Untuk menuju Indonesia emas, selain pengembangan infrastruktur dan SDM, dunia usaha juga perlu kepastian hukum demi pertumbuhan industri tidak terhambat berbagai risiko yang mengintai.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, AGNES THEODORA
·4 menit baca
NUSANTARA, KOMPAS — Kepastian hukum masih menjadi momok bagi dunia usaha dalam melakukan ekspansi dan menggenjot investasi. Padahal, stabilitas dunia usaha di dalam negeri merupakan ”suplemen” untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional dari tren pelemahan ekonomi global.
Vice CEO PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto mengungkapkan, pada dasarnya pengusaha bersemangat mengembangkan usaha di Indonesia. Namun, masih ada kendala, terutama di sisi kepastian hukum yang harus terus dibenahi untuk mendorong investasi.
”Untuk menuju Indonesia emas, selain pengembangan infrastruktur dan sumber daya manusia, dunia usaha juga perlu kepastian hukum,” ujar Anne dalam dialog bersama Presiden yang menjadi acara puncak Kompas100 CEO Forum Powered by PLN di kawasan glamping Ibu Kota Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (2/11/2023).
”Karena semua yang dunia usaha bangun butuh kepastian hukum. Jangan sampai pengusaha yang niatnya berusaha terseret masalah hukum,” katanya.
Usai berdialog dengan Presiden, Anne menyampaikan kepada Kompas bahwa industri manufaktur, khususnya tekstil dan produk tekstil (TPT), masih akan tumbuh positif tahun depan. Menurut dia, industri sudah cukup tahan banting dengan berbagai dinamika ketidakpastian global.
Namun, untuk mempertahankan hal tersebut, pengusaha butuh ekosistem berusaha kondusif. Salah satunya, menurut Anne, adalah membenahi persoalan struktural dalam negeri, seperti pengembangan kualitas sumber daya manusia, kepastian hukum, dan birokrasi yang tidak tumpang tindih.
Kita juga butuh SDM emas. (Anne Patricia Sutanto)
”Semua yang kita bangun ini butuh kepastian hukum sehingga perlu ada reformasi hukum. Kita juga butuh SDM emas. Pembangunan harus alon-alon asal kelakon mengingat edukasi dan penegakan hukum ini sama pentingnya,” ujarnya.
Jika tidak dibenahi, semua faktor itu akan menjadi risiko yang menghambat pertumbuhan industri. Menurut Anne, pengusaha perlu terus memberi masukan kepada pemerintah agar regulasi di dalam negeri bisa lebih dinamis dalam menyikapi situasi global.
”Saya optimistis ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh tinggi. Namun, hal-hal tadi itu harus dibenahi dulu. Kita harus pastikan kebijakan ekonomi kita bisa terus bertransformasi dari waktu ke waktu,” kata Anne.
Tumpang tindih birokrasi yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi itu juga disoroti oleh Direktur PT Triputra Agro Persada Budiarto Abadi. Ia menyoroti fakta masih kerap ditemukannya proses perizinan usaha yang bertabrakan di lapangan. Padahal, secara hukum, Undang-Undang Cipta Kerja sudah diterapkan.
”Bagi kami di sektor perkebunan, ini jadi isu penting. Masalah seperti ini, kan, pastinya dari pemberi izin. Terkadang kita sudah mengantongi izin usaha, tetapi ternyata tumpang tindih. Hal-hal ini cukup mengganggu dunia usaha,” katanya.
Di sisi lain, Presiden Direktur PT Summarecon Agung Tbk Adrianto P Adhi mengatakan, sektor properti tahun depan akan lebih baik dari tahun lalu. Selain pemerintah yang baru-baru ini memberikan insentif fiskal berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang 100 persen ditanggung untuk pembelian rumah di bawah Rp 2 miliar, minat beli masyarakat juga masih terjaga.
Namun, pengusaha masih mengkhawatirkan kendala berupa nilai tukar rupiah yang meninggi serta aliran modal asing yang berbondong-bondong keluar. ”Semoga dengan kenaikan ini tidak berpengaruh kepada bunga KPR (kredit pemilikan rumah). Kalau bunga KPR naik, daya beli turun. Namun, saya yakin bank tidak serta-merta akan menaikkan bunganya,” kata Adrianto.
Senior Executive President Office Sinarmas Group Sanny Iskandar menyampaikan, berdasarkan hasil 1.500 kuesioner yang disebarkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada pelaku usaha, ditemukan bahwa mayoritas permasalahan yang dihadapi dunia usaha adalah kepastian hukum. Adapun masalah kedua terbanyak yang dihadapi pengusaha menyangkut ketidaksinkronan peraturan antar-kementerian atau lembaga.
Contohnya adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang mewajibkan pemerintah menyediakan sarana dan prasarana untuk keperluan industri, di antaranya suplai air baku dan distribusi listrik. Namun, di sisi lain, terdapat UU yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang membatasi pasokan air baku untuk industri manufaktur.
”Jadi, banyak hal teknis di lapangan yang tidak sinkron dan harmonis. Ini belum lagi bicara antara pemerintah pusat dan daerah. Kenyataan ini yang membuat pelaku usaha, khususnya sektor riil, sering mengalami hambatan,” kata Sanny.
Sanny, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Apindo, menambahkan, kepastian hukum akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan diri dunia usaha dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi. Stabilitas dunia usaha di dalam negeri tentunya akan menjadi bantalan yang kuat untuk menjaga kinerja ekonomi nasional dari himpitan ketidakpastian global.
Banyak hal teknis di lapangan yang tidak sinkron dan harmonis. (Sanny Iskandar)
Dalam laporan terbarunya, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh stabil di angka 5 persen pada 2023 dan 2024. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas perkiraan IMF untuk pertumbuhan ekonomi global yang berada di angka 3 persen pada 2023 dan 2,9 persen pada 2024.
IMF menilai pertumbuhan ekonomi RI didasarkan pada kebijakan pemerintah yang mempertahankan kebijakan fiskal yang netral, disertai dengan kebijakan pajak dan reformasi administrasi yang moderat, realisasi belanja negara, dan peningkatan belanja modal secara bertahap dalam jangka menengah.