Detoksifikasi Budaya hingga Pengunduran Diri dengan Kekesalan
Dunia kerja tahun 2023 diwarnai istilah ikonik berkaitan dengan introspeksi dan refleksi terhadap organisasi perusahaan.
Seperti Spotify yang menjelang akhir tahun biasa menampilkan daftar lagu yang paling sering diputar sepanjang tahun, dunia kerja juga memiliki daftar istilah-istilah ikonik atau buzzwords yang populer menjadi inspirasi, introspeksi, sekaligus kegelisahan para penggunanya selama setahun.
MIT Management Sloan School, sekolah bisnis yang dimiliki Massachusetts Insitute of Technologi (MIT) di Cambrige, Massachusetts, Amerika Serikat, misalnya, biasa menampilkan ringkasan lima istilah yang di sekolah itu disebut definisi kerja.
Tahun 2023, istilah yang dirilis oleh MIT Management Sloan School pada Kamis, 30 November 2023, mencerminkan kepedulian organisasi terhadap aksi berkelanjutan dan operasional yang lincah.
Kelima istilah itu adalah detoksifikasi budaya(cultural detox), portofolio yang lincah (portfolio agility) atau kemampuan perusahaan untuk secara cepat dan efektif mengalihkan sumber dayanya ke berbagai bagian bisnis, dan greenhushing atau pengurangan secara sengaja tujuan keberlanjutan perusahaan untuk menghindari komentar publik dan penyelidikan yang tidak berdasar.
Selain itu, modal yang sabar (patien capital)atau investasi finansial yang dilakukan tanpa harapan menghasilkan keuntungan yang cepat serta budaya heroik (culture of heroics)atau norma organisasi yang mendorong karyawan untuk berusaha lebih dari yang diharapkan pelanggan karena perusahaan kekurangan sistem dan proses yang mewadahi untuk mendukung hal itu.
Adapun istilah yang paling disukai sepanjang tahun 2023 adalah detoksifikasi budaya. Istilah itu datang dari dosen senior MIT, Sloan Donald Sull.
Detoksifikasi budaya yang dimaksud Sull merujuk pada proses mengidentifikasi dan mengatasi subkultur beracun dalam suatu organisasi perusahaan. Budaya dalam perusahaan yang ”beracun” (toxic) berasal dari kombinasi kepemimpinan yang keras dan norma-norma sosial yang tidak inklusif, tidak ada penghargaan, tidak etis, dan kejam. Budaya seperti ini adalah pendorong kuat karyawan stres, kelelahan, dan memilih untuk mencari tempat kerja lain.
Upaya detoksifikasi budaya semestinya datang dari kesadaran pemimpin/atasan. Mereka tidak bisa meningkatkan budaya perusahaan ke arah yang lebih baik, kecuali mereka bersedia bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan rekan kerja mereka atas perilaku yang toxic.
Sull menawarkan beberapa langkah yang dapat diambil para pemimpin/atasan untuk mulai proses detoksifikasi budaya. Pertama, menghitung manfaat detoksifikasi agar tetap menjadi agenda tim teratas. Misalnya, pemimpin dapat memperjelas manfaat mendasar dari budaya kerja yang sehat, seperti menekan tingkat pengurangan pekerja.
Kedua, melaporkan secara transparan kemajuan dan kekurangan langkah-langkah mencapai budaya kerja yang sehat. Langkah ketiga adalah pemimpin/atasan perlu memberi contoh yang mereka harapkan dari karyawan. Keempat, para pemimpin tidak boleh mengabaikan ulasan karyawan ketika mencoba menilai budaya perusahaan.
”Ketika para pemimpin bertindak secara konsisten berdasarkan nilai-nilai inti, hal ini menjadi salah satu prediktor paling kuat mengenai seberapa positif karyawan menilai budaya perusahaan mereka,” ujar Sull.
Baca juga: Hubungan Kerja Kontrak Semakin Berkembang
Kelanjutan 2022
Buzzwords dunia kerja yang paling populer tahun 2023 itu sebenarnya merespons buzzwords tahun 2022 yang, menurut MIT Management Sloan School, membahas tentang budaya organisasi, apa yang terjadi jika rekan kerja bersikap kejam, dan dinamika keluarga dibawa ke dalam lingkungan kerja.
