Strategi Peralihan ke Transportasi Publik Mesti Jelas
Yang perlu diterapkan yakni strategi avoid-shift-improve. Yanng pertama ialah dengan tak bepergian. Jika tak bisa, gunakan kendaraan ramah lingkungan/transportasi publik. Jika tidak bisa, perlu efisiensi energi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya penggunaan kendaraan pribadi menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, yang kini tengah terus ditekan. Masifnya dorongan penggunaan kendaraan listrik pun dinilai bukan solusi. Strategi mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publiklah yang perlu terus diperkuat.
Sustainable Mobility Analyst Institute for Essential Services Reform (IESR) Rahmi Puspita Sari, dalam diskusi tentang dekarbonisasi transportasi di Indonesia yang digelar IESR secara daring, Selasa (5/12/2023), mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, sepeda motor mendominasi total jumlah kendaraan terdaftar, yakni sebesar 84,54 persen.
Dari analisis yang dilakukan IESR, imbuh Rahmi, tingkat laju pertumbuhan kendaraan selalu melebihi pertumbuhan populasi penduduk pada 2017-2021. Dengan berbagai jenis permintaan yang besar dan didominasi kendaraan pribadi, maka berdampak pada emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor transportasi.
”Sektor ini sangat tumbuh dan konsumsi energinya menjadi yang terbesar pada 2021, menggantikan sektor industri. Pergerakan angkutan penumpang transporasi darat menyumbang emisi sebesar 70 persen dari total emisi transportasi,” ujar Rahmi. Berdasarkan analisis IESR, dari 150 juta ton CO2, kontribusi sepeda motor terbesar, yakni 36,1 persen, disusul mobil penumpang 21,8 persen.
Rahmi menuturkan, yang perlu diterapkan adalah strategi avoid-shift-improve. Artinya, cara pertama untuk menekan emisi GRK dari transportasi ialah dengan tidak bepergian. Jika itu tak bisa dilakukan, beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik yang lebih ramah lingkungan. Apabila belum juga bisa dilakukan, perlu melakukan efisiensi energi dari kendaraan pribadi.
Ekonom energi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (Eria) Alloysius Joko Purwanto menambahkan, saat ini sedang digencarkan penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Misalnya, dengan diberikannya insentif sebesar Rp 7 juta untuk sepeda motor listrik serta pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) hanya 1 persen untuk mobil listrik oleh pemerintah.
Namun, hal itu dinilainya tidak akan memberi dampak signifikan pada pengurangan emisi gas rumah kaca tanpa adanya dekarbonisasi di sektor pembangkitan listrik. Itu, antara lain, karena batubara (pembangkit listrik tenaga uap/PLTU) masih menjadi kontributor terbesar dalam kelistrikan nasional, yakni lebih dari 60 persen. Sementara energi terbarukan masih sekitar 15 persen.
Menurut dia, kebijakan jangan lagi kontradiktif dan mesti jelas serta diarahkan pada penggunaan transporasi publik. ”Yang paling utama itu bukan mobil atau sepeda motor listrik, yang juga menggunakan APBN (insentif). Tapi shifting (peralihan) ke kendaraan umum (transportasi publik),” kata Joko yang juga anggota Komisi Penelitian dan Pengembangan Dewan Transportasi Kota Jakarta.
Bus listrik Transjakarta melintas di Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2023). PT Transportasi Jakarta akan mengubah armada busnya yang bermesin diesel menjadi bus listrik atau retrofit mulai 2024. Pada tahun ini, ditargetkan pengadaan 100 bus listrik baru dan baru terealisasi 52 unit yang sudah beroperasi. Pada 2024 ditargetkan akan ada 500 unit bus listrik, campuran hasil retrofit dan bus listrik baru. Strategi ini upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengendalikan kualitas udara.
Belum cukup
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan, belakangan ini, ada perkembangan cukup signifikan terkait emisi dari sektor transportasi, yang diperkirakan akan terus naik seiring peningkatan konsumsi bahan bakar minyak. Oleh karena itu, jika ingin mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060, emisi GRK dari transportasi harus teratasi.
Menurut Fabby, pemerintah memang telah membuat sejumlah kebijakan yang mengacu pada target nasional, yakni enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Target enhanced NDC itu berupa penurunan emisi GRK 31,89 persen pada 2030 dengan usaha sendiri dan 43,2 persen pada 2030 dengan dukungan internasional.
”Namun, kalau kita lihat dalam konteks perbincangan negosiasi perubahan iklim hari ini, bahkan enhanced NDC, yang sudah lebih tinggi dari sebelumnya, masih belum cukup untuk membuat kita selaras dengan Paris Agreement,” kata Fabby.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo menekankan, pihaknya terus mengembangkan bahan bakar nabati (biofuel) guna turut menekan emisi gas rumah kaca. Sejak Februari 2023 telah diterapkan B35 atau campuran biodiesel sebesar 35 persen dengan solar.
Sementara B40 (biodiesel 40 persen) sudah dilakukan uji jalan dan kini tengah uji terap untuk nonotomotif. ”Kami bekerja sama dengan Badan Pengelona Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan tim dari Lemigas. Untuk 2024 masih menggunakan B5. Sementara B40 diperkirakan (diterapkan nasional) pada 2026,” kata Edi.
Adapun bioetanol yang dicampur dengan gasoline (bensin) baru 5 persen (E5) dan diuji coba di 12 SPBU Pertamina di Jakarta dan Surabaya. Ke depan, bahan bakar nabati juga akan berkembang, tak hanya biodiesel dan bioetanol, tetapi campurannya juga bisa dengan green diesel dan green gasoline yang tengah dikembangkan.
”Sementara EV, pada 2060 diharapkan suplai energinya sudah menggunakan pembangkit energi terbarukan semua. Itu diharapkan akan menurunkan emisi sekitar 90 persen dari business as usual, atau (emisinya) tinggal 139 juta ton CO2 pada 2060,” kata Edi.