Pembangunan Ramah Lingkungan Datangkan Manfaat Ekonomi
Krisis iklim akibat emisi karbon jadi kesadaran berbagai pihak untuk berbenah, tak terkecuali bagi para pelaku bisnis.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pembangunan yang ramah lingkungan membuka peluang yang akan mendatangkan manfaat ekonomi bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Kendati demikian, inovasi berbasis teknologi mutakhir tidaklah cukup. Kesadaran untuk menjaga lingkungan secara berkelanjutan perlu terus dijaga.
Hal ini mengemuka dalam forum diskusi CEO Goes to CampusUniversitas Indonesia bertajuk ”Powering the Future: Innovations for a Sustainable Mission” di Fakultas Teknik UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/12/2023). Hadir sebagai pembicara antara lain Executive Vice President Aneka Energi Baru Terbarukan Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Zainal Arifin; Segment Digital Transformation Department Head SKF Indonesia Anis Lutfi; Ketua Program Studi Teknik Lingkungan UI Cindy Rianti Priadi, dosen dan peneliti tetap Departemen Manajemen & Research Associate Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Anna Amalyah Agus; serta kreator konten Wira Laga Bachtiar.
”Keberlanjutan saat ini sudah bukan lagi hanya sebagai suatu keinginan, melainkan sebuah kebutuhan. Jangan dilihat ini (keberlanjutan) sebagai ancaman, tetapi peluang baru,” kata Zainal.
Adapun upaya PLN untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ini, salah satunya dalam hal transisi energi atau peralihan dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Beberapa upaya transisi energi tersebut antara lain pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Cirata, co-firing biomassa untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan pembangkit listrik dari sampah.
Pada pembangkit listrik dari sampah, misalnya, PLN telah bekerja sama dengan 12 pemerintah daerah, seperti di Jakarta, Surakarta, Bandung, Palembang, Surabaya, dan Bali. Pembangkit listrik tersebut memanfaatkan sampah-sampah yang telah dikumpulkan oleh masyarakat di bank sampah untuk kemudian diubah menjadi tenaga listrik melalui teknologi RDF Plant.
Sebagaimana diketahui, Refuse Derived Fuel (RDF) Plant merupakan teknologi turunan dari penambangan sampah (landfill mining) untuk mengeringkan sampah. Sampah tersebut yang nantinya akan digunakan sebagai bahan bakar mesin, seperti halnya batubara menghidupkan turbin PLTU.
Kita beli fit in tarif yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 13 sen dollar AS per kWh atau sekitar Rp 2.000 per kWh, cukup menarik karena lebih mahal dari tarif listriknya PLN.
Zainal menambahkan, sampah-sampah yang dihasilkan dari 12 pemerintah daerah itu diperkirakan mampu menghasilkan 350 kilowatt per hour (kWh). Namun, dari 12 pemda, baru empat di antaranya yang menunjukkan progres dan salah satunya telah menghasilkan tenaga listrik untuk PLN, yakni di Surabaya.
”Kita beli fit in tarif yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 13 sen dollar AS per kWh atau sekitar Rp 2.000 per kWh, cukup menarik karena lebih mahal dari tarif listriknya PLN. Jadi, ini menjadi kontribusi PLN untuk mengatasi permasalahan sampah di kota-kota besar,” imbuhnya.
Berbagai upaya tersebut dilakukan untuk menekan emisi karbon dari energi fosil yang digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Hingga saat ini, PLN telah membangun pembangkit listrik berbasis EBT sekitar 1 gigawatt dan masih dalam tahap konstruksi sebesar 5 GW. Capaian tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan oleh PLN yang pada 2030 dapat mencapai kapasitas EBT 20,9 GW.
Anis menambahkan, keberlanjutan telah mengubah strategi bisnis berbagai perusahaan besar, tak terkecuali SKF. Pada 2030, SKF menargetkan mampu mencapai nol emisi karbon (net zero emission) pada lini rantai pasok, mulai dari material bahan baku, hingga produk bearing yang dihasilkan ke pelanggan.
”Keberlanjutan sudah menjadi strategi bisnis. Oleh sebab itu, kami memiliki dua strategi, yakni dengan memanfaatkan digitalisasi dan pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Pada bagian digitalisasi, SKF berfokus untuk menerapkan industri 4.0, seperti penggunaan internet of things (IOT), dengan sensor fibrasi nirkabel untuk mengirim data ke awan penyimpanan (cloud). Sementara itu, pada pembangunan berkelanjutan, SKF membangun fasilitas pusat perbaikan bearing (remanufacturing center). Secara keseluruhan, terdapat 42 remanufacturing center di dunia, salah satunya di Indonesia.
Sebagai gambaran, remanufacturing center ini memungkinkan pelanggan SKF untuk memperbaiki bearing yang rusak dengan syarat masih memungkinkan untuk diperbaiki. Anis menyebut, fasilitas tersebut sedikitnya mampu mereduksi biaya produksi sampai 50 persen, mengurangi emisi karbon, dan efisiensi waktu pengiriman.
”Perusahaan, baik multinasional ataupun lokal yang besar itu mempunyai target pembangunan berkelanjutan, berapa emisi karbon yang harus dikurangi. Dengan mereka mengirim bearing ke remanufacturing center, mereka akan menerima sertifikat dan itu bisa dikalkulasikan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan,” tambahnya.
Menurut Anis, berbagai adaptasi teknologi terbaru membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit. Kendati demikian, perusahaan mampu mengurangi biaya produksi melalui efisiensi yang didapat. Oleh sebab itu, SKF juga menawarkan rotating equipment program, yakni penerapan sistem sewa teknologi kepada pelanggan, sehingga dapat menghemat biaya pengembangan teknologi.
Cindy berpendapat, adopsi teknologi dalam hal inovasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih minim. Hal ini tecermin dari banyaknya masyarakat yang belum memahami betul prinsip dasar 3R, yakni reuse (mengurangi), reduce (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang).
”Kita tidak bisa menyamakan antara inovasi dengan teknologi. Teknologi baru tentu akan membutuhkan biaya investasi yang mahal. Namun, inovasi lebih daripada adaptasi teknologi, itu bisa berupa efisiensi proses sehingga biayanya lebih murah dan keuntungannya bisa langsung dirasakan,” tuturnya.
Anna menambahkan, World Economic Forum 2022 telah menyampaikan mengingatkan persoalan akan ancaman dari risiko yang dihadapi oleh global, yakni keberlanjutan lingkungan. Hal itu tentu akan berdampak pada sektor perekonomian karena tanpa adanya lingkungan, roda perekonomian akan terhenti.
Oleh karena itu, pemerintah telah menyiapkan infrastruktur berupa pasar karbon, pajak karbon, dan skema insentif karbon. Dengan demikian, para pelaku bisnis dan para pengusaha berlomba-lomba untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan karena dinilai dapat mendatangkan keuntungan.
”Ada skema carbon tax, carbon insentif, dan pasar karbon membuat banyak peluang baru yang besar dalam menjalankan bisnis sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Namun, inovasi dalam hal karbon kredit ini belum diimbangi dengan kurikulum di institusi pendidikan. Sekarang, infrastruktur sudah ada, maka jangan sampai kita ketinggalan, harus kita kejar, agar kita dapat menjadi subyek dalam percaturan baru pengelolaan lingkungan,” ujarnya.