Melaraskan Pertumbuhan dan Pengurangan Emisi
Negara berkembang seperti Indonesia yang baru mau melakukan upaya industrialisasi akan menghadapi tantangan lebih berat untuk menyeimbangkan laju pertumbuhan ekonominya dengan ikhtiar mengurangi emisi.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Cilegon, Banten, Senin (28/8/2023). PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) digugat ke Komisi Informasi Pusat untuk membuka data emisi yang dihasilkan oleh pengoperasian PLTU Suralaya di Cilegon dan PLTU Ombilin di Padang, Sumatera Barat, kepada publik.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan mendatang menghadapi tantangan berat untuk mengejar dua target besar pembangunan ekonomi yang saling berseberangan, yakni menumbuhkan ekonomi di kisaran 6-7 persen sekaligus mengurangi emisi karbon menuju target emisi karbon netral. Dibutuhkan strategi kebijakan drastis untuk mengatasi ”dilema” itu.
Indonesia telah memasang target untuk menjadi negara berpendapatan tinggi (high income country) pada tahun 2045, bertepatan dengan momen Indonesia Emas atau ketika Indonesia resmi menginjak usia ke-100 tahun.
Saat ini, Indonesia masih berstatus negara berpendapatan menengah (middle income country). Pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia pada tahun 2022 tercatat 4.580 dollar AS, membuat Indonesia kembali menjadi negara berpendapatan menengah atas setelah sempat terpeleset menjadi negara berpendapatan menengah bawah akibat pandemi Covid-19.
Baca juga: Energi Hijau: Anies, Ganjar, dan Prabowo Tak Singgung Keterjangkauan Harga
Untuk bisa menjadi negara maju, pertumbuhan ekonomi harus berada di kisaran 6-7 persen. Lebih tepatnya, ekonomi mesti tumbuh 6 persen selama 20 tahun atau 7 persen selama 17 tahun. Sebagai perbandingan, ekonomi RI saat ini masih tumbuh di kisaran 5 persen dan berpotensi melambat di tengah ketidakpastian kondisi global.
Teuku Riefky, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Jumat (10/11/2023), mengatakan, menimbang kondisi terkini, Indonesia perlu memacu mesin pertumbuhan ekonominya secara masif untuk bisa mencapai level menuju negara maju tersebut.
Hal itu tidak akan mudah mengingat Indonesia juga memiliki target pembangunan ekonomi jangka panjang yang sama penting, yakni mengurangi emisi karbon hingga mencapai posisi emisi bersih (net zero emission) pada tahun 2060, atau lebih cepat dari itu.
”Usaha mencapai status negara berpendapatan tinggi itu mensyaratkan Indonesia tumbuh di atas level normalnya, tetapi ini berpotensi mendorong peningkatan emisi yang jauh lebih tinggi lagi. Hal ini bisa membuat agenda pertumbuhan ekonomi kontradiktif dengan agenda dekarbonisasi, begitu juga sebaliknya,” kata Riefky.
Kajian LPEM FEB UI menunjukkan, dalam dua dekade terakhir ini, untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi stabil di level 5 persen saja, implikasi lingkungan yang dihadapi sudah besar. Pertumbuhan ekonomi masih diiringi praktik deforestasi yang masif, konsumsi batubara yang berlebihan, serta penggunaan bahan bakar fosil yang tinggi.
Tanpa langkah drastis yang diambil pemerintahan mendatang, Indonesia akan terus berhadapan dengan dikotomi pertumbuhan ekonomi dan dekarbonisasi.
Data Bank Dunia dan Global Carbon Budget menunjukkan, selama periode 2000-2020, ekonomi Indonesia terus tumbuh hingga stabil di kisaran 5 persen, tetapi emisi karbon per kapita yang dikeluarkan juga konsisten tumbuh semakin tinggi.
Dalam satu dekade terakhir, berdasarkan Our World in Data, emisi karbon per kapita Indonesia meningkat dari 1,9 ton pada 2013 menjadi 2,3 ton pada 2021. Selama periode itu, emisi yang dihasilkan konsisten meningkat, dengan pengecualian pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Saat itu, emisi per kapita sempat turun dari 2,4 ton pada 2019 menjadi 2,2 ton pada 2020.
Tantangan yang dihadapi tidak mudah karena sampai saat ini batubara masih menjadi sumber energi utama di sektor pembangkit listrik di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk tahun 2020, batubara masih berperan 67,21 persen dalam bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia. Angka itu naik dari 2021 sebesar 66,01 persen. Meski demikian, porsi energi baru dan terbarukan juga meningkat, dari 13,65 persen pada 2021 menjadi 14,11 persen pada 2022.
