Pajak untuk Pencemaran Karbon Perlu Segera Diterapkan
Penerapan pajak karbon bisa menjadi penguat penyelenggaraan perdagangan emisi karbon dan pengimbangan gas rumah kaca yang kini dilaksanakan dalam bursa karbon.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Indonesia dinilai perlu segera menerapkan aturan pungutan pajak untuk pencemaran karbon yang dihasilkan pelaku usaha. Pajak dinilai akan mendorong lebih banyak pelaku usaha pengemisi pencemaran untuk terlibat dalam perdagangan karbon.
Indonesia memiliki target pengurangan emisi karbon CO2 untuk memitigasi pemanasan global sebesar 3 gigaton CO2 sampai 2030. Strategi yang bisa dilakukan untuk mencapai target tersebut adalah penerapan pajak. Pajak dapat menjadi salah satu instrumen penyelenggaraan nilai karbon, selain pembayaran berbasis kinerja, perdagangan emisi karbon, dan pengimbangan gas rumah kaca (offset) yang telah dijalankan di Indonesia.
Pakar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dan kebijakan publik dari Metaverse Green Exchange (MVGX), Charya Rabindra Lukman, berpendapat, penerapan pajak karbon bisa menjadi penguat penyelenggaraan perdagangan emisi karbon dan pengimbangan gas rumah kaca yang kini dilaksanakan dalam bursa karbon.
”Pajak karbon adalah tentang melindungi ambisi iklim Indonesia dengan melakukan investasi hijau yang berkelanjutan bagi perusahaan-perusahaan Indonesia,” ucapnya dalam diskusi virtual bertajuk ”Bursa Karbon dan Peluangnya bagi Sektor Keuangan Indonesia” oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Selasa (21/11/2023).
Pemerintah Indonesia telah merancang penerapan pajak karbon (cap and tax) untuk periode 2021-2025 secara terbatas pada PLTU batubara. DPR juga telah mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang memperkenalkan jenis pajak baru, yaitu pajak karbon. Namun, pemerintah masih menunda implementasi pajak tersebut (Kompas, 14/9/2023).
Charya menilai, belum diterapkannya pajak menjadi hambatan berjalannya perdagangan karbon lewat bursa yang diselenggarakan Bursa Efek Indonesia (BEI) lewat aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perdagangan karbon sendiri merupakan alternatif lain pelaku usaha atau suatu lembaga untuk membayar pencemaran yang mereka hasilkan dengan proyek ramah lingkungan.
Pajak karbon adalah tentang melindungi ambisi iklim Indonesia dengan melakukan investasi hijau yang berkelanjutan bagi perusahaan-perusahaan Indonesia.
Ia pun mencontohkan Singapura yang akan menaikkan pajak karbon lima kali lipat di tahun 2024 menjadi 25 dollar Singapura per metrik ton. Kenaikan pajak ini akan meningkatkan partisipasi pelaku usaha di bursa karbon negara mereka daripada perdagangan karbon secara sukarela.
Perdagangan karbon secara sukarela tidak meningkatkan kepatuhan dan rentan dengan bentuk perdagangan karbon yang tidak berintegritas, seperti greenwashing dan double counting (penggunaan karbon kredit oleh perusahaan lain).
Sejak diluncurkan pada akhir September 2023 hingga 20 November, Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) telah memperdagangkan sekitar 468.000 karbon dengan nilai transaksi Rp 29,45 miliar. Satu unit karbon saat ini berada di harga Rp 69.000-Rp 59.000. Efek itu diperdagangkan oleh 33 pengguna jasa yang membeli proyek ramah lingkungan PT Pertamina Persero dan PT PLN Persero.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menyampaikan, sejauh ini ada peningkatan pengguna jasa yang membeli karbon dari hanya 15 pengguna saat bursa itu diluncurkan pertama kali. ”Kira-kira ada 20 calon pengguna jasa sedang kami proses,” imbuhnya.
Meski dinilai cukup progresif, Bursa Karbon Indonesia butuh waktu panjang untuk menggapai potensi nilai perdagangan karbon sebesar Rp 3.000 triliun dari sekitar 1 gigaton CO2 yang bisa ditangkap.
Menurut Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Lufaldy Ernanda, untuk meramaikan bursa karbon, pemerintah sepakat membuat pajak karbon tinggi dibandingkan mekanisme perdagangan karbon lainnya. Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2023, Senin (20/11/2023).
”Setelah rapat dengan kementerian terkait, kami sepakat pungutan atas karbon adalah unit karbon paling tinggi harganya. Kalau lebih rendah dari bursa, perusahaan akan nunggu pajak yang murah. Pajak harus lebih tinggi dari instrumen lain agar mereka dikasih kesempatan berdagang di bursa karbon. Kalau belum cukup, baru dipajakin,” katanya dalam rapat yang disiarkan di Youtube Kementerian Dalam Negeri itu.
Ia menyebutkan, rata-rata harga unit karbon di Indonesia masih 5 dollar AS. Dengan demikian, nilai pajak per unit karbon harus lebih mahal dari harga tersebut.
Harga karbon di Indonesia terbilang masih rendah saat ini. Adapun harga karbon di dunia bisa mencapai 100 dollar AS. Salah satu faktor yang mengerek harga karbon, menurut Lufaldy, adalah penerapan pajak karbon.
”Ketika pajak karbon terimplementasi, harga karbon akan berkualitas sehingga orang berlomba-lomba mengurangi emisi,” ujarnya.