Meski Menuai Polemik, Penangkapan Ikan Terukur Tetap Dilanjutkan
Polemik penangkapan ikan terukur berbasis kuota terus berlanjut. Kementerian Kelautan dan Perikanan menegaskan kebijakan itu akan tetap diterapkan mulai 2024.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota tetap sesuai jadwal, yakni mulai Januari 2024. Hal itu merespons polemik publik dan rangkaian penolakan terkait kebijakan tersebut.
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota membagi wilayah penangkapan ikan Indonesia ke dalam enam zona. Kuota penangkapan ikan terbagi atas kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial. Kuota industri, antara lain, membuka kesempatan bagi pelaku usaha dalam negeri dan pemodal asing untuk usaha perikanan tangkap.
Koordinator Solidaritas Nelayan Indonesia (SNI) Riswanto mengemukakan, penerapan penangkapan ikan terukur terkesan dipaksakan. Dalam masa transisi menjelang berlakunya penangkapan ikan terukur, muncul kebingungan nelayan terkait penerapan pungutan ”ganda” hasil perikanan pascaproduksi, ketidaksiapan infrastruktur, dan migrasi izin kapal yang membebani nelayan kapal kecil. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan iklim yang tidak kondusif bagi usaha sektor perikanan.
Ia menilai, nelayan kecil banyak yang melaut sampai melebihi 12 mil. Kalau kapal kecil ini wajib migrasi perizinan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, dikenai tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan wajib memasang sistem monitor kapal (VMS), hal tersebut akan membebani nelayan kecil yang memiliki keterbatasan modal.
”Penundaan penangkapan ikan terukur sangat mendesak. Jika dipaksakan jalan dan kita tidak siap, pelaksanaannya tidak kondusif untuk kepastian usaha,” kata Riswanto saat dihubungi, Jumat (1/12/2023).
Sebelumnya, pada 29 November 2023, SNI menemui Presiden Joko Widodo. Dalam pertemuan itu, SNI menyampaikan sejumlah aspirasi, antara lain menolak penangkapan ikan terukur, menolak impor ikan, serta meminta pelarangan atas kapal asing dan pemodal asing. Selain itu, SNI meminta harga khusus bahan bakar minyak solar industri nelayan serta penurunan indeks tarif PNBP untuk kapal di bawah 60 GT dari 5 persen menjadi 3 persen dan untuk kapal 60-200 GT dari 10 persen menjadi 5 persen.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden (KSP) Alan F Koropitan membenarkan pertemuan antara Presiden dan beberapa perwakilan nelayan di Istana Negara pada 29 November 2023. ”Jika Presiden sudah bersedia terima (perwakilan nelayan), artinya sedang mempertimbangkan keluhan nelayan. Apa keputusan Presiden, kita tunggu saja,” katanya.
Berlanjut
Juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, saat dihubungi secara terpisah mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur akan tetap dilaksanakan mulai Januari 2024. Kementerian Kelautan dan Perikanan memastikan tidak akan ada penundaan terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
”Tak ada rencana penundaan. Menteri Kelautan dan Perikanan tetap dengan keputusannya agar kebijakan penangkapan ikan terukur bisa diimplementasikan awal Januari tahun depan,” ujarnya.
Wahyu menambahkan, penangkapan ikan terukur harus berjalan demi tata kelola yang lebih baik di sektor perikanan tangkap agar berkeadilan serta mampu mendatangkan penerimaan negara yang sesuai dan tepat. Persiapan dinilai sudah matang, setelah diawali dengan masa migrasi dari sistem perhitungan pungutan PNBP praproduksi ke pascaproduksi, serta dilanjutkan sistem penangkapan terukur berbasis kuota.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, pemerintah belum menerbitkan regulasi terkait kuota penangkapan ikan menjelang sebulan diterapkannya penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Padahal, kuota penangkapan ikan menjadi esensi penangkapan ikan terukur, dan pelaksanaannya butuh sosialisasi, simulasi, dan kesiapan sistem.
”Penangkapan ikan terukur berbasis kuota agak riskan dan mepet jika tetap diberlakukan mulai Januari 2024, sedangkan aturan kuota penangkapan belum dirilis. Ini bisa memunculkan polemik baru dan diskursus baru,” ujarnya.
Kegamangan publik tentang penangkapan ikan terukur, antara lain, terekam dalam hasil jajak pendapat ”Persepsi Publik terhadap Penangkapan Ikan Terukur” yang digagas DFW Indonesia, Ocean Solutions Indonesia, dan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta. Hasil survei selama 11 Oktober-4 November 2023 terhadap 202 responden pelaku usaha perikanan, awak kapal, dan nelayan itu menyimpulkan penangkapan ikan terukur belum siap dilaksanakan mulai tahun 2024 di 171 pelabuhan di Indonesia (Kompas, 23/11/2023).
Beberapa poin ketidaksiapan penerapan penangkapan ikan terukur dari hasil survei itu antara lain sosialisasi publik yang dinilai belum optimal, kesiapan infrastruktur yang minim, dan kekhawatiran privatisasi laut oleh oligarki industri perikanan skala besar. Muncul usulan agar penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur itu ditunda.