Media Sosial, Riwayatmu Kini
Meski menjemukan, orang tidak hengkang dari media sosial. Mereka hanya mengubah kebiasaan, dari aktif mengunggah konten, menjadi sekadar konsumen. Dari awalnya berbagi secara publik, kini lebih privat.
Warga menggunakan smartphone-nya untuk memantau media sosial di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
Media sosial tidak sama lagi. Ada yang menyebutnya sudah “mati”, atau sekadar berevolusi. Apapun itu, fungsi awal media sosial sebagai wadah untuk saling terhubung kini bergeser menjadi ladang subur bagi bisnis dan tumbuhnya ekonomi kreator. Sebagian pengguna pun beralih menjadi konsumen pasif, serta menggeser interaksi ke ruang-ruang privat.
Terakhir kali Dewi (31) mengunggah sesuatu di kolom feed Instagramnya, dunia belum mengenal pandemi Covid-19. Pada akhir November 2019, ia memasang foto siluet dirinya memandang langit senja di Palu, Sulawesi Tengah, saat lagi bertugas dinas. Postingan itu disukai 34 orang.
Tak lama sesudahnya, ia hilang minat mengunggah di media sosial. Empat tahun lamanya feed Instagram Dewi terjebak di tahun 2019. Masa-masa pandemi semakin membuatnya malas mengumbar kehidupan pribadi ke publik.
Sesekali, ia masih mengunggahkonten-konten pendek Instagram story yang hilang dalam waktu 24 jam. Itu pun sekadar untuk menaikkan ulang (repost) konten story suaminya yang sedang menseriusi hobi baru sebagai kreator konten.
“Kadang bingung mau posting apa, bikin caption apa. Semakin tambah usia rasanya semakin ogah posting kehidupan pribadi,” ucapnya, Rabu (15/11/2023). “Daripada ‘pamer’ di dunia maya, saya pilih menikmati suasana saja. Kadang terlalu sibuk posting ini itu bikin lupa menikmati kenyataan.”
Bagi Dewi, media sosial kini lebih menjadi platform hiburan untuk menonton konten orang lain, bukan lagi medium sosial untuk saling terkoneksi dan bebas berinteraksi secara terbuka seperti dulu. Ia pun lebih banyak mengonsumsi konten secara pasif ketimbang memproduksinya sendiri. “Paling nonton story orang, atau lihat-lihat akun masak karena saya hobi utak-atik di dapur,” katanya.
Untuk sebagian orang, masa kejayaan media sosial sebagai wadah bersosialisasi rasanya sudah berakhir. Media sosial dianggap semakin tidak “sosial”. Bukan lagi menghubungkan penggunanya dengan orang atau komunitas seperti dulu, media sosial kini lebih banyak mendekatkan penggunanya dengan jenama (merek), pemengaruh (influencer), kreator konten, atau pihak lain yang ingin “menjual” sesuatu.
Baca juga: Media Sosial yang Semakin Tidak Sosial
Seiring tumbuhnya ekonomi kreator, platform media sosial arus utama semakin bernuansa bisnis. Instagram lebih banyak diisi konten iklan dan unggahan bersponsor. Tiktok dibanjiri konten-konten video singkat kreator dan pemengaruh yang meraup ratusan juta dari tiap unggahan.
Facebook bahkan sudah lebih dulu menjadi ladang subur bagi bisnis dengan fitur penargetan iklannya, sampai muncul heboh skandal pelanggaran data. Sementara, sejak Elon Musk membeli Twitter dan mengubahnya menjadi X, platform itu menunjukkan gelagat bakal menjadi layanan berbayar, di mana pengguna akan diminta membayar biaya tertentu demi bisa berinteraksi di X.
Kemunculan Threads milik Meta pada pertengahan tahun ini sempat memberi harapan, tetapi euforianya dengan cepat berakhir. Mengutip artikel di TIME, 21 Agustus 2023, Threads gagal memuaskan rasa haus pengguna untuk kembali ke masa-masa Twitter dulu kala. Orang merindukan interaksi dan percakapan yang organik, tetapi konten yang disajikan Threads terasa generik. Linimasanya pun tetap didominasi arus konten dari figur publik dan akun pemengaruh yang didorong oleh algoritma.
Lebih privat
Beberapa pihak dengan keras menyatakan, media sosial sudah mati. Mengutip artikel Social Media is Dead di Business Insider, 31 Agustus 2023, media sosial yang dulu menjadi tempat berinteraksi dan berbagi dengan teman, keluarga, dan kolega, kini semakin menjauh dari koneksi yang bermakna. Fungsi sosialnya memang masih ada, tetapi tersisihkan.
Chatarina memilih memperkecil dan membatasi lingkaran sosialnya. Ia juga tidak lagi mengunggah konten sesering dulu.
