Misteri ”Pinjam Seratus” dan Ekonomi Utang
Pinjam seratus. Frasa ini sedang marak. Apa pun awal kisah ini, daya beli masyarakat bawah turun dan utang jadi solusi.
Belakangan ini, frasa ”pinjam seratus” viral di media sosial. Bahkan, para pesohor pun melontarkannya di ruang publik sebagai gurauan. Sebetulnya ada apa di balik fenomena menjamurnya frasa ini?
Ribuan penonton konser Coldplay yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu dua pekan lalu, tiba-tiba dikejutkan karena sang vokalis, Chris Martin, mendadak berbahasa Indonesia dan bahkan berpantun.
”Hari Selasa ujian fisika. Giat belajar biar lulus. Apa kabar Kota Jakarta? Boleh dong pinjam seratus,” ujar Chris. Sontak pantun ini disambut riuh rendah tawa penonton.
Hari Selasa ujian fisika. Giat belajar biar lulus. Apa kabar Kota Jakarta? Boleh dong pinjam seratus?
Bukan hanya Chris Martin, para pebalap internasional MotoGP saat hendak balapan di Sirkuit Mandalika, pertengahan Oktober lalu, pun juga ikut-ikut mau pinjam seratus. ”Biar balapan mulus, pinjam dulu seratus,” ujar pebalap MotoGP dari tim Ducati, Francesco Bagnaia, dalam media sosialnya.
Begitu juga dengan pebalap lainnya dari tim Aprilia, Maverick Vinales, turut mengunggah kelakar serupa. ”Halo Indonesia, boleh pinjam seratus? Bercanda,” ujar Vinales sambil menerima uang Rp 100.000 dalam videonya.
Istilah judi daring
Bahkan, kelakar ini juga dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Saat berkunjung ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan, awal November, di hadapan para CEO yang tergabung dalam Kompas100 CEO Forum Powered by PLN, Presiden Jokowi melontarkan pantun.
”Ikan lohan, ikan gabus. Direndam dulu baru direbus. Supaya pembangunan maju terus, pinjam dulu seratus,” ujar Presiden Jokowi disusul tawa para hadirin.
Penelusuran Kompas menemukan, ramainya pemakaian frasa ’pinjam seratus’ salah satunya berawal dari para pencandu judi daring (online) dari kalangan ekonomi bawah.
Apa yang dilontarkan beberapa figur publik di atas hanya contoh dari marak dan populernya penggunaan frasa ”pinjam seratus”. Di media sosial, konten dengan frasa ini sudah tak terhitung dan viral. Lantas banyak yang bertanya, dari mana sebenarnya asal muasal frasa ini muncul?
Penelusuran Kompas menemukan, ramainya pemakaian frasa ”pinjam seratus” salah satunya berawal dari para pencandu judi daring (online) dari kalangan ekonomi bawah. Jimbron (43), bukan nama sebenarnya, seorang pencandu judi daring, mengklaim, frasa ”pinjam seratus” itu sejatinya berasal dari komunitas para pejudi daring.
Jimbron, yang sehari-hari buruh harian dan sopir ojek daring ini, mengatakan, situs judi daring pernah mensyaratkan nilai minimal uang yang didepositkan untuk ikut judi Rp 100.000. Ia bercerita, di sela-sela pekerjaannya, dirinya kerap mencoba peruntungan dengan mempertaruhkan uang Rp 100.000 sebagai persyaratan minimal. Saat menang, ketagihan. Pas kalah, penasaran.
Alhasil, Jimbron melanjutkan, mereka jadi gandrung dan kerap pinjam uang Rp 100.000 kepada teman atau kerabatnya. Belum lagi, saat ini akses untuk pinjaman daring, pinjol, makin mudah. Mereka mempertaruhkan semua uang hasil berutang itu sambil berharap bisa terbayar berlipat ganda dari hasil menang judi.
Seiring makin banyaknya pencandu judi daring, frasa itu pun meluas di masyarakat dan bermigrasi di media sosial. Namun, di media sosial, makna frasa ”pinjam seratus” itu berubah makna jadi semacam gimik atau candaan agar percakapan seru saja. Padahal, menurut Jimbron, frasa itu awalnya ramai beredar di kalangan pencandu judi daring saja.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 3,29 juta orang judi daring pada 2022-2023 dengan deposit mencapai Rp 34,51 triliun.
Saat ini, syarat minimal uang deposit untuk judi daring sudah menurun, tak lagi Rp 100.000. Bahkan, kini, deposit puluhan ribu saja sudah bisa. Namun, frasa ”pinjam seratus” sudah telanjur populer dan terus viral.
