Bappenas: RI dan Dunia Hadapi Tiga Isu Prioritas Pangan
Pada tahun depan, Indonesia perlu mengatasi ”hidden cost” di sektor pangan dan pertanian. Selain itu, pengembangan program Regionalisasi Sistem Pangan perlu dilanjutkan karena masih belum optimal.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan dunia tengah dihadapkan pada tiga isu prioritas pangan. Hal itu akan membuat pembangunan ketahanan pangan nasional pada 2024 semakin menantang. Ketiga isu prioritas itu juga perlu ditangani secara berkesinambungan, termasuk nanti di periodisasi kepemimpinan baru.
Direktur Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Jarot Indarto, Kamis (7/12/2023), mengatakan, isu-isu prioritas pangan itu mencakup Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), krisis pangan, dan keanekaragaman pangan lokal. Saat ini, dunia dan Indonesia tinggal memiliki waktu tujuh tahun untuk mencapai SDGs.
Urgensi pangan dan pertanian dalam SDGs itu sangat penting karena menyangkut ketahanan pangan dan gizi masyarakat. Oleh karena itu, banyak negara, termasuk Indonesia, mencari bentuk-bentuk percepatan dan transformasi konkret agar SDGs itu tercapai pada 2030.
”Apalagi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyerukan pentingnya mengatasi hidden cost (biaya tersembunyi) yang berpotensi membebani pengeluaran masyarakat dan negara,” katanya dalam Rapat Koordinasi Nasional Ketahanan Pangan 2023 yang digelar Badan Pangan Nasional (Bapanas) secara hibrida.
Urgensi pangan dan pertanian dalam SDGs itu sangat penting karena menyangkut ketahanan pangan dan gizi masyarakat.
Jarot menjelaskan, di balik pangan dan pertanian ada akibat-akibat atau biaya-biaya yang ditanggung masyarakat dan negara. FAO menyebutkan, biaya tersembunyi terbesar adalah di bidang kesehatan, kemudian diikuti lingkungan dan sosial.
Merujuk laporan FAO pada September 2023, pada 2020, biaya tersembunyi di balik sistem pertanian pangan dan di luar label harga pangan global sebesar 12,75 triliun dollar AS atau sekitar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia. Biaya tersembunyi Indonesia tercatat sebesar 319,515 juta dollar AS dan paling besar di antara negara-negara di Asia Tenggara.
Tiga komponen terbesar yang menyumbang biaya tersembunyi tersebut di sektor lingkungan, yakni emisi nitrogen senilai 79,986 juta dollar AS dan gas rumah kaca 42,123 juta dollar AS. Kemudian diikuti bidang sosial, yakni terkait kemiskinan, terutama pada kelompok pekerja sektor pertanian, yang biaya tersembunyinya mencapai 11,670 juta dollar AS.
Baca juga: Biaya Tersembunyi di Luar Label Harga Pangan Kita
Isu prioritas kedua, lanjut Jarot, adalah krisis pangan yang menyebabkan bencana kelaparan. Krisis tersebut tidak hanya muncul akibat dampak perubahan iklim, tetapi juga lantaran guncangan stabilitas politik dan ekonomi.
Indonesia termasuk beruntung karena tidak mengalami krisis pangan. Kendati begitu, ada sebagian kecil daerah di Indonesia yang mengalami krisis pangan akibat konflik di wilayah tersebut. Hal itu tetap perlu diantisipasi, apalagi saat pesta demokrasi tahun depan.
Isu prioritas ketiga adalah terkait keanekaragaman pangan lokal. Menurut Jarot, hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I menunjukkan, komoditas-komoditas pangan yang dijadikan usaha pertanian belum mencerminkan komoditas khas daerah atau pangan lokal.
Hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut mencatat, sepuluh besar komoditas yang dikembangkan usaha pertanian perorangan adalah padi sawah inbrida, ayam kampung, sapi potong, kelapa, jagung hibrida, kambing, kelapa sawit, ubi kayu, karet, dan padi sawah hibrida. Padahal, Indonesia kaya dengan sumber pangan lokal, seperti sagu, sorgum, ubi jalar, talas, garut, ganyong, sukun, hanjeli, dan porang.
”Pemerintah sebenarnya telah menggulirkan program Regionalisasi Sistem Pangan untuk mengembangkan sumber pangan lokal. Namun, program itu masih belum optimal dan masih perlu dilanjutkan ke depan,” katanya.
Program Regionalisasi Sistem Pangan merupakan bagian dari kebijakan transformasi pangan nasional. Melalui program itu, Bappenas membagi Indonesia ke dalam enam zona pangan berbasis pulau-pulau, yaitu Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi-Maluku, dan Papua.
