Pertimbangkan Proyeksi Inflasi Mendatang, BI Tahan Suku Bunga Acuan
BI kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan setelah pada bulan lalu menaikkannya menjadi 6 persen. Upaya tersebut mempertimbangkan faktor dinamika perekonomian global dan potensi inflasi di masa mendatang.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia memutuskan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 6 persen. Penetapan tingkat suku bunga acuan ini dilakukan atas dasar pertimbangan perkiraan inflasi di masa mendatang lantaran dampak inflasi baru akan tecermin dalam waktu 4-6 kuartal.
Keputusan itu diambil dalam rangkaian Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) November 2023 pada 22-23 November 2023. Hasil RDG tersebut menetapkan, suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending sebesar 6,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan BI tetap konsisten dalam upaya stabilisasi nilai tukar rupiah dalam menghadapi tingginya dampak ketidakpastian global. Oleh sebab itu, pihaknya mengambil kebijakan pencegahan (preemptive) dan memproyeksikan ke depan (forward looking) sebagai mitigasi dampak inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi dapat sesuai dengan target BI, yakni kisaran 2-4 persen pada 2023 dan 1,5-2,5 persen pada 2024.
”Sampai dengan hari ini, kami yakin suku bunga 6 persen itu konsisten dengan inflasi tahun depan 1,5-2,5 persen dan stabilitas nilai tukar rupiah,” katanya dalam konferensi Hasil RDG BI secara hibrida, Kamis (23/11/2023).
Secara tahunan, inflasi umum pada Oktober 2023 tercatat sebesar 2,56 persen yang dengan kata lain, tingkat inflasi umum tercatat berada dalam target inflasi BI pada 2023 selama tujuh bulan berturut-turut. Sempat menembus batas atas sasaran sejak awal tahun 2023, tingkat inflasi umum mencapai puncaknya sebesar 4 persen secara tahunan pada Mei 2023.
Seperti bulan sebelumnya, kenaikan harga pangan masih menjadi penyumbang utama inflasi umum pada Oktober 2023 dengan tingkat inflasi sebesar 5,41 persen secara tahunan. Di sisi lain, inflasi umum melambat menjadi 0,17 persen secara bulanan dengan kenaikan harga beras dan harga bahan bakar nonsubsidi sebagai kontributor utama inflasi.
Menurut Perry, kebijakan moneter suku bunga acuan BI ditetapkan berdasarkan proyeksi tingkat inflasi dalam dua tahun ke depan dibandingkan dengan target saat ini. Oleh sebab itu, kebijakan suku bunga tidak hanya melihat tingkat inflasi saat ini, tetapi terus mengamati dinamika global terkait berbagai risiko inflasi dalam dua tahun mendatang.
”Dampak dari suku bunga terhadap inflasi memerlukan waktu 4-6 kuartal sehingga bukan hanya inflasi sekarang yang rendah dan pertumbuhan ekonomi cukup baik (sebagai parameternya). Apalagi, ke depan, ada berbagai macam risiko, terutama imported inflation dari harga energi pangan global dan besarnya depresiasi nilai tukar rupiah. Berdasarkan perhitungan kami mengenai risiko-risiko tersebut, yakni 3,2 persen, sehingga tingkat suku bunga masih oke,” papar Perry.
Oleh sebab itu, BI menilai kebijakan intervensi pasar keuangan tidaklah cukup sebagai upaya stabilisasi nilai tukar rupiah. Hal ini mengingat adanya potensi tekanan dari eksternal yang diselimuti ketidakpastian, salah satunya mengenai kemungkinan bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan tingkat suku bunga acuannya pada Desember 2023.
Kalau bulan lalu BI tidak menaikkan tingkat suku bunga acuannya, pelemahan nilai tukar rupiah bisa lebih jauh lagi. (Junito Ahmad Haryono)
Secara terpisah, pengamat pasar uang Junito Ahmad Haryono berpendapat, memang ada indikasi BI lebih mengutamakan stabilitas nilai tukar rupiah agar tidak menembus level Rp 16.000 per dollar AS. Maka dari itu, BI berupaya untuk menjaga selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar AS agar menarik bagi investor.