Candu judi daring tengah menjangkiti sebagian masyarakat. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 3,29 juta orang judi daring pada 2022-2023 dengan deposit mencapai Rp 34,51 triliun. PPATK juga mencatat tak kurang dari 2,1 juta orang yang terlibat judi daring berpenghasilan Rp 100.000 per hari, termasuk pelajar hingga ibu rumah tangga.
Biaya hidup naik
Terlepas dari judi daring, ada juga ”teori” lain yang menyebutkan, fenomena ”pinjam seratus” merupakan cerminan adanya lonjakan biaya kebutuhan masyarakat. Jumlah persentase kemampuan menabung pun menurun sehingga muncullah ide meminjam Rp 100.000. Mana ”teori” yang benar, entahlah.
Mengutip Survei Konsumen yang dirilis Bank Indonesia, jumlah persentase konsumsi masyarakat dibandingkan dengan pendapatan meningkat. Adapun persentase kemampuan menabung masyarakat dibandingkan dengan pendapatan menurun.
Kenaikan persentase konsumsi masyarakat dibandingkan dengan pendapatan itu mulai tercatat signifikan pada Januari 2021. Saat itu, persentasenya mencapai 73,2 persen, naik dari Desember 2020 sebesar 69 persen.
Artinya, jumlah yang dari pendapatan masyarakat untuk konsumsi meningkat, sementara kemampuan menabungnya menurun.
Pada saat yang sama, persentase menabung dibandingkan dengan pendapatan menurun pada Januari 2021 menjadi 15,3 persen setelah pada Desember 2020 sebesar 20,8 persen. Artinya, jumlah yang dari pendapatan masyarakat untuk konsumsi meningkat, sementara kemampuan menabungnya menurun.
Data teranyar yaitu Oktober 2023, persentase konsumsi dibandingkan dengan pendapatan mencapai 75,6 persen. Adapun persentase kemampuan menabung dibandingkan pendapatan mencapai 15,7 persen. Survei ini dilakukan pada 4.600 rumah tangga yang tersebar di 18 kota. Adapun survei ini dilakukan bulanan oleh BI untuk mengetahui keyakinan konsumen mengenai kondisi ekonomi terkini. Ini merupakan salah satu indikator perkembangan konsumsi rumah tangga dalam produk domestik.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, berpandangan, fenomena ”pinjam seratus” ini sejatinya hanya gimik dari figur publik semata karena sedang tren di media sosial, bukan karena dorongan fenomena ekonomi tertentu yang signifikan.
Ia mengatakan, harga barang meningkat karena inflasi. Namun, pendapatan juga meningkat seiring kenaikan upah dan pertumbuhan ekonomi. Inflasi pun relatif terkendali dan masih berada di kisaran target BI dan pemerintah, yakni 2-4 persen. Inflasi Oktober 2023 berada pada posisi 2,56 persen secara tahunan.
Jadi, ada masalah distribusi kekayaan yang tidak merata atau kesenjangan.
Kalaupun menyoroti masalah menipisnya tabungan karena kenaikan biaya hidup di masyarakat, ini perlu dilihat lebih detail lagi kalangan mana yang terdampak. Masyarakat menengah ke atas tidak terlalu terdampak hal ini.
Sebab, mereka tetap memiliki aset-aset yang masih bertumbuh pascapandemi. Berbeda dengan masyarakat menengah ke bawah yang tabungannya menyusut karena pandemi dan belum bisa sepenuhnya pulih.
”Jadi, ada masalah distribusi kekayaan yang tidak merata atau kesenjangan,” ujar Riefky.
Butuh utang
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, fenomena ”pinjam seratus” ini mengindikasikan bahwa masyarakat membutuhkan pinjaman dalam nominal yang sangat kecil. Kebutuhan ini yang semestinya ditangkap oleh kalangan perbankan atau layanan jasa keuangan lainnya sebagai pasar yang potensial.
Dulu, masyarakat pinjam uang dengan nominal kecil ke kerabat, seperti keluarga dan teman. Kini, mereka beralih ke berbagai fasilitas pinjaman pribadi yang ditawarkan pinjol.
Baca juga: Balada Masyarakat ”Mantab”, Makan Tabungan untuk Hidup Sehari-hari
Sekarang muncul fasilitas ini yang nominalnya sama seperti pinjam keluarga, bedanya berbunga. Uang Rp 100.000 ini kan nominal yang relatif kecil. Tidak dikembalikan biasanya keluarga atau teman yang dipinjam uangnya akan lupa,” ujar Huda.
Jadi bagaimana? Pinjam seratus?