Baca juga: Jadikan Data Sensus Pertanian Basis Kebijakan Berkelanjutan
Cadangan pangan
Sementara itu, Bapanas berkomitmen meningkatkan ketahanan pangan nasional ke depan. Hal itu, antara lain, mencakup ketersediaan cadangan pangan pokok, terutama beras, bantuan pangan dan peningkatan gizi keluarga tidak mampu dan berisiko tengkes (stunting), serta pengembangan pangan lokal.
Saat berkunjung ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, 6 November 2023, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, Bapanas akan menjaga stok komoditas itu di atas 1 juta ton mulai tahun depan. Namun, Presiden Joko Widodo meminta agar stok beras yang dikelola pemerintah dapat terus bertambah mendekati 3 juta ton.
”Ini untuk memastikan bahwa dalam kondisi apa pun, termasuk perubahan iklim, negara punya stok yang siap sedia digelontorkan ke masyarakat,” ujarnya.
Bapanas akan menjaga stok komoditas itu di atas 1 juta ton mulai tahun depan. Namun, Presiden Joko Widodo meminta agar stok beras yang dikelola pemerintah dapat terus bertambah mendekati 3 juta ton.
Menurut Arief, pemerintah tetap akan memprioritaskan menyerap gabah atau beras di dalam negeri. Namun, hal itu perlu dibarengi dengan peningkatan produksi beras nasional.
Menteri Pertanian pernah menyampaikan menanam padi itu minimal harus 1 juta hektar (ha) sehingga dalam sebulan bisa dipanen lebih dari 2,5 juta ton untuk kebutuhan nasional. Kalau areal tanam itu bisa ditingkatkan menjadi 1,5 juta-2 juta ha, Indonesia pasti bisa memenuhi kebutuhan beras kembali bersumber dari dalam negeri.
”Akhir-akhir ini, kami terpaksa mengimpor beras karena produksinya turun. Di sisi lain, kami ingin roda ekonomi terus berputar dan tidak ada hambatan akibat kenaikan inflasi dan pelemahan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Bapanas mencatat, per 5 Desember 2023, total stok beras yang dikelola Perum Bulog sebanyak 1,5 juta ton dan ID Food 2.260 ton. Adapun cadangan beras pemerintah daerah provinsi di seluruh Indonesia sebanyak 6.735 ton.
Baca juga: Dana (Politik) Pangan
Sekretaris Bapanas Sarwo Edhy menambahkan, berdasarkan data BPS, jumlah daerah berstatus rentan rawan pangan pada 2023 sebanyak 68 kabupaten/kota atau berkurang dari 74 kabupaten/kota pada 2022. Hal ini tidak terlepas dari sejumlah program yang digulirkan, seperti cadangan pangan daerah, bantuan pangan, serta gerakan pola konsumsi yang beragam, bergizi seimbang, dan aman (B2SA).
Pada tahun depan, pemerintah akan melanjutkan program-program itu, termasuk bantuan pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan berisiko tengkes. Bantuan pangan itu berupa 10 kilogram beras per keluarga dari 21,4 juta keluarga penerima manfaat, serta 10 butir telur ayam dan 1 kg daging ayam per keluarga dari 1,46 juta keluarga risiko stunting (KRS).
”Bantuan beras akan berlanjut hingga Januari-Juni 2024 karena harga beras diperkirakan masih relatif tinggi. Bantuan itu bertujuan membantu meringankan beban masyarakat yang berada di garis kemiskinan,” kata Sarwo.
Sementara itu, untuk memperkuat ketahanan pangan lokal, Bapanas akan melanjutkan program penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pangan lokal. Deputi Bidang Keanekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas Andriko Noto Sudanto mengatakan, pada tahun ini, Bapanas baru dapat membantu lima UMKM pangan lokal.
UMKM itu berada di Nganjuk (Jawa Timur), Singkawang (Kalimantan Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), Manggarai Barat (Nusa Tenggara Timur), dan Maluku Tenggara (Maluku). UMKM di Nganjuk mengembangkan bawang merah, Singkawang sayur dan buah, Balikpapan ikan dan sayur, Manggarai Barat sorgum, sedangkan Maluku Tenggara singkong dan enbal.
”Pada tahun depan, kami akan berupaya mengembangkan lebih banyak lagi UMKM pangan lokal di sejumlah daerah di Indonesia,” katanya.
Baca juga: Darurat Kemandirian Pangan di Kepulauan