Fase normalisasi harga-harga komoditas global dari siklus super atau ”supercycle” yang telah berlangsung lebih dari 30 bulan dapat mengerek tren inflasi global untuk lebih melandai.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berakhirnya fase siklus super atau supercyclekomoditas dunia yang sebelumnya telah berlangsung selama 30 bulan akan berdampak pada melandainya tren inflasi global. Situasi ini diproyeksi membuat berbagai negara di dunia akan menahan tingkat kenaikan suku bunga hingga akhir tahun ini.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad dalam diskusi panel bertema ”Masa Depan Sektor Komoditas Usai Supercycle” dalam agenda Bisnis Indonesia Business Challenge 2024 di Jakarta, Kamis (23/11/2023).
Siklus superkomoditas adalah momen saat harga komoditas melonjak karena kelangkaan atau meningkatnya permintaan. Siklus super telah berlangsung lebih dari 30 bulan terhitung sejak akhir 2020. Siklus kali ini berlangsung lebih lama ketimbang yang pernah terjadi pada 2011-2012 akibat bertumbuhnya perekonomian China, selama 14 bulan.
Fase normalisasi siklus super juga menjadi sinyal positif melandainya inflasi di mana inflasi AS secara tahunan pada Oktober tahun lalu berada di level 3,2 persen.
Siklus super yang saat ini sudah melandai menuju normalisasi bisa berlangsung lebih lama ketimbang 2011 karena tingginya permintaan dari sejumlah negara dalam rangka pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Selain itu, harga komoditas juga turut terkerek akibat imbas perubahan iklim.
Ia membeberkan berbagai komoditas yang kini mengalami tren penurunan, yakni energi, minyak, makanan, hingga biji-bijian. Meski sudah melandai, harga komoditas tidak dapat lagi kembali pada posisi sebelum Covid-19. Berbagai komoditas tersebut kini menuju fase normalisasi dan mencari keseimbangan baru.
Tauhid mengatakan, fase normalisasi ini juga menjadi sinyal positif melandainya inflasi di mana inflasi Amerika Serikat (AS) secara tahunan pada Oktober lalu berada di level 3,2 persen. Level inflasi tahunan ini lebih rendah ketimbang bulan sebelumnya yang menyentuh 3,7 persen. Adapun rekor inflasi tertinggi AS dalam empat dekade terakhir terjadi pada Juni 2022 sebesar 9,1 persen.
”Artinya kemungkinan bahwa The Fed (bank sentral AS) tidak akan menaikkan suku bunga hingga akhir tahun masih bisa mungkin karena tren inflasi di Amerika juga relatif turun,” ujarnya.
Kebijakan The Fed dalam mempertahankan tingkat suku bunga acuan biasanya akan diikuti oleh bank sentral lain di berbagai belahan dunia. Pada pertemuan yang digelar 31 Oktober-1 November 2023, The Fed mempertahankan suku bunga acuan mereka di kisaran 5,25-5,5 persen.
Momentum normalisasi harga komoditas diperkirakan akan berlangsung panjang dan tidak akan berakhir pada 2023. Puncak normalisasi akan terjadi ketika perang Rusia-Ukrania selesai dan perekonomian dunia pulih. Di sisi lain, dia mewanti-wanti harga minyak mentah yang akan melonjak akibat perang Timur Tengah yang semakin panas.
”Sementara komoditas pangan dan sebagainya sudah mulai turun sampai ke awal November lalu. Jadi, memang secara umum menuju normalisasi, kecuali yang agak sensitif adalah minyak mentah,” ujar Tauhid.
Transisi bisnis
Momentum berakhirnya fase siklus superkomoditas unggulan, seperti batubara dan minyak bumi, dimanfaatkan PT Indika Energy Tbk mengurangi portofolio bisnis batubara. Kebijakan ini juga dilakukan untuk mendukung pencapaian net zero emission pada 2050 atau lebih cepat.
Wakil Presiden Direktur Indika Energy Azis Armand mengatakan, untuk menciptakan stabilitas bisnis di tengah tren transisi energi, perusahaan menargetkan kontribusi pendapatan dari sektor di luar batubara mencapai 50 persen dari total pendapatan perusahaan pada tahun 2025. Ia berkomitmen untuk menjalankan seluruh kegiatan bisnis berkelanjutan yang menghasilkan emisi rendah karbon.
”Dalam jangka pendek, kami punya target dari sisi pendapatan perusahaan bisa 50 persen-50 persen dari sisi pendapatan. Sebagai gantinya, perusahaan mulai berinvestasi di berbagai sektor di luar batubara,” ujarnya.
Azis memaparkan, sejak 2018, perseroan sudah melakukan beberapa investasi baru, di antaranya di sektor logistik dan infrastruktur, mineral, kendaraan listrik, electric vehicle, digital ventures, dan energi terbarukan. Ia optimistis investasi baru tersebut menjadi bagian dari solusi keberlanjutan.
Pada saat yang sama, Indika Energy juga mulai melakukan divestasi kepemilikan di sejumlah perusahaan batubara sejak 2021. ”Sejak 2021, kami lakukan divestasi supaya seimbang aset-aset kami berkaitan dengan industri batubara agar suatu saat tertentu pendapatan kami balance,” kata Azis.