Ekspor Tumbuh Minus, Pemerintah Pacu Konsumsi Domestik
Ekspor tak lagi jadi andalan, pemerintah akan fokus menguatkan belanja negara dan konsumsi masyarakat untuk menopang ekonomi di sepanjang sisa tahun ini. Defisit fiskal masih mungkin diperlebar melewati target.
Oleh
AGNES THEDOORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati masih mencatat pertumbuhan di atas 5 persen sampai triwulan II tahun 2023, potensi perlambatan ekonomi di sepanjang sisa tahun ini mulai diwaspadai. Berkaca dari ekspor yang mulai terkontraksi, pemerintah akan beralih mengandalkan konsumsi domestik. Defisit fiskal pun berpotensi diperlebar di atas target untuk mengungkit daya beli dan menggerakkan ekonomi.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Indonesia pada triwulan II tahun 2023 masih tumbuh 5,17 persen secara tahunan, lebih tinggi dari pertumbuhan pada triwulan I-2023 sebesar 5,04 persen. Capaian itu melanjutkan tren pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen selama tujuh triwulan berturut-turut.
Di tengah berlanjutnya tren perlambatan ekonomi global, ekonomi Indonesia tetap mampu tumbuh tinggi hingga pertengahan tahun karena ditopang konsumsi rumah tangga. Belanja masyarakat menguat akibat faktor momentum ”musiman” seperti Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, serta momentum libur sekolah.
Sepanjang triwulan II-2023, konsumsi masyarakat tumbuh 5,23 persen secara tahunan, lebih tinggi dari triwulan I-2023 sebesar 4,54 persen. Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga pun menjadi komponen penyumbang pertumbuhan ekonomi yang terbesar hingga 53,57 persen.
Meski masih tumbuh di kisaran 5 persen, tanda-tanda pelemahan ekonomi Indonesia mulai tampak lewat ekspor yang semakin melambat. BPS mencatat, ekspor mulai terkontraksi atau tumbuh minus 2,75 persen secara tahunan pada triwulan II-2023. Ini pertama kalinya ekspor tumbuh negatif setelah tumbuh melejit sepanjang 2021-2022 seiring momentum lonjakan harga komoditas global (commodity windfall).
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud, Senin (7/8/2023), mengatakan, pelemahan ekspor terjadi di tengah tren normalisasi harga komoditas dunia. Sektor yang paling banyak memengaruhi penurunan adalah ekspor produk pertambangan yang tumbuh minus 0,17 persen dan berkontribusi hingga 76,58 persen terhadap kontraksi pertumbuhan ekspor.
”Setelah tumbuh cukup tinggi tahun lalu dan awal tahun, perdagangan luar negeri kita mulai terkontraksi, ekspor maupun impor. Ini terjadi pada ekspor barang, sementara ekspor jasa kita masih tumbuh positif karena peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan devisa yang masuk dari luar negeri,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta.
Tanda-tanda pelemahan ekonomi Indonesia mulai tampak lewat ekspor yang semakin melambat.
Di sisi lain, momentum laju konsumsi rumah tangga yang tinggi diperkirakan tidak akan bertahan lama hingga akhir tahun. Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, konsumsi rumah tangga masih tumbuh tinggi pada triwulan II-2023 karena faktor hari raya dan libur sekolah yang mengungkit daya beli dan mobilitas masyarakat. Namun, faktor musiman itu tidak akan terulang lagi di sisa tahun ini.
Ia juga menyoroti konsumsi rumah tangga yang lebih banyak ditopang oleh belanja masyarakat menengah-atas, sementara konsumsi kelas menengah-bawah trennya menurun. Hal itu juga tampak dari data ketimpangan atau rasio gini Maret 2023 yang semakin tajam antara masyarakat kelas atas dan bawah.
”Pelemahan itu kemungkinan akan mulai terlihat nanti di triwulan III. Selain karena momentum musiman untuk mengungkit konsumsi sudah hilang, spending masyarakat menengah-bawah juga melemah. Ini perlu kita cermati karena pada satu titik nanti akan mulai terlihat dampaknya,” katanya.
Belanja domestik
Pemerintah pun mulai mewaspadai potensi perlambatan ekonomi di sepanjang sisa tahun ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi di triwulan III dan IV tahun, pemerintah akan menggenjot konsumsi domestik.
Salah satunya melalui memacu belanja pemerintah di sejumlah kementerian/lembaga, khususnya untuk mendorong program padat karya yang bisa mengungkit daya beli masyarakat seperti infrastruktur dan pertanian.
Pada triwulan II-2023, konsumsi pemerintah tercatat 10,62 persen dan berkontribusi 14,1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. ”Kita berharap, seperti tahun-tahun sebelumnya, belanja pemerintah di triwulan III bisa digenjot lebih tinggi supaya efek multiplier-nya jelas,” katanya.
Terkait ekspor yang melemah, Airlangga mengakui, ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah. Oleh karena itu, penurunan ekspor produk pertambangan yang hanya 0,17 persen bisa berdampak sangat besar pada kontraksi pertumbuhan ekspor secara umum.
”Memang sektor pertambangan, sumber daya alam, itu masih jadi andalan kita, dan itu semua tergantung pergerakan harga komoditas dunia. Karena harga-harga sekarang mulai mendekati normal, kita perlu menggenjot volume ekspor lebih lanjut sambil mendorong produk manufaktur andalan,” ujar Airlangga.
Defisit diperlebar
Raden Pardede, Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan, pemerintah sudah mewaspadai ekspor akan terus melemah hingga tahun depan. Fokus pemerintah pun akan beralih pada penguatan konsumsi domestik untuk menopang ekonomi, lewat menggenjot konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah.
”Ini ibarat sepeda motor karena mesin eksternal kita atau ekspor sudah melemah, sudah tidak bisa kita andalkan lagi, berarti harus mesin dalam negeri yang kita giatkan,” katanya.
Ibarat sepeda motor, karena mesin eksternal kita atau ekspor sudah melemah, berarti harus mesin dalam negeri yang kita giatkan.
Untuk menggerakkan ekonomi, pemerintah pun tidak menutup kemungkinan akan memperlebar defisit fiskal melewati target, selama masih di bawah batas aman. APBN 2023 memasang target defisit fiskal sebesar 2,84 persen dari PDB. Sementara, batas aman defisit sesuai Undang-Undang Keuangan Negara adalah 3 persen dari PDB.
Menurut Raden, pemerintah bisa menggenjot belanja hingga melewati target defisit itu demi menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan ekonomi, salah satunya untuk meningkatkan belanja perlindungan sosial. ”Saat ini APBN kita masih surplus sehingga sebenarnya masih ada ruang sekitar 1 persen lagi dari PDB (untuk memperlebar defisit fiskal),” katanya.