Baca juga: Meski Lambat, Indonesia Mampu Lakukan Transisi Energi Sesuai Target
Riefky mengatakan, tanpa langkah drastis yang diambil pemerintahan mendatang, Indonesia akan terus berhadapan dengan dikotomi pertumbuhan ekonomi dan dekarbonisasi yang seolah menegasikan satu sama lain.
”Sepuluh tahun ke depan jadi pertaruhan. Pemerintahan selanjutnya harus bisa muncul dengan kebijakan reformasi strategis dan solusi untuk ’memisahkan’ antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi,” ujarnya.
Tidak mustahil
Meski sulit, hal itu tidak mustahil. Pengalaman sejumlah negara menunjukkan pertumbuhan ekonomi bisa dicapai bersamaan dengan penurunan emisi. China sebagai emiter karbon terbesar dunia adalah salah satu yang bisa menyeimbangkan pertumbuhan ekonominya dengan upaya dekarbonisasi.
Upaya penghematan energi dan penggunaan energi terbarukan di China sejak tahun 2005 dapat memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah emisi dan sedikit membelokkan laju kurva emisi karbon yang dihasilkan ”Negeri Tirai Bambu” itu.
Ekonomi hijau diyakini akan membuka peluang investasi besar yang pada akhirnya ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Dengan langkah-langkah itu, meski pekerjaan rumah yang tersisa masih banyak, sejumlah target nasional China bisa dipenuhi. Per tahun 2020, misalnya, intensitas emisi karbon dapat diturunkan sebanyak 18,8 persen dibandingkan kondisi 2015. Porsi penggunaan energi nonfosil sebagai bagian dari bauran konsumsi energi primer juga meningkat 15,9 persen.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur Umar mengatakan, dengan dideklarasikannya komitmen Indonesia menuju nol emisi karbon, memang ada konsekuensi yang harus dihadapi.
Negara berkembang seperti Indonesia yang baru mau melakukan upaya industrialisasi akan menghadapi tantangan lebih berat untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonominya dengan upaya dekarbonisasi ketimbang negara-negara maju yang sudah lebih dulu melewati masa puncak kejayaan industri dan kini tinggal ”menebus dosa” lewat pengembangan ekonomi hijau.
Namun, Bobby melihat, hal itu tidak mustahil. Ekonomi hijau diyakini akan membuka peluang investasi besar yang pada akhirnya ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, upaya sektor industri melakukan dekarbonisasi juga terbantu dengan terciptanya ceruk pasar yang potensial untuk produk-produk hijau.
Baca juga: Dilema Industrialisasi Tambang di Era Transisi Energi
”Potensi market baru untuk produk hijau kini semakin besar. Dari situ, saya melihat tidak ada ketakutan karena otomatis industri akan menyesuaikan diri memakai bahan baku dan pemrosesan produksi yang lebih hijau demi menembus pasar baru itu,” ujarnya.
Akan tetapi, dukungan regulasi dan peta jalan kebijakan yang jelas dari pemerintah dibutuhkan. Apalagi, pembiayaan untuk dekarbonisasi di Indonesia masih terbatas sehingga membutuhkan akses pendanaan hijau alternatif yang bersahabat dari negara lain.
Ia menilai, dari visi-misi bakal calon presiden dan calon wakil presiden yang sudah beredar, sudah terlihat ada komitmen yang sama menuju ekonomi hijau. Tantangan berikutnya adalah komitmen untuk mengimplementasikannya dengan strategi kebijakan yang tepat.
”Pertama-tama tentu kita bereskan dulu payung hukumnya. Saat ini pembahasan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan saja sudah tiga tahun berproses antara pemerintah dan DPR,” kata Bobby.
Selain akses pendanaan untuk pengembangan ekonomi hijau yang lebih lebar, pemerintahan berikutnya juga diharapkan bisa memberikan subsidi yang terukur bagi industri mengingat masih ada selisih harga yang tinggi dan tidak kompetitif antara penggunaan sumber energi terbarukan dan energi fosil.
”Subsidi bisa diberikan terukur dan bertahap. Misalnya, untuk lima tahun pertama subsidinya sekian. Nanti lima tahun berikutnya subsidi diturunkan, dan setelah 10 tahun, subsidi bisa dihilangkan, tetapi yang penting investasi sudah balik modal, sehingga tidak berat,” katanya.