Kenaikan Upah Minimum Ikut Tentukan Nasib Pertumbuhan Ekonomi Tahun Depan
Belanja masyarakat bergantung pada daya belinya, yang akan ikut dipengaruhi oleh kenaikan standar upah minimum.
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan upah minimum yang akan ditetapkan dalam seminggu ke depan turut menentukan nasib laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024. Di tengah potensi pelemahan ekspor yang berlanjut serta investasi yang ”wait and see”, konsumsi kelas menengah bergaji UMP menjadi andalan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di level 5 persen.
Akibat ketidakpastian kondisi ekonomi global yang menjadi-jadi, ”mesin” eksternal pendorong utama ekonomi, seperti ekspor dan investasi asing, belakangan ini tidak bisa terlalu diandalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Di saat-saat seperti itu, ekonomi hampir sepenuhnya bergantung pada mesin internal, yaitu konsumsi rumah tangga atau belanja masyarakat.
Saat krisis ataupun tidak, karena diberkahi jumlah penduduk yang banyak, konsumsi rumah tangga memang menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sumbangannya terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) selalu mencapai 51-57 persen. Terakhir, pada triwulan III-2023, konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga 52,62 persen terhadap PDB.
Baca Juga: Meski Sudah Ditetapkan, Formula Penghitungan Upah Minimum Masih Diperdebatkan
Konsumsi rumah tangga bergantung pada tingkat belanja masyarakat. Semakin konsumtif, semakin baik untuk pertumbuhan ekonomi secara makro. Namun, kegiatan belanja masyarakat tentu bergantung pada tingkat daya belinya, yang dipengaruhi oleh seberapa besar pendapatan yang rutin diterima serta seberapa mahal ongkos biaya hidup yang harus dibayar.
Pekan depan, paling lambat 21 November 2023, gubernur di setiap daerah akan menetapkan kebijakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2024. Sementara itu, upah minimum kabupaten/kota (UMK) akan ditentukan oleh bupati dan wali kota paling lambat 30 November 2023.
Kementerian Ketenagakerjaan sudah mengeluarkan aturan terbaru yang memastikan adanya kenaikan upah minimum tahun depan, seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023. Sampai detik ini, formula kenaikan upah yang terkandung dalam aturan baru itu masih diperdebatkan kalangan pekerja dan pengusaha.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Senin (13/11/2023), mengatakan, kenaikan UMP dan UMK akan berdampak signifikan pada laju konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, geliat konsumsi selama ini memang bergantung pada masyarakat berpenghasilan menengah yang pendapatannya stabil dan rutin.
Kelompok menengah di Indonesia sebagian bekerja di lapangan usaha formal yang digaji sesuai standar upah minimum atau di atas itu. Dengan demikian, kenaikan persentase UMP dan UMK sudah pasti akan ikut menggerakkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
”Kelompok menengah itu disposable income-nya lebih besar dari kelompok atas karena uang yang mereka miliki itu, kan, akan langsung dibelanjakan habis. Polanya beda dari kelompok atas yang uangnya lebih banyak ditabung, disimpan, atau diinvestasikan,” katanya.
Konsumsi kelas menengah juga lebih berdampak ketimbang kelompok bawah. Meski masyarakat berpenghasilan bawah juga sama-sama membelanjakan pendapatannya dan tidak ditabung, tetapi uangnya lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi makanan. Sementara itu, pengeluaran kelas menengah banyak yang diarahkan ke konsumsi nonmakanan.
”Semakin tinggi konsumsi nonmakanan, semakin besar pengaruhnya ke pertumbuhan ekonomi ketimbang konsumsi makanan. Sebab, konsumsi makanan itu industrinya terbatas dan kebanyakan sifatnya habis pakai, sementara nonmakanan lebih berdampak karena banyak sektor yang terkait, ada pendidikan, kesehatan, dan lain-lain,” papar Tauhid.
Peneliti Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Etikah Karyani Suwondo, mengatakan, kenaikan upah minimum juga seharusnya bisa merangsang pertumbuhan ekonomi dari sisi suplai. Peningkatan jumlah produksi akan terjadi karena kemampuan konsumen untuk membeli barang dan jasa lebih besar. Permintaan yang tercipta di pasar domestik lebih besar dan bisa menggerakkan berbagai sektor lapangan usaha.
