Setoran Pajak dari Sektor Usaha Andalan Melambat
Sebagai sektor andalan negara, tren melemahnya pendapatan pajak dari sektor manufaktur dan perdagangan patut diwaspadai.
Pekerja berada di antara konstruksi baja pada proyek pembangunan sebuah pabrik manufaktur di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (24/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Setoran pajak dari industri pengolahan dan perdagangan melambat sepanjang tahun ini, bahkan terkontraksi selama dua triwulan berturut-turut. Lesunya sumbangan pajak dari kedua sektor andalan itu patut diwaspadai karena menyumbang hingga lebih dari separuh total penerimaan pajak negara.
Berdasarkan laporan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Oktober 2023, sektor industri pengolahan dan perdagangan menyumbang penerimaan pajak tertinggi dibanding sektor lain. Setoran pajak dari kedua sektor ini berkontribusi hingga lebih dari separuh total penerimaan pajak.
Pada Oktober 2023, industri pengolahan berkontribusi 27,3 persen terhadap total penerimaan pajak sebesar Rp 1.523,7 triliun. Adapun sektor perdagangan menyumbangkan 24,2 persen.
Baca juga: Penerimaan Pajak yang Melambat Jadi Alarm Kewaspadaan
Akan tetapi, sumbangsih kedua sektor itu terpantau melemah sepanjang tahun ini. Setoran pajak dari industri pengolahan tumbuh minus selama dua triwulan berturut-turut, yaitu minus 7 persen pada triwulan II-2023 dan minus 9,4 persen pada triwulan III-2023.
Pada Oktober 2023, penerimaan pajak dari sektor manufaktur mulai tumbuh positif, yaitu 6,7 persen. Namun, pertumbuhan itu masih jauh di bawah pertumbuhan pajak industri pengolahan pada periode yang sama tahun lalu, yaitu 13,4 persen pada Oktober 2022.
Sektor perdagangan yang menjadi kontributor pajak kedua terbesar juga mengalami kontraksi selama dua triwulan berturut-turut, yakni minus 1,6 persen (triwulan II) dan minus 0,3 persen (triwulan III), kemudian anjlok semakin dalam pada Oktober 2023 hingga minus 28,5 persen.
Kepala Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, Senin (27/11/2023), menduga, turunnya penerimaan pajak dari industri pengolahan itu karena beberapa faktor.
Turunnya penerimaan pajak sektoral dari industri manufaktur menjadi salah satu ukuran untuk melihat gejala deindustrialisasi dini.
Selain efek basis yang tinggi (high-based effect) akibat lonjakan harga komoditas di tahun 2022, penerimaan pajak tergerus karena kinerja ekspor-impor yang menurun tajam di tengah pelemahan ekonomi dunia.
”Ketika permintaan ekspor turun terus, produksi industri otomatis berkurang, impor bahan baku turun dan itu berdampak pada setoran pajak manufaktur. Hal ini perlu diantisipasi karena bisa jadi kita akan sulit mendapatkan sumber penerimaan pajak baru yang besar jika kinerja dari dua sektor utama ini terus menurun,” katanya di Jakarta.
Di sisi lain, gejala deindustrialisasi prematur atau melemahnya kontribusi sektor pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi secara makro juga ikut berdampak pada melemahnya sumbangan pajak dari industri manufaktur.
Ia mencontohkan, kontribusi sektor manufaktur terhadap penerimaan pajak terus melemah jika dibandingkan kondisi prapandemi. Sebagai perbandingan, pada tahun 2018, kontribusi pajak dari sektor manufaktur bisa mencapai 30,3 persen dan pada 2019 mencapai 28,7 persen.
Kini, trennya, kontribusi setoran pajak dari sektor jasa mulai meningkat meskipun posisi pertama masih diduduki industri pengolahan. ”Turunnya penerimaan pajak sektoral dari industri manufaktur ini menjadi salah satu ukuran untuk melihat gejala deindustrialisasi dini yang saat ini mulai terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Insentif Pajak Dinaikkan
Insentif perpajakan
Setoran pajak dari sektor manufaktur ini juga diduga semakin tersendat karena faktor pemberian insentif perpajakan yang paling banyak diberikan ke industri manufaktur, terutama dalam rangka mendukung program hilirisasi sumber daya alam.