Algoritma membuat konten dari akun jenama dan pemengaruh lebih sering muncul ketimbang unggahan terbaru dari teman dan keluarga. Di tengah bombardir konten yang digarap profesional itu, pengguna merasa tertuntut untuk membuat konten yang terkurasi. Seapik mungkin, selucu mungkin, sepintar mungkin. Bahkan konten yang kesannya paling otentik pun telah direncanakan matang.
Sebagian pengguna dengan semangat menerima tantangan itu, sebagian lainnya merasa kewalahan. Rasa jemu bermedia sosial pun muncul.
Kejemuan itu sempat membuat Chatarina (32) detoks dari seluruh platform media sosial selama 1,5 tahun. Kini, setelah kembali aktif di Instagram selama beberapa bulan, Chatarina memilih memperkecil dan membatasi lingkaran sosialnya. Ia juga tidak lagi mengunggah konten sesering dulu.
Chatarina membisukan (mute) sejumlah akun yang kontennya dianggap mengganggu. Ia menyembunyikan stories-nya dari akun-akun yang suka asal berkomentar. Bahkan, orang lain tidak bisa mengomentari konten yang ia unggah. Ia berusaha membuat semesta media sosialnya senyaman mungkin dengan berbagai macam pengaturan.
Baca juga: Kita Hanya Menjadi Pasar Teknologi
"Jadi, fungsi sosial dari media sosial tetap ada, hanya circle-nya yang saya kecilkan. Bagi saya ini cukup, sekarang medsos saya terasa lebih positif,” kata karyawan swasta asal Tangerang itu.
Bukan hanya generasi milenial seperti Dewi dan Chatarina, generasi Z juga punya cara untuk tetap eksis di media sosial. Sebagian dari mereka memilih merebut kembali “otonominya” di media sosial, meski harus sedikit repot.
Noval (18), misalnya, sampai memiliki dua akun media sosial. Akun pertama adalah persona yang ingin ia tampilkan ke publik. Di akun ini, ia lebih pasif dan berhati-hati demi menampilkan citra diri yang profesional. Akun kedua adalah tempatnya berekspresi tanpa pretensi, serta berinteraksi dengan lingkaran terdekatnya.
“Di second account itu, saya nge-post keseharian. Akunnya juga private, hanya follow orang terdekat. Teman saya di second account itu stories Instagram-nya bisa sampai “titik-titik” saking banyaknya yang di-upload,” katanya.
Kebiasaan yang berubah
Sejumlah kajian menunjukkan, meski menjemukan, orang tidak hengkang dari media sosial. Bahkan, total waktu yang dihabiskan pengguna di sebagian besar platform meningkat. Mereka hanya mengubah kebiasaan, dari aktif mengunggah konten, menjadi sekadar konsumen. Dari awalnya berbagi secara publik, kini lebih privat.
Kepala Instagram Adam Mosseri mengakui, pengguna kebanyakan sudah tidak mengunggah konten secara reguler di kolom feed. Dalam wawancara di podcast 20VC, Agustus 2023, Mosseri mengatakan, pengguna Instagram kini lebih banyak menggunakan fitur pesan singkat (direct message atau DM), stories, dan grup chat. Interaksi bergeser dari ruang publik ke ruang-ruang privat.
Itu bukan salah algoritma. Sebagian besar user memang sudah tidak mengunggah apa-apa lagi ke feed.
Dalam lima tahun terakhir, sumber pertumbuhan Instagram pun hampir seluruhnya berasal dari interaksi user di DM dan stories, bukan feed. “Banyak user yang menganggap algoritma itu penyebab mereka tidak bisa lagi melihat postingan temannya sesering dulu. Padahal, itu bukan salah algoritma. Sebagian besar user memang sudah tidak mengunggah apa-apa lagi ke feed-nya,” kata Mosseri.
Bergesernya tren bermedia sosial itu mulai ditangkap oleh perusahaan platform. Instagram, misalnya, berencana mengembangkan fitur kolom feed terpisah yang khusus untuk menampilkan konten milik lingkaran terdekat pengguna atau close friends. Sebelumnya, Instagram juga sudah membuat fitur grup chat dan stories yang eksklusif melibatkan daftar close friends tersebut.
Tiktok pun baru-baru ini berencana mengembangkan fitur networking sosial dan pesan privat di aplikasi konten berbasis video itu. Mengutip Axios, 5 September 2023, Tiktok tidak ingin konten videonya lebih sering disebar di aplikasi media sosial atau pesan singkat lain.
Selama ini, ruang interaksi antara kreator Tiktok dan penontonnya sebatas di kolom komentar. Itu dianggap tidak cukup efektif untuk mengikat interaksi antarpengguna. Tiktok, yang kehadirannya mampu mendisrupsi strategi platform lain dan membuat jagat media sosial semakin minim interaksi, tetap butuh sentuhan sosial.
Pada akhirnya, media sosial mungkin tidak mati. Ia hanya berevolusi, sebagaimana manusia-manusia yang membuat dan memakainya.
Baca juga: Desentralisasi, Masa Depan Media Sosial