”Kenaikan upah berdampak positif terhadap konsumsi karena ada pendapatan tambahan bagi rumah tangga. Peningkatan ini direspons oleh produsen dengan dinaikkannya jumlah produksi sehingga stabilitas pertumbuhan ekonomi terjaga,” kata Etikah.
Tergerus inflasi
Di sisi lain, besaran kenaikan upah juga akan ikut menentukan tingkat konsumsi rumah tangga tahun depan. Apabila kenaikan upah hanya berkisar di rata-rata 4 persen, dampaknya pada konsumsi rumah tangga diperkirakan tidak terlalu signifikan.
Pasalnya, ada potensi kenaikan UMP tergerus oleh kenaikan inflasi yang lebih tinggi tahun depan. Bank Indonesia (BI) baru-baru ini memproyeksikan tingkat inflasi tahun 2024 akan mencapai 3,2 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, proyeksi inflasi yang tinggi itu disebabkan oleh dampak kenaikan harga pangan dan energi global serta tren pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa mendorong inflasi akibat impor (imported inflation). ”Kami perkirakan memang tahun depan inflasi akan sedikit meningkat, tetapi itu masih terkendali dalam kisaran 2,5 persen plus minus 1 persen,” kata Perry, Senin (13/11/2023).
Saat ini saja, daya beli masyarakat sudah mulai tergerus oleh kenaikan inflasi. Pada triwulan III-2023, misalnya, inflasi sepanjang tahun berjalan (year to date) adalah 1,63 persen, naik dibandingkan dengan inflasi year to date pada triwulan II-2023 sebesar 1,24 persen. Konsumsi rumah tangga pun melambat ke 5,06 persen kendati masih tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca Juga: Ekonomi RI Mulai Lesu, Konsumsi Tumbuh tetapi Rapuh
Pendapatan yang berkurang itu terlihat dari data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang belakangan menurun, khususnya kelompok masyarakat dengan tabungan di bawah Rp 100 juta, yang merupakan mayoritas nasabah di perbankan.
Biasanya, saat konsumsi rumah tangga melambat, ada dua kemungkinan yang terjadi, yakni antara masyarakat memilih menabung dan menahan belanja atau daya belinya turun. Turunnya pertumbuhan DPK mengindikasikan masyarakat bukan sedang menabung dan menahan belanja, melainkan daya belinya menurun.
Tauhid menilai, kenaikan upah nominal yang terlalu rendah akan ”termakan” oleh inflasi tinggi sehingga upah riil atau daya beli masyarakat tetap berjalan di tempat atau menurun karena tergerus. Setidaknya, perlu ada selisih kenaikan 2 persen dibandingkan dengan kenaikan UMP tahun sebelumnya untuk memberi ruang berjaga-jaga jika inflasi naik.
Menurut dia, idealnya UMP bisa naik sekitar 8 persen. ”Itu baru terasa signifikan ke konsumsi rumah tangga. Namun, memang ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Selain potensi inflasi tahun depan, juga perlu dipertimbangkan dampaknya ke dunia usaha. Kisaran 7-8 persen itu masih ideal. Kalau di atas 10 persen mungkin memang berat untuk beberapa sektor,” kata Tauhid.
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sarman Simanjorang mengatakan, kendati pengusaha pada dasarnya menyambut baik aturan baru pengupahan, ia berharap penetapan UMP dan UMK itu tetap realistis dengan kondisi perekonomian terkini agar tidak memberatkan dunia usaha.
Saat ini, dunia usaha juga menghadapi sejumlah tantangan akibat ketidakpastian kondisi ekonomi. Mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah dan penguatan dollar AS, kenaikan suku bunga pinjaman, serta pelemahan pasar ekspor global akibat melambatnya perekonomian sejumlah negara maju. Berbagai beban itu membuat ongkos produksi dan arus kas (cashflow) perusahaan terhambat.
”Permintaan kenaikan UMP harus realistis dengan memerhatikan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Ini supaya tidak memunculkan gejolak terhadap hubungan industrial yang bisa mengganggu penyerapan tenaga kerja,” kata Sarman.