Kelima istilah dalam dunia kerja yang populer tahun 2022 itu adalah budaya kerja yang beracun (toxic work culture), sindrom budaya organisasi yang memburuk (broken culture syndrome), pengaruh dinamika keluarga di lingkungan kerja (family ghost), kepemimpinan yang terdistribusi (distributed leadership), dan industri 4.0.
Sementara itu, pada Agustus 2023, Business Insider sudah merilis daftar sejumlah buzzwords dunia kerja yang relatif berbeda dengan yang dikeluarkan oleh MIT Management Sloan School. Kendati demikian, inti maknanya mirip, yaitu merespons carut-marut kondisi dalam organisasi perusahaan.
Sebagai contoh, pemutusan hubungan kerja yang meniru-niru atau copycatslayoff, cara pengunduran diri dengan kekesalan atau loud quitting, dan pekerjaan dengan tingkat stres rendah tetapi digaji tinggi atau lazy girl jobs.
Istilah pemutusan hubungan kerja yang meniru-niru dicetuskan oleh Profesor Standford’s Graduate School of Business Jeffrey Pfeffer. Sejak awal 2023, banyak perusahaan teknologi raksasa global melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, seperti Google, Microsoft, dan Zoom. Fenomena ini melanjutkan apa yang sudah terjadi pada semester II-2022. Selain perusahaan teknologi raksasa global, banyak perusahaan teknologi rintisan di sejumlah negara juga melakukan PHK. Dia menduga, banyak praktik PHK imitasi.
”PHK belum tentu berhasil meningkatkan kinerja perusahaan. Studi akademis menunjukkan bahwa pengurangan pekerja berkali-kali tidak banyak membantu mengurangi biaya, malahan sebaliknya. Hal ini pun mengurangi semangat dan produktivitas,” ujar Pfeffer dalam wawancara dengan Stanford News.
Hal ini pun mengurangi semangat dan produktivitas.
Sejalan dengan fenomena PHK massal yang diduga meniru-niru itu, di kalangan karyawan muncul sikap kekesalan dan kekecewaan. Mereka yang tidak lagi terikat secara emosional dengan perusahaan memilih berhenti dan mengambil pekerjaan lain dengan cepat. Mereka inilah yang disebut loud quitters.
Lalu, istilah pekerjaan dengan tingkat stres rendah tetapi digaji tinggi atau lazy girl jobs dipopulerkan oleh kreator Tiktok, Gabrielle Judge. Menurut Judge, waktu individu karyawan berharga sehingga seharusnya melakukan bisa melakukan hal yang selaras dengan prioritas individu bukan perusahaan.
Baca juga: Tidak Ada Perubahan Tawaran Gaji di Iklan Lowongan Pekerjaan
Konteks masalah
Chief People Officer Tiket.com Dudi Arisandi, saat ditemui di acara diskusi dengan Workday, perusahaan perangkat lunak untuk mendukung manajemen sumber daya manusia, Jumat (8/12/2023), di Jakarta, berpendapat, buzzwords dunia kerja yang muncul dan biasanya populer di media sosial selalu mengikuti perkembangan zaman. Nama istilah mungkin bisa berubah, tetapi konteks masalah di balik buzzwords sebenarnya bukan hal yang baru.
Sebagai contoh, copycats layoffs atau PHK yang meniru-niru. Dia menjelaskan bahwa sejak lama, praktik PHK seperti itu terjadi. Namun, menjadi populer saat ini karena industri teknologi sedang mengalami pertumbuhan yang sulit akibat pengaruh ketidakpastian ekonomi global. PHK massal menjadi opsi agar perusahaan bisa tetap tumbuh.
”Saya rasa, sampai muncul buzzwords di balik kejadian itu (copycats layoffs) adalah karena beberapa praktik PHK (yang sekarang marak) dilakukan tanpa penghargaan. Inilah yang sebenarnya menjadi isu baru dan ramai,” ujar Dudi.
General Manager untuk Workday ASEAN Pannie Sia berpendapat, buzzwords di dunia kerja bisa datang dan pergi setiap bulan ataupun setiap tahun. Namun, saran agar selalu mengetahui sentimen emosional karyawan tidak berubah, bahkan ketika sistem kerja menjadi hibrida, praktik memahami emosi tetap dibutuhkan.
Baca juga: Bagaimana Mengantisipasi ”Quiet Quitting”?