Upah yang layak dapat melindungi daya beli pekerja sekaligus memberi manfaat dari pertumbuhan ekonomi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kurun waktu lima tahun terakhir atau mulai dari 2018, kenaikan upah minimum provinsi relatif tidak terlalu signifikan. Fenomena ini dikhawatirkan berpotensi mengurangi kualitas hidup pekerja di tengah tingginya biaya hidup akibat inflasi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, nilai rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional tahun 2018 ialah Rp 2.268.874,19 per bulan, lalu naik menjadi Rp 2.455.662,23 (2019) dan di 2020 tercatat sebesar Rp 2.673.371,36. Adapun pada 2021 dan 2022 masing-masing sebesar Rp 2.687.723,69 dan Rp 2.725.504,94. Kemudian, pada 2023, nilai rata-rata UMP nasional mencapai Rp 2.923.309,40.
Aktivis buruh Kokom Komalawati saat dihubungi pada Kamis (30/11/2023) mengatakan, pada saat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ditetapkan, kenaikan upah minimum berkisar 6-11,5 persen. Kenaikan upah minimum mulai tidak tinggi berlangsung pada periode 2021-2022. Bahkan, ada daerah yang tidak menikmati kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di periode tersebut, seperti di Kabupaten Tangerang, Banten.
Kokom, yang terlibat dalam Komite Hidup Layak, menyampaikan, sesuai survei dan diskusi terfokus bersama 181 responden pekerja, rata-rata biaya pengeluaran rumah tangga per bulan sebesar Rp 3.428.186,69, dengan tanggungan hidup sebanyak 2,7 orang per rumah tangga.
Sebanyak 181 responden itu disurvei pada 18 September- 18 Oktober 2023 di tiga kota dan delapan kabupaten di empat provinsi. Keempat provinsi itu adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Sulawesi Tengah. Responden berlatar belakang pekerja di sektor manufaktur, ojek daring, pertambangan, dan perkebunan.
”Hal yang mengkhawatirkan adalah potensi kualitas hidup pekerja menurun (akibat kenaikan upah minimum yang tidak signifikan tersebut),” kata Kokom.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menambahkan, sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja berlaku, kenaikan upah minimum tidak signifikan. Sesuai dengan PP No 36/2021 tentang Pengupahan, turunan dari UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, penentuan upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan memperhitungkan batas atas dan bawah upah minimum.
”Pada tahun 2021, ada UMP yang kenaikannya nol persen dan tidak lebih dari 1,8 persen. Tahun 2022 pun kondisinya mirip,” ujar Said.
Sebagai gambaran, pada UMK tahun 2022 di Jawa Barat, 18 kabupaten/kota mendapatkan kenaikan UMK dan sembilan kabupaten/kota mengalami nol kenaikan UMK. Hal itu diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat No 561/Kep.732-Kesra/2021 tanggal 30 November 2021 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2022.
Said mengakui, selain pengaruh formula perhitungan berdasarkan PP No 36/2021, kenaikan upah minimum yang tidak signifikan pada periode 2021-2020 turut dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. Kenaikan konstruktif Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam saat dihubungi secara terpisah berpendapat, sejak 10 tahun lalu atau mulai 2012, pelaksanaan mekanisme penghitungan upah minimum selalu diwarnai gonjang-ganjing.
Dalam kurun waktu 2012-2017, upah minimum naik 20 persen per tahun sehingga banyak industri manufaktur tutup. Padahal, sektor industri ini banyak menyerap tenaga kerja. Keluarnya PP No 78/2015 tentang Pengupahan yang, menurut dia, diharapkan bisa menstabilkan kenaikan upah minimum tetap saja kenaikannya dua-tiga kali lipat dari inflasi.
”Padahal, ini adalah upah minimum. Sebaiknya, kita perlu kembali ke filosofi dasar bahwa ini tentang upah minimum, bukan upah maksimum. Jika ingin upah yang lebih besar, silakan menggunakan struktur skala upah dan dialog sosial,” ucapnya.
Menurut Bob, UMK sebesar Rp 4 juta sampai Rp 5 juta itu sudah jauh lebih tinggi, bahkan lebih tinggi daripada upah pegawai negeri sipil level sarjana sekalipun. Indonesia semestinya berbicara bukan lagi kenaikan upah yang signifikan, melainkan kenaikan yang konstruktif. Artinya, kenaikannya dapat meningkatkan pendapatan buruh/pekerja dan kesempatan kerja yang secara bersamaan produktivitas naik.
Sementara itu, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, inti dari polemik upah minimum di Indonesia yang hampir terjadi setiap tahun terletak pada paradigma yang diambil. Pascapandemi Covid-19, beberapa negara menaikkan upah minimum yang tinggi sebagai stimulus. Adapun di Indonesia, upah minimum cenderung dianggap sebagai beban bagi sejumlah pengusaha yang menginginkan upah buruh rendah.
Bhima berpendapat, buruh/pekerja perlu dilindungi daya belinya dari inflasi dan mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi. Solusi mengatasi polemik upah minimum adalah tetap memakai variabel pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, tanpa variabel alfa dan tanpa ada batas maksimum kenaikan upah.