Biaya Tambahan Bikin Pengusaha Enggan Masuk Bursa CPO
Jika biaya itu tidak bisa dihindari, pemerintah perlu memikirkan skema insentif agar mengurangi beban modal pelaku usaha.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha pengolah kelapa sawit menilai Bursa Berjangka Penyelenggara Pasar Fisik Minyak Sawit Mentah atau Bursa CPO yang sudah diresmikan belum menarik. Mereka menantikan insentif dari pemerintah agar makin banyak pengusaha berpartisipasi dalam bursa tersebut.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, salah satu alasan yang membuat pelaku usaha masih enggan masuk ke bursa adalah adanya biaya-biaya tambahan di luar transaksi perdagangan itu sendiri. Sebut saja biaya anggota bursa sekitar Rp 60 juta per tahun. Kemudian, biaya jaminan transaksi senilai Rp 32 juta.
”Sekarang untuk lokal, kan, transaksinya B to B tidak terkena biaya apa pun. Kalau di bursa, kan, ada biaya member dan biaya transaksi. Ini yang perlu dipikirkan bagaimana supaya penjual dan pembeli tertarik masuk bursa,” ucapnya, Jumat (3/11/2023).
Jika biaya itu tidak bisa dihindari, ia meminta agar pemerintah memikirkan skema insentif agar mengurangi beban modal pelaku usaha. Menurut dia, hal itu sudah disampaikan kepda pemerintah, tetapi belum jelas hingga saat ini.
”Memang harus ada daya tarik agar penjual dan pembeli bersedia transaksi di bursa. Informasinya akan diberikan insentif, nah, insentifnya seperti apa belum jelas,” ujar Eddy.
Bursa CPO sudah dibuka dua pekan lalu, tepatnya pada Jumat (20/10/2023). Sejauh ini baru ada 20 pelaku usaha yang bergabung. Padahal, jumlah pabrik kelapa aawit (PKS) lebih dari 1.000 unit, termasuk PKS tanpa kebun.
Informasinya akan diberikan insentif, nah, insentifnya seperti apa belum jelas.
Penyelenggara Bursa CPO, Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX), mencatat, sampai dengan Rabu (1/11/2023), volume transaksi di bursa itu sebesar 250 metrik ton dengan harga Rp 11.100 per kilogram pada sesi penutupan perdagangan.
Yohanes F Silaen, Vice President Bursa CPO, Kamis (2/11/2023), mengatakan, mereka berupaya melakukan beberapa penyesuaian pada tata cara perdagangan untuk menarik pelaku usaha.
Penyesuaian itu, antara lain, ialah memperkecil jumlah minimal pembelian dari sebelumnya 1 lot yang setara 25 metrik ton minyak sawit menjadi hanya 5 metrik ton. Sesi perdagangan juga dikurangi menjadi hanya dua sesi, yakni antara pukul 09.30-17.00 dan 20.00-22.00. Di awal, sesi perdagangan dibuka tiga sesi, dengan masing-masing sesi satu jam di pagi, siang, dan malam hari.
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Senjaya menambahkan secara terpisah, mereka juga membuka perdagangan kontrak berjangka CPO berdenominasi rupiah (CPOTR).
Hal ini tidak hanya untuk meningkatkan jumlah peserta bursa sehingga mempercepat terciptanya referensi harga CPO yang ditargetkan tercipta pada triwulan pertama 2024 mendatang. ”Tujuan dari penyesuaian-penyesuaian ini adalah untuk mengakomodir supaya makin banyak transaksi, tidak hanya spot, tapi juga di derivatif. Semakin banyak datanya, semakin cepat,” katanya.
Harga acuan itu disebut akan terbentuk jika jumlah transaksi di Bursa CPO mencapai sebesar 10-20 persen dari total perdagangan dalam negeri. Mengacu pada produksi CPO Indonesia, jumlah yang diperdagangkan di dalam negeri sebesar 24 juta ton dari total 48 juta ton pada 2022. Artinya, volume transaksi harus mencapai 2,4 juta ton CPO.