Perlambatan di Sana-sini, Ekonomi RI Tumbuh di Bawah 5 Persen
Pertumbuhan ekonomi secara tahunan tidak lagi berada di atas 5 persen, sebagaimana tren yang sebelumnya terjadi selama tujuh triwulan berturut-turut.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi Indonesia pada triwulan III-2023 hanya mampu tumbuh 4,94 persen secara tahunan akibat berbagai faktor perlambatan, dari minusnya ekspor-impor dan konsumsi pemerintah sampai fenomena El Nino. Kondisi terbaru ini mengakhiri tren pertumbuhan di atas 5 persen yang sebelumnya dicapai selama tujuh triwulan berturut-turut.
Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang triwulan III tahun 2023 (Juli-September 2023), nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku adalah Rp 5.296 triliun, sementara PDB atas dasar harga konstan sebesar Rp 3.124,9 triliun.
Dengan capaian itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,94 persen secara tahunan dan 1,60 persen secara triwulanan. Pertumbuhan itu meleset dari konsensus pasar yang awalnya memperkirakan ekonomi triwulan III-2023 bisa tumbuh 5 persen serta di bawah prediksi pemerintah yang mematok ekonomi tumbuh di atas 5 persen.
Dibandingkan dengan capaian pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2023 sebesar 5,04 persen dan triwulan II-2023 sebesar 5,17 persen, perekonomian Indonesia tumbuh melemah sepanjang triwulan III-2023. Pertumbuhan ekonomi secara tahunan tidak lagi berada di atas 5 persen, sebagaimana tren yang sebelumnya terjadi selama tujuh triwulan berturut-turut.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, ada beberapa penyebab yang membuat ekonomi tak mampu tumbuh di level 5 persen, antara lain kinerja ekspor dan impor yang masing-masing terkontraksi semakin dalam, yakni -4,26 persen dan -6,18 persen. Selain itu, konsumsi pemerintah juga tumbuh minus 3,76 persen.
Dari sisi lapangan usaha, perlambatan juga terjadi di sektor pertanian akibat dampak dari fenomena El Nino dan musim kemarau panjang yang menekan produksi pertanian jenis tanaman pangan dan perkebunan.
”Perlambatan ini memang sejalan juga dengan pola yang biasa terjadi di tahun-tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan ekonomi pada triwulan III selalu lebih rendah daripada triwulan II, kecuali pada tahun 2020 ketika terjadi pandemi Covid-19,” kata Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/11/2023).
Secara rinci, minusnya konsumsi pemerintah disebabkan oleh penurunan belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bantuan sosial. Faktor utamanya adalah pergeseran pembayaran gaji ke-13 aparatur sipil negara (ASN) yang pada 2022 dibayarkan pada triwulan III, tetapi pada 2023 sudah dibayarkan pada triwulan II lalu.
Sementara itu, kontraksi kinerja ekspor disebabkan oleh pelemahan ekonomi global yang menyebabkan ekspor barang nonmigas menurun, seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, serta mesin/peralatan listrik. Kinerja ekspor migas juga menurun, seperti ekspor gas alam, hasil minyak, dan minyak mentah.
Penopang utama
Secara umum, konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama PDB dari sisi komponen pengeluaran. Pada triwulan III-2023, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,06 persen meski sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh kuat 5,23 persen. Kontribusinya terhadap PDB adalah 2,63 persen atau menjadi sumber pertumbuhan tertinggi.
Amalia mengatakan, konsumsi rumah tangga terus tumbuh seiring dengan terkendalinya inflasi dan meningkatnya mobilitas masyarakat. Pertumbuhan konsumsi masyarakat yang tertinggi itu terjadi pada sektor transportasi, komunikasi, serta restoran dan hotel. Sepanjang triwulan III, penjualan sepeda motor, penumpang angkutan umum, dan tingkat penghunian kamar hotel meningkat.
”Kontribusi konsumsi rumah tangga ini sebenarnya relatif kecil dibandingkan dengan triwulan lalu karena konsumsi rumah tangga telah mencapai puncaknya pada triwulan II,” kata Amalia.
Selain konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2023 juga ditopang oleh komponen PMTB (pembentukan modal tetap bruto) sebagai indikator pertumbuhan investasi. PMTB tumbuh kuat 5,77 persen yang didorong oleh pertumbuhan barang modal jenis bangunan, kendaraan, serta produk kekayaan intelektual. Kontribusinya terhadap PDB adalah 1,81 persen.
Penyumbang terbesar ketiga adalah konsumsi LNPRT (lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga), yang tumbuh 6,21 persen. ”Ini khususnya didorong oleh peningkatan aktivitas menjelang pemilu, seperti rapat kerja nasional di pusat dan daerah, rapat pimpinan nasional, serta konsolidasi nasional,” kata Amalia.
Kembali meningkat
Secara terpisah, Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menilai, meski pertumbuhan ekonomi melambat, kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih terjaga baik. Lepas dari ekspor-impor yang melemah karena pelemahan ekonomi dunia, konsumsi rumah tangga tetap tumbuh positif. Laju investasi bahkan tumbuh menguat dibandingkan dengan tahun lalu.
”Kedua komponen itu masih bisa terjaga pertumbuhannya di atas 5 persen, bahkan meski momentum musim libur hari raya sudah berakhir,” katanya.
Ke depan, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali naik ke level 5 persen pada triwulan IV-2023. Selain momentum libur akhir tahun yang akan menguatkan konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah juga akan menukik sesuai pola tahunan untuk menyerap realisasi anggaran sesuai target APBN serta memenuhi kebutuhan belanja tambahan yang mendesak.
”Secara umum, kami melihat pertumbuhan ekonomi secara tahunan untuk keseluruhan tahun 2023 tetap bisa menyentuh 5,2 persen dan untuk tahun 2024 sebesar 4,9 persen,” kata Irman.