Pegiat Perkoperasian Djabaruddin Djohan Telah Berpulang
Djabaruddin dikenal sebagai sosok senior di dunia perkoperasian yang tak hanya aktif sebagai pengurus, tetapi juga menulis isu perkoperasian selama lebih dari lima dekade.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pegiat dan pengamat senior perkoperasian Djabaruddin Djohan tutup usia pada usia 85 tahun, di Jakarta, Jumat (3/11/2023). Djabaruddin dikenal sebagai sosok senior di dunia perkoperasian. Tak hanya aktif dengan bergelut langsung menjadi pengurus, dia juga sangat produktif menulis isu perkoperasian di media nasional ataupun dalam berbagai buku yang kemudian menjadi panduan pengelolaan koperasi selama lebih dari lima dekade.
Redaktur Majalah PICU (Pusat Informasi Credit Union) Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) Hidayat saat ditemui di rumah duka menjelaskan, tulisan Djabaruddin selama berpuluh-puluh tahun baik dalam bentuk buku maupun artikel di media massa selalu dijadikan panduan perkoperasian di Tanah Air.
”Beliau sangat konsisten hingga akhir hayatnya peduli dan menaruh minat yang tidak pernah surut pada dunia perkoperasian,” ujar Hidayat yang telah bekerja sama menjadi tim penulis bersama almarhum sejak 1996.
Selama hidupnya, lanjut Hidayat, Djabaruddin dikenal menentang adanya politisasi dalam tubuh perkoperasian. Menurut dia, koperasi harus sejalan dengan jati dirinya, yakni mendorong kemandirian dan kesejahteraan anggotanya.
Almarhum juga kerap mengirimkan tulisan pemikirannya ke harian Kompas. Pemikirannya pertama kali terbit di harian Kompas pada 31 Agustus 1998 berjudul ”Tak Ada Jalan Pintas Membentuk Koperasi yang Kuat”. Adapun tulisan terakhirnya di harian Kompas terbit pada 12 Juli 2019 berjudul ”Paradoks Pembangunan Koperasi”.
Hal senada juga dikemukakan pengamat koperasi yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto. Suroto mengenang Djabaruddin sebagai perekam terbaik perjalanan sejarah gerakan koperasi di Indonesia. Salah satu mahakaryanya, menurut Suroto, adalah buku Setengah Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia yang diterbitkan oleh Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) pada 1997. Buku itu menyajikan rekaman seluruh perjalanan gerakan koperasi Indonesia sejak zaman kolonial hingga Orde Baru.
Di tangan Djabaruddin, lanjut Suroto, sejumlah buku penting perkoperasian diterjemahkan. Beberapa di antaranya buku Profesor Sven Ake Book yang merupakan riset penting tentang nilai-nilai koperasi dalam era globalisasi, buku Profesor Peter Davis tentang keunggulan koperasi, dan buku Jati Diri Koperasi karya Profesor Ian Macpherson. Dia juga menulis beberapa kisah sukses koperasi dunia yang dirilis oleh International Cooperative Alliance (ICA).
”Sebagai pembela koperasi sejati, analisis tulisannya selalu didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip koperasi,” ujar Suroto yang juga CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (Inkur Federation).
Perjalanan panjang
Djabaruddin sudah berkiprah di dunia perkoperasian Indonesia sejak 1967. Saat itu, dia ditugaskan di Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) TNI AL untuk mengurus majalah Kopal. Dalam posisinya sebagai wartawan di media itu, dia mendorong komunitas jurnalis membuat majalah PIP (Pusat Informasi Perkoperasian) yang kemudian dipimpinnya selama 15 tahun sejak 1982 hingga 1997.
Selain aktif menulis, Djabaruddin juga berpengalaman menggeluti dunia perkoperasian dengan menduduki jabatan pengurus di Inkopal selama tiga periode, yakni 1979-1992. Pengalaman itu kemudian mengantarkannya menjadi anggota Dewan Pengurus Pusat Dekopin.
Tidak terhitung aktivitasnya di dunia perkoperasian yang telah dijalaninya lebih dari lima dekade. Terakhir, Djabaruddin dikenal sebagai mantan Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I).
Esti Lestaini (53), putri kedua almarhum, mengatakan, ayahandanya meninggal akibat serangan stroke pada Jumat pukul 05.20 di RS Pasar Rebo, Jakarta Timur.
”Sebelumnya Bapak itu sehat. Masih suka menulis. Tapi, sekitar seminggu terakhir agak menurun kesehatannya, lalu dirawat di rumah sakit,” ujar Esti yang ditemui di rumah duka, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, Jumat siang. Esti mengenang ayahnya sebagai seorang yang sangat gemar menulis. Bahkan, hingga di usia senja, dia masih terus menulis.
Almarhum meninggalkan istri bernama Titiek Sunarti Djabaruddin dan tiga anak, yakni Ario Wirawan, Esti Lestarini, dan Elan Satriawan. Djabaruddin meninggalkan sembilan cucu.
Titiek saat ini dikenal sebagai pelukis. Adapun Ario berkiprah di perusahaan swasta, Esti di dunia media, dan Elan sebagai Tenaga Ahli Kementerian Keuangan Bidang Kualitas Belanja dan Penurunan Kemiskinan.