Beberapa kali pemerintah mengatakan, kehadiran perusahaan platform dari luar negeri diharapkan bisa memberi transfer teknologi. Kita bisa bernegosiasi dengan perusahaan platform ini untuk urusan transfer teknologi.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Ingar bingar peluncuran media sosial Threads, Kamis (6/7/2023), menyisakan masalah besar bagi bangsa ini. Kita kembali menjadi pasar bagi produk teknologi.
Peluncuran Threads dilakukan di saat publik sedang jengkel dengan Twitter yang membatasi jumlah cuitan yang bisa dibaca dalam sehari. Hanya mereka yang berlangganan yang berhak membaca lebih banyak cuitan. Threads yang berbasis teks seperti halnya Twitter itu langsung aktif di sistem operasi Apple dan Android, dan akun-akun awal yang sudah aktif ada selebritas Shakira dan Jack Black. Ada juga media-media seperti Vice, Netflix, dan The Hollywood Reporter (Kompas, 7/7/2023).
Orang masih terus membicarakan kehadiran Threads yang dalam waktu sehari telah berhasil mendapatkan 30 juta pengikut. Tak hanya itu, CEO Tesla yang juga eksekutif Twitter, Elon Musk, hendak menggugat Meta karena dianggap telah ”mencuri” kekayaan intelektual Twitter. Konflik ini pasti akan memperpanjang perbincangan tentang Threads. Orang juga masih akan larut dengan perbincangan remeh-temeh soal platform tersebut.
Publik Indonesia sudah pasti juga ikut dalamn arus kehebohan ini. Kompas telah membuat kritik tentang perilaku publik dan menyebutnya sebagai latah alias ikut-ikutan semata. Mereka sekadar ikut arus tanpa sikap berhati-hati dalam mengunduh aplikasi yang satu ini karena pada ujungnya data mereka yang akan dikeruk dan digunakan oleh perusahaan media sosial tersebut.
Lebih jauh lagi, setiap ada platform baru, publik di Indonesia lebih banyak berperilaku sebagai konsumen. Kita masih ingat, berbagai platform global masuk ke Indonesia dan kita tak pernah belajar untuk berinovasi dari mereka. Ketika kecerdasan buatan generatif, seperti ChatGPT, diluncurkan, kita juga sama saja, sebagai konsumen. Tidak mengherankan apabila perusahaan platform nyaman masuk ke Indonesia karena nyaris tidak ada perlawanan. Keadaan ini sangat berbeda dengan Uni Eropa yang terus mempersempit gerakan perusahaan teknologi global. Mereka membuat aturan yang membatasi upaya untuk mengeruk data milik warganya.
Indonesia sulit untuk melakukan langkah sejenis. Pelarangan tanpa alasan yang jelas akan berhadapan dengan publik yang mudah kecanduan media sosial. Kita perlu mencari cara lain. Beberapa kali pemerintah mengatakan, kehadiran perusahaan platform dari luar negeri diharapkan bisa memberi transfer teknologi. Kita bisa bernegosiasi dengan perusahaan platform ini untuk urusan transfer teknologi.
Sayang sekali, pernyataan pemerintah soal transfer teknologi setiap kali bertemu dengan perusahaan teknologi tidak terdengar kabar lanjutannya. Ukuran-ukuran transfer itu sendiri sepertinya tidak pernah ada. Pemerintah juga tidak pernah menagih janji perusahaan teknologi. Kita kembali menjadi pasar saja.