Ekonomi RI Mulai Lesu, Konsumsi Tumbuh tetapi Rapuh
Konsumsi masyarakat dalam kondisi rapuh. Daya beli melemah di tengah ancaman inflasi dan mandeknya pendapatan.
Beragam produk yang ditawarkan dengan potongan harga menarik minat pengunjung pasar ritel modern di Karang Tengah, Kota Tangerang, Banten, Rabu (26/7/2023). Potongan harga masih menjadi senjata utama pengusaha ritel untuk menarik minat belanja pelanggan.
Kondisi ekonomi dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Sepanjang Juli sampai September 2023, ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,94 persen secara tahunan. Laju konsumsi rumah tangga yang rapuh akibat melemahnya daya beli masyarakat di tengah ancaman inflasi ikut berperan menekan pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen.
Ketika mesin eksternal, seperti kinerja ekspor dan impor, tidak bisa diandalkan akibat ekonomi dunia yang sedang melemah, pertumbuhan ekonomi sudah sepatutnya bertumpu pada roda domestik, terutama pada konsumsi rumah tangga yang berperan paling besar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional.
Baca juga: Perlambatan di Sana-sini, Ekonomi RI Tumbuh di Bawah 5 Persen
Sayangnya, meski masih tumbuh positif, konsumsi masyarakat dalam kondisi rapuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada triwulan III-2023, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,06 persen secara tahunan, melemah dibandingkan dengan triwulan II-2023, yaitu 5,22 persen dan dibandingkan triwulan III-2022 yaitu 5,39 persen.
Pemerintah tak menyangka konsumsi rumah tangga tumbuh serendah itu. Dalam konferensi pers, Senin (6/11/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah awalnya mengira konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi, mengingat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) masih terjaga di zona optimistis (di atas 100) sepanjang triwulan III.
Kondisi terakhir, pada September 2023, IKK berada di level 121,7. Hal itu menandakan konsumen masih optimistis dalam menilai perekonomian dalam negeri meski nilai IKK menurun dibandingkan dengan Agustus 2023 yang sebesar 125,2 dan Juli 2023 sebesar 123,5.
”Padahal, keyakinan konsumen masih tinggi, tetapi ternyata transmisinya ke konsumsi masyarakat tidak setinggi harapan. Ini yang kita selidiki apa penyebabnya, apakah faktor psikologis karena dampak kondisi El Nino dan harga beras naik atau ada faktor lain?” tutur Sri Mulyani.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Selasa (7/11/2023), menilai, konsumsi domestik sebenarnya sudah mengalami tren perlambatan secara persisten, yang bisa dilihat dari beberapa indikator.
Indikasi konsumsi yang melemah juga tampak lewat kinerja impor yang turun semakin tajam,
Pertama, meskipun IKK masih di zona optimistis (di atas 100) sepanjang Juli-September 2023, trennya terus menurun. IKK yang hanya merekam persepsi psikologis atau optimisme konsumen pun dinilai kurang efektif mengukur laju konsumsi rumah tangga.
Sebaliknya, Indeks Penjualan Riil (IPR) yang menggambarkan realisasi penjualan barang di tingkat pedagang ritel atau eceran menunjukkan pelemahan. Pada September 2023, IPR turun dari level 204,07 pada Agustus 2023 menjadi 200,2, mencatat level terendah tahun ini. IPR terkontraksi 1,9 persen secara bulanan dan hanya mampu tumbuh 1 persen secara tahunan.
Sebagai gambaran, angka IPR yang turun menunjukkan penjualan riil pedagang ritel berkurang. Artinya, tingkat konsumsi masyarakat juga berkurang. ”IKK boleh saja masih optimistis, tetapi nyatanya pertumbuhan penjualan riil semakin rendah. Memang tidak sampai terkontraksi seperti waktu pandemi, tetapi pertumbuhannya tipis sekali,” kata Faisal.
