialami oleh industri asuransi jiwa akibat pembenahan produk unitlink tidak lebih dalam ketimbang yang dibayangkan. Selain itu, proporsi produk tradisional untuk pertama kalinya mampu melebihi produk unitlink sehingga dapat menjadi solusi bagi pertumbuhan industri asuransi jiwa.
”Kami akan terus memikul tanggung jawab untuk pembayaran klaim dan memberikan akses kepada nasabah untuk memiliki proteksi asuransi. Ketika produk unitlink masih harus disesuaikan, kami akan sediakan produk asuransi lainnya, termasuk produk tradisional,” kata Budi dalam konferensi pers Kinerja Industri Asuransi Jiwa Periode Januari-September 2023 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Asuransi Bermasalah Marak, Kepercayaan Publik Rendah
AAJI memproyeksikan produk unitlink akan kembali mendapatkan proporsi lebih banyak setelah semua perusahaan asuransi jiwa beradaptasi dengan ketentuan SEOJK No 5/2022. Sebab. permintaan pasar terhadap produk unitlink masih besar. Dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk penyesuaian agar produk unitlink kembali bangkit.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo pada Minggu (10/12/2023) mengatakan, dalam menawarkan produk unitlink, para agen menggambarkan investasi dari sudut pandang yang optimistis dan cukup menjanjikan. Sebaliknya, risiko dalam berinvestasi, seperti potensi berkurangnya nilai aset investasi dan bahkan hilangnya aset, tidak dijelaskan kepada para calon nasabah.
”Apa yang dijanjikan oleh perusahaan asuransi ternyata tidak terealisasi karena mereka mengalami miselling (kesalahan penjualan) oleh para agen. Mereka menunjukkan skenario atau proposal yang menjanjikan adanya pertambahan nilai, tetapi pada akhir kontrak justru menurun,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Imbal hasil investasi
Hal ini mengakibatkan para nasabah asuransi merasa terkelabui lantaran hasil yang diterima tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Masifnya aduan dari masyarakat, bahkan munculnya moratorium, pada akhirnya mendorong penerbitan SEOJK No 5/2022 tentang PAYDI yang mulai berlaku per Maret 2022 dengan batas waktu penyesuaian oleh perusahaan paling lambat 14 Maret 2023.
Seharusnya, lanjut Irvan, para agen menjelaskan secara rinci mekanisme produk unitlink, seperti pembayaran premi proteksi yang diambil dari imbal hasil investasi. Namun, kerap terjadi apa yang ditawarkan kepada nasabah adalah produk unitlink tersebut bebas premi. Padahal, investasi yang berpotensi mengurangi aset mengakibatkan premi proteksi tidak terbayarkan.
Unitlink itu produk yang sangat berisiko tinggi dan tentu harus ditawarkan hanya kepada nasabah yang dinilai mampu menanggung tingginya risiko tersebut atau masyarakat lapisan menengah ke atas.
Menurut Irvan, SEOJK No 5/2022 tentang PAYDI mengedepankan aspek pelindungan konsumen yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Beberapa ketentuan tersebut mengatur perusahaan asuransi agar meningkatkan tata kelola investasi, melakukan pelaporan dan perekaman, serta mensyaratkan modal minimum sekitar Rp 200 miliar.
”Mereka (perusahaan asuransi) seharusnya menyasar lapisan masyarakat yang sudah memahami investasi sehingga, dengan kata lain, mereka tidak bisa menyasar ke setiap masyarakat, terutama kelas bawah. Unitlink itu produk yang sangat berisiko tinggi dan tentu harus ditawarkan hanya kepada nasabah yang dinilai mampu menanggung tingginya risiko tersebut atau masyarakat lapisan menengah ke atas. Maka dari itu, perusahaan harus menyasar masyarakat kelas atas, tidak bisa ke kelas bawah,” tutut Irvan, menambahkan.
Oleh sebab itu, masyarakat sebaiknya memprioritaskan kebutuhan perlindungan terlebih dahulu dengan tetap memperhatikan kemampuan finansialnya. Artinya, kebutuhan perlindungan kesehatan, misalnya, tidak bisa dicampuradukkan dengan produk investasi, begitu pula sebaliknya.
Manfaat produk
Senada dengan Irvan, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan, masyarakat perlu memperhatikan manfaat produk asuransi. Umumnya, produk asuransi yang hanya memberikan manfaat proteksi akan lebih sederhana dibandingkan dengan produk asuransi yang kompleks, seperti PAYDI yang menawarkan kombinasi manfaat proteksi dan investasi, serta risiko investasi yang ditanggung oleh pemegang polis.
”Masyarakat juga perlu memperhatikan kesesuaian antara spesifikasi produk asuransi yang akan dibeli dengan kebutuhan dan kemampuan keuangannya. Untuk produk asuransi yang mengandung manfaat tabungan atau investasi, jangan mengharapkan return yang berlebihan dibandingkan dengan return dari produk jasa keuangan lain, seperti return (imbal hasil) yang ditawarkan oleh produk deposito dari sektor industri perbankan,” kata Ogi secara tertulis.
Baca juga: Kesehatan dan Rekayasa Jadi Motor Pertumbuhan Asuransi 2024
Selain itu, tingkat kesehatan keuangan perusahaan juga harus diperhatikan, seperti jenis aset perusahaan, total nilai kewajiban, dan rasio kesehatan keuangan melalui rasio RBC yang dapat dilihat secara berkala dalam situs resmi perusahaan. Secara umum, industri asuransi jiwa mencatatkan RBC 435,98 persen atau di atas ambang batas ketentuan minimum.
Dalam beberapa waktu terakhir, OJK telah mencabut beberapa izin usaha perusahaan asuransi, seperti PT Asuransi Purna Artanugraha (PT Aspan) per 1 Desember 2023 lantaran tidak memenuhi syarat minimum RBC, ekuitas, serta kecukupan investasi. Selain itu, izin usaha bidang asuransi PT Asuransi Jiwa Prolife turut dicabut karena melanggar peraturan perundang-undangan perasuransian.