”Indikasi kedua, ada tekanan geopolitik dan ini bisa menjadi semakin liar. Kalau bulan lalu BI tidak menaikkan tingkat suku bunga acuannya, pelemahan nilai tukar rupiah bisa lebih jauh lagi. Harapannya, suku bunga acuan AS dapat turun seiring dengan inflasi yang juga mulai menurun kendati The Fed sendiri masih hawkish (agresif),” ujarnya saat ditemui dalam acara Media Gathering Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) di Padalarang, Jawa Barat.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah berbagai negara justru tidak menunjukkan langkah-langkah untuk menjaga stabilitas sehingga inflasi berpotensi semakin liar. Hal ini dapat dilihat dari divergensi kebijakan suku bunga antara pemerintah AS dan China, yang berbanding terbalik.
Hal ini justru mengakibatkan terciptanya berbagai pilihan sehingga terjadilah volatilitas yang membawa segudang risiko. Dengan demikian, forward looking yang dipilih oleh BI ditujukan sebagai langkah mitigasi kondisi luar negeri yang berpotensi dapat memengaruhi inflasi dalam negeri.
Selain itu, peneliti makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menyebut, ada beberapa pertimbangan BI tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan sebesar 6,00 persen pada November 2023, yakni tingkat inflasi yang berada di bawah 3 persen dan surplus neraca perdagangan. Adapun pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen juga berpengaruh terhadap keputusan BI. Sebab, jika BI menaikkan lagi tingkat suku bunga acuannya, artinya pertumbuhan ekonomi akan semakin melambat.
Apresiasi rupiah
Hingga 22 November 2023, nilai tukar rupiah tercatat menguat 1,99 persen dibandingkan dengan level akhir Oktober 2023. Secara tahunan, rupiah terdepresiasi sebesar 0,04 persen terhitung sejak akhir Desember 2022 atau jauh lebih baik ketimbang rupee India, baht Thailand, dan ringgit Malaysia yang masing-masing melemah sebesar 0,70 persen, 1,70 persen, dan 5,84 persen.
Riefky menambahkan, keputusan untuk menaikkan tingkat suku bunga yang tidak terduga oleh Bank Indonesia pada bulan lalu tampaknya berhasil meredakan tekanan baru terhadap rupiah. Namun, arus modal diperkirakan masih berpotensi akan mengalir keluar seiring dengan meningkatnya ketidakpastian di pasar global, melambatnya permintaan global, dan sikap ”higher for longer” The Fed.
”Rupiah kini relatif terkendali dan menunjukkan pola apresiasi selama sebulan terakhir. Selain itu, The Fed diperkirakan tidak akan mengubah suku bunga acuannya sehingga memberikan ruang bagi BI untuk tidak mengubah suku bunganya,” katanya.
Selain itu, Sekuritas Rupiah BI (SRBI) sebagai instrumen kebijakan baru pasar keuangan yang diperkenalkan pada Agustus 2023 oleh BI turut berkontribusi terhadap sebagian penguatan rupiah. Instrumen ini digunakan untuk memperdalam pasar uang, menarik arus masuk portofolio, dan mengoptimalkan aset Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki Bank Indonesia.
Data BI menunjukkan, lelang SRBI per 21 November 2023 telah mencapai Rp 168,81 triliun dengan aliran investasi portofolio asing sebesar Rp 27,25 triliun. Pada periode yang sama, aliran modal asing secara keseluruhan tercatat kembali masuk ke pasar keuangan domestik sebesar 2,6 miliar dollar AS kuartal berjalan. Selain itu, posisi cadangan devisa per akhir Oktober 2023 sebesar 133,1 miliar dollar AS.