Penggunaan Batubara Bakal Dikurangi, Bukan Dihapuskan
Ini bukan ”coal phase out”, melainkan ”coal phase down”. Kemudian, kami mempertimbangkan ada pergeseran pertumbuhan ”demand” yang tadinya di Jawa, sebagai epicentrum, bergeser ke timur.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sepakat untuk menerapkan pengurangan bertahap penggunaan batubara atau coal phase down ketimbang penghapusan bertahap penggunaan batubara atau coal phase out. Pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batubara bakal dilakukan hanya jika ada dana tersedia.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI dengan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/11/2023). Hadir juga Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu dan Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi.
Darmawan mengatakan, dipandu Kementerian ESDM dan bekerja sama dengan International Energy Agency (IEA), ada lima skenario model pembangkit kelistrikan. Kelimanya ialah business as usual (BAU) dengan berbasis batubara; BAU berbasis gas; akselerasi energi terbarukan dengan coal phase down; ultra akselerasi energi terbarukan dengan coal phase down; dan ultra akselerasi energi terbarukan dengan coal phase out.
”Dalam hal ini, dengan berdiskusi dengan Kementerian ESDM, kami setuju bahwa skenario yang paling feasible (layak) adalah yang ketiga (akselerasi energi terbarukan dengan coal phase down). Dengan skenario tersebut, emisi gas rumah kaca pada 2040 dapat diturunkan dari 512 juta ton CO2 jika business as usual menjadi 321 juta ton CO2,” ujar Darmawan.
Dalam paparannya disebutkan bahwa dengan skenario 3, akan ada penambahan pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 75 persen dan pembangkit listrik berbasis gas sebesar 25 persen. Adapun skenario 4 dan 5 tak dipilih karena membuat operasi sistem tidak feasible dan keberlanjutan finansial PLN yang bisa terancam.
”Kami (PLN dan Kementerian ESDM) sama-sama setuju bahwa ini bukan coal phase out, tetapi coal phase down. Kemudian, kami mempertimbangkan ada pergeseran pertumbuhan demand (permintaan kelistrikan), yang tadinya di Jawa, sebagai epicentrum, bergeser ke (Indonesia) timur,” ucap Darmawan.
Ditemui setelah rapat tersebut, Jisman menuturkan, dari hitung-hitungan yang telah dilakukan, sektor ketenagalistrikan dipastikan mencapai emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060. Untuk mencapai itu, telah disepakati bahwa jalan yang ditempuh ialah coal phase down hingga berakhirnya power purchase agreement (PPA) pada PLTU-PLTU yang ada.
Saat PPA satu PLTU berakhir dan tidak ada amortisasi ataupun depresiasi, serta masih bisa dioperasikan, akan ada retrofit atau penambahan teknologi agar tetap bisa menjadi pembangkit baseload (pemikul beban dasar). Teknologi itu, antara lain, ialah biomassa, green hidrogen, green amonia, serta penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon, capture, storage/CCS).
”Namun, kalau dalam perjalanan ada pendanaan cukup, boleh early retirement (pengakhiran dini operasi PLTU). Jadi kondisional asal ada pendanaan. Namun, default (standarnya) kita phasing down, bukan phasing out. Walau (masih) dari fosil, tetapi ujungnya, 2060, emisinya nol. Jadi, bukan perang terhadap pembangkit, tetapi terhadap emisinya,” kata Jisman.
Dalam penerapan coal phase down, imbuh Jisman, energi listrik dari PLTU akan dikurangi secara bertahap. Di sisi lain, permintaan kelistrikan dari tahun ke tahun akan tumbuh. Gap tersebutlah yang nantinya harus diisi oleh pembangkit energi terbarukan, termasuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) ataupun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung.
Energi listrik dari PLTU akan dikurangi secara bertahap.
Jisman mengakui, semangat coal phase down berbeda dengan apa yang digaungkan sebelumnya, yakni pengakhiran dini operasi PLTU, yang juga sempat disampaikan Presiden Joko Widodo. ”Semangat demikian kan di awal. Tapi kami kan ada hitung-hitungan di teknis. Kalau kita langsung phase out, (berpengaruh) pada keandalan. Listrik di rumah bisa padam. Satu jam saja (mati listrik) kan sudah ngamuk,” ujarnya.
Tambahan pembangkit
Adapun rapat Rabu membahas tentang revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. RUPTL PLN 2021-2030, yang berlaku saat ini, akan digantikan RUPTL 2024-2033 yang tengah disiapkan. Kementerian ESDM dan PLN telah berkoordinasi dan disebutkan bahwa RUPTL berikutnya selaras dengan revisi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Perubahan signifikan dalam RUPTL PLN baru adalah penambahan pembangkit energi terbarukan sebanyak 31,6 gigawatt (GW) atau 75 persen, sedangkan sisanya ialah pembangkit gas sebesar 10,5 GW atau 25 persen. Sebelumnya, pada RUPTL PLN 2021-2030, porsi penambahan pembangkit energi terbarukan sebesar 52 persen.
Menurut data Kementerian ESDM, merujuk pada RUPTL PLN 2021-2030, progres pembangunan pembangkit PLN hingga September 2023, yang telah beroperasi ialah sebesar 8,6 GW atau di bawah target 2023 yang 16,9 GW. Artinya, hanya tercapai 50,91 persen. Sementara pengembangan transmisi baru mencapai 8.439 kilometer (km) sirkuit atau 17,68 persen dari target yang 47.723 km sirkuit.
Jisman mengakui, target-target pada RUPTL sebelumnya belum mengarah pada NZE 2060. ”Waktu itu kan (berpikirnya) yang penting green dulu, 52 persen pembangkit energi terbarukan dibangun (tapi tak tercapai). Sementara sekarang sudah mengarah ke NZE, termasuk tahapannya. Itu akan dilaksanakan. Harapannya bisa dicapai,” ucapnya.
Yudo menambahkan, ada sejumlah tantangan dan permasalahan dalam pelaksanaan RUPTL 2021-2030. Di antaranya adalah ketidaksesuaian proyeksi permintaan dan kelebihan pasokan (oversupply) listrik yang menjadi kendala pembelian kelebihan listrik (excess power) dari pemegang izin usaha PLTS. Tantangan lainnya adalah perihal perizinan, teknis, pembiayaan, alam dan sosial, serta pengadaan.
”Terkait teknis, (tantangannya) yakni kerusakan beberapa komponen akibat banjir dan proses revitalisasi, risiko eksplorasi (pembangkit) panas bumi yang tinggi, dan kualitas daya serta susut jaringan yang menjadi kendala transmisi,” kata Yudo. Adapun terkait pengadaan, lanjut dia, kendalanya adalah implementasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan keterlambatan proses pengadaan.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dyah Roro Esti, menuturkan, saat berbicara tentang energi terbarukan, kerap kali yang menjadi perbincangan adalah bagaimana meningkatkan kapasitas pasokan listrik dari sumber energi bersih itu. Namun, hal itu kerap terbentur realitas bahwa sejumlah provinsi mengalami kelebihan pasokan listrik.
”Kami harap agar disusun semacam peta jalan 10-15 tahun yang berkaitan dengan strategi untuk mengatasi masalah oversupply. Mungkin ada sektor-sektor tertentu yang bisa menjadi penyerap terbesar listrik. Sebab, di satu sisi kita semangat untuk mengembangkan energi terbarukan, tetapi di sisi lain ada oversupply, di mana pembangkit kita dominan dari energi fosil,” ujar Dyah.