Untuk tahun 2024 saja, industri pengolahan rencananya akan mendapat insentif perpajakan hingga Rp 88,6 triliun dari total belanja perpajakan (tax expenditure) secara sektoral.
”Insentif pajak untuk hilirisasi industri itu, kan, semestinya bisa membawa penerimaan yang lebih besar, tetapi ‘libur pajak’ untuk hilirisasi nikel saja bisa sampai 20-25 tahun. Jadi, masih butuh waktu untuk kita lihat dampaknya ke penerimaan negara. Pertanyaannya, berapa lama lagi? Jangan sampai terlalu lama, karena cadangan nikel kita terus menurun,” katanya.
Peneliti pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, setoran dari kedua sektor utama itu melambat akibat perdagangan internasional yang memang sedang lesu tahun ini.
Bukan hanya ekspor yang anjlok, nilai impor tahun ini juga terus terkontraksi. Pada Oktober 2023, misalnya, impor nonmigas turun 1,94 persen dibandingkan Oktober 2022. Impor yang melemah itu menandakan kinerja industri manufaktur yang juga melemah sehingga berdampak pada setoran pajak.
”Perlu kita ingat, barang yang diimpor akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pelemahan impor artinya pelemahan kinerja PPN kita,” ujarnya.
Tren ini harus diantisipasi karena kedua sektor ini sangat menentukan kinerja penerimaan pajak kita.
Untuk sektor perdagangan, ia menilai pelemahan yang mendalam pada Oktober 2023 itu hanya anomali sesaat meski memang trennya setoran pajak dari sektor tersebut terus melambat sepanjang tahun ini.
”Perlambatan yang dalam di Oktober itu sepertinya dikarenakan basis tahun lalu yang tinggi dan tidak terulang lagi pada tahun 2023 akibat pembayaran kompensasi bahan bakar minyak (BBM),” kata Fajry.
Andry menambahkan, lesunya setoran pajak dari perdagangan juga disumbang oleh permintaan domestik yang menurun, seperti tampak dari konsumsi rumah tangga dan kinerja penjualan ritel yang lesu belakangan ini. ”Banyak ritel yang mulai tutup, beralih ke penjualan digital, ini tentu berdampak pada setoran pajak dari sektor itu,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah mulai mewaspadai melambatnya tren setoran pajak dari kedua sektor utama itu. Khusus untuk perdagangan, penerimaan pajak terkontraksi semakin dalam karena tidak berulangnya pembayaran kompensasi BBM yang pernah terjadi pada Oktober 2022.
”Sepanjang tahun ini, sampai Oktober, (pajak dari) industri pengolahan hanya tumbuh 2,7 persen secara kumulatif. Ini pertumbuhannya sangat tipis. Perdagangan juga terkontraksi. Tren ini harus diantisipasi karena kedua sektor ini sangat menentukan kinerja penerimaan pajak kita,” katanya.
Meski setoran pajak dari sektor andalan melambat, Sri Mulyani tetap yakin target penerimaan pajak tahun sebesar Rp 1.818 triliun ini akan tercapai. Sampai akhir Oktober 2023, realisasi penerimaan pajak telah mencapai 86,69 persen dari target di APBN 2023, atau Rp 1.523,7 triliun.
”Kami cukup optimistis sampai akhir tahun ini target bisa tercapai. Dalam dua bulan terakhir ini DJP akan didorong untuk mencapai target yang sudah ditetapkan,” katanya.
Ketika penerimaan pajak dari dua sektor utama melambat, setoran dari sektor jasa tercatat tumbuh signifikan di level dua digit. Sektor jasa keuangan dan asuransi, misalnya, tumbuh 24,6 persen secara tahunan dari Januari-Oktober 2023. Pertumbuhannya terjaga tinggi sejak triwulan I-III tahun ini.
Pada periode yang sama, sektor transportasi dan pergudangan tumbuh 32,2 persen secara tahunan, sektor informasi dan komunikasi tumbuh 11,7 persen secara tahunan, dan jasa perusahaan tumbuh 24,7 persen secara tahunan.