Turun lebih tajam
Indikasi konsumsi yang melemah juga tampak lewat kinerja impor yang turun kian tajam. BPS mencatat, pada triwulan III-2023, impor tumbuh minus 6,18 persen. Kondisi itu anjlok semakin dalam dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu minus 3,06 persen, dan terjun bebas dari periode yang sama tahun lalu, yakni 25,37 persen.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh di Bawah Ekspektasi, Pemerintah Andalkan Stimulus Fiskal
Penurunan impor terbesar terjadi pada kelompok barang produktif, seperti bahan baku dan penolong, yang menggambarkan pelemahan produksi di sektor manufaktur akibat minimnya permintaan.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai, turunnya konsumsi rumah tangga disebabkan oleh faktor musiman hari raya Lebaran dan libur sekolah yang tidak lagi terulang di triwulan III. ”Ini pola tahunan yang biasanya terjadi. Pertumbuhan konsumsi dan ekonomi di triwulan III memang biasanya akan melambat dibandingkan triwulan II,” katanya.
Meski polanya demikian, pelemahan ekonomi tahun ini lebih tajam daripada biasanya. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi turun hingga 58,5 persen secara triwulanan pada triwulan III-2023. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2022 hanya turun 50,9 persen secara triwulanan.
Demikian juga konsumsi rumah tangga turun 3,06 persen secara triwulanan pada triwulan III-2023, lebih tajam daripada penurunan konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2022, yaitu 2,17 persen.
Masyarakat bukan sedang menabung dan menahan belanja, tetapi daya belinya menurun.
Akibat daya beli
Andry menduga, penurunan lebih tajam itu disebabkan oleh bayang-bayang tingkat inflasi yang semakin tinggi. Pada triwulan III-2023, inflasi sepanjang tahun berjalan (year to date) adalah 1,63 persen, naik dibandingkan dengan inflasi year to date pada triwulan II-2023 sebesar 1,24 persen.
”Inflasi yang lebih tinggi ini ikut mengekang daya beli masyarakat, khususnya dari kelompok berpendapatan rendah. Ini terlihat juga dari melambatnya penjualan ritel untuk barang kebutuhan pokok,” katanya.
Senada, Faisal menilai, daya beli masyarakat memang belum pulih sepenuhnya akibat efek kumulatif inflasi yang tinggi sejak 2022. Ditambah, pendapatan masyarakat tidak meningkat signifikan sehingga sulit mengejar kenaikan biaya hidup akibat inflasi.
Pendapatan yang berkurang itu terlihat dari data pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang belakangan menurun, khususnya kelompok masyarakat dengan tabungan di bawah Rp 100 juta, yang merupakan mayoritas nasabah di perbankan.
Baca juga: Pelemahan Konsumsi dan Kenaikan Suku Bunga Hambat Ekonomi
Saat konsumsi rumah tangga melambat, ada dua kemungkinan yang terjadi. Antara masyarakat memilih menabung dan menahan belanja atau daya belinya turun. Turunnya pertumbuhan DPK mengindikasikan masyarakat bukan sedang menabung dan menahan belanja, melainkan daya belinya menurun.
”Penurunan pendapatan ini akhirnya tertransmisi dalam bentuk konsumsi masyarakat yang lebih selektif karena daya beli mereka semakin terbatas,” katanya.
Menurut dia, risiko kenaikan inflasi akibat pelemahan ekonomi dunia dan fenomena El Nino bisa mengancam daya beli masyarakat dan melemahkan konsumsi rumah tangga di sisa tahun ini. Tensi geopolitik juga bisa menambah ketidakpastian pada pergerakan harga minyak mentah dunia, semakin menambah risiko inflasi.
Peran konsumsi pemerintah perlu dioptimalkan guna menjaga daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. ”Bantuan secara langsung dalam bentuk subsidi dan bansos bisa menopang konsumsi masyarakat menengah-bawah. Belanja negara lainnya juga perlu dikerahkan lebih cepat untuk menopang pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, untuk menjaga kinerja pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah melakukan intervensi berupa paket kebijakan di pengujung tahun. Kebijakan itu mencakup penebalan bansos untuk mitigasi dampak El Nino dan inflasi, percepatan penyaluran program kredit usaha rakyat (KUR) di tengah peningkatan suku bunga, serta kebijakan penguatan sektor perumahan.