Depresiasi Rupiah Gerus Kapasitas Penyaluran Kredit Perbankan
Nilai tukar rupiah masih melemah akibat dollar AS yang terus menguat. Hal ini berisiko bagi penyaluran kredit perbankan.
JAKARTA, KOMPAS - Depresiasi rupiah menekan industri perbankan karena berpotensi menggerus kemampuan penyaluran kredit dan meningkatkan risiko kredit. Penguatan dollar AS akan terus terjadi seiring dengan semakin meningkatnya ketidakpastian global.
Mengacu pada data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah terpantau sedikit menguat. Pada penutupan pasar, Selasa (24/10/2023), nilai tukar rupiah berada di level Rp 15.869 per dollar AS. Ini menguat 0,46 persen dibandingkan pada penutupan hari sebelumnya, yakni Rp 15.943 per dollar AS.
Secara kalender berjalan, rupiah sempat menyentuh level terkuatnya di level Rp 14.632 per dollar AS pada 4 Mei 2023. Sementara itu, nilai tukar rupiah paling lemah pada 23 Oktober. Saat itu nilainya Rp 15.943 per dollar AS atau terdepresiasi 2,2 persen dibandingkan dengan penutupan pada 2022.
Baca juga: Depresiasi Rupiah Mulai Senggol Manufaktur
Presiden Direktur Bank CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah berdampak terhadap jumlah penyaluran kredit (exposure) perbankan dalam bentuk dollar AS. Hal ini karena adanya selisih akibat depresiasi nilai tukar rupiah.
”Bagi perbankan, secara rasional, exposure dalam dollar AS akan otomatis naik dalam ekuivalen rupiah sehingga akan juga menaikkan ATMR (aset tertimbang menurut risiko). Namun, tentu saja tergantung dari porsi exposure tersebut,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (24/10).
ATMR merupakan jumlah aset bank dengan pertimbangan risiko, seperti kredit, pasar, dan operasional. Kenaikan ATMR tersebut, salah satunya, akan menurunkan rasio kecukupan modal ( capital adequacy ratio/CAR) yang berarti kemampuan penyaluran kredit bank menjadi terbatas.
Sebagai ilustrasi, pada akhir tahun, bank A menyalurkan kredit dalam bentuk valuta asing (valas) senilai Rp 1 miliar atau setara 64.135 dollar AS berdasarkan kurs akhir 2022. Depresiasi rupiah yang sejauh ini mencapai titik tertingginya di level Rp 15.943 per dollar AS mengakibatkan jumlah kredit yang disalurkan bank A meningkat menjadi Rp 1,02 miliar.
Di sisi lain, depresiasi rupiah meningkatkan risiko debitur yang menerima pinjaman dalam bentuk valas. Nasabah yang menerima kredit dalam valas mengeluarkan rupiah lebih besar untuk membayar tagihannya dalam bentuk dollar AS.
”Bank harus melakukan asesmen terhadap klien (debitur) dengan exposure kredit dalam bentuk dollar AS untuk memastikan pinjaman dapat tetap lancar, terutama bagi importir. Saat ini, exposure dollar AS di CIMB Niaga relatif kecil. Namun, dampaknya juga terasa pada pertumbuhan pinjaman, terutama korporasi,” tuturnya.
Bank harus melakukan asesmen terhadap klien (debitur) dengan exposure kredit dalam bentuk dollar AS untuk memastikan pinjaman dapat tetap lancar, terutama bagi importir.
Secara terpisah, Corporate Secretary PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN Ramon Armando mengatakan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS diproyeksikan akan terus berada dalam tekanan sampai dengan akhir Oktober 2023. Meski demikian, kondisi itu tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja BTN.
”Tentu hal ini akan berdampak pada industri perbankan, terutama bank dengan exposure terhadap valas yang cukup tinggi. Namun, hal tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap kinerja BTN karena exposure mata uang asing dalam bentuk DPK (dana pihak ketiga) masih relatif rendah, hanya berkisar 2 persen dari total portofolio DPK,” katanya.
Sebagai bentuk mitigasi risiko, BTN melakukan stress test secara rutin guna mengetahui ketahanan internal, baik dari sisi solvabilitas maupun likuiditas dengan turut memperhatikan faktor pelemahan rupiah. Hasilnya, kondisi BTN masih kuat dalam menghadapi pelemahan rupiah yang terjadi beberapa waktu terakhir.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan, rupiah cenderung menguat salah satunya karena intervensi pasar dari Bank Indonesia. Selain itu, melemahnya indeks dollar AS (DXY) turut memberikan sentimen positif terhadap rupiah. Pelemahan ini disebabkan oleh turunnya imbal hasil dari obligasi pemerintah AS (US Treasury/UST) tenor 10 tahun menjadi di bawah 5 persen sejak Senin sore.
”Fenomena saat ini lebih cocok dikatakan sebagai fenomena dollar AS yang menguat karena hampir semua mata uang global melemah. Kinerja rupiah secara kalender berjalan bisa dibilang masih cukup baik,” katanya.
Hingga 18 Oktober 2022, sejumlah mata uang seperti yen (Jepang), dollar (Australia), dan euro terdepresiasi. Masing-masing terdepresiasi 12,44 persen, 6,61 persen dan 1,40 persen secara kalender berjalan.
Fenomena saat ini lebih cocok dikatakan sebagai fenomena dollar AS yang menguat karena hampir semua mata uang global melemah.
Dalam periode yang sama, mata uang kawasan, seperti ringgit (Malaysia), baht (Thailand), dan peso (Filipina), masing-masing terdepresiasi 7,23 persen, 4,64 persen dan 1,73 persen. Adapun rupiah terdepresiasi sebesar 1,03 persen.
Beberapa faktor yang mendorong dollar AS menguat, antara lain meningkatnya risiko suku bunga tinggi dalam jangka waktu lama. Kondisi ini disebabkan oleh tingkat resiliensi ekonomi AS yang ditunjukkan dengan ketatnya pasar tenaga kerja dan eskalasi konflik Israel-Hamas yang mengakibatkan harga minyak dunia terkerek, sehingga inflasi akan cenderung tetap tinggi dan sulit menurun.
Di tengah fiskal AS yang ekspansif, meningkatnya ketegangan geopolitik tersebut mendorong dukungan militer AS sehingga mengakibatkan penawaran UST melimpah (ample). Hal ini mengakibatkan arus modal asing dari negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia, keluar (outflows) dan beralih ke dollar AS.
"Menguatnya dollar AS dan risiko higher for longer akan mendorong Bank Indonesia menaikkan lagi suku bunga acuannya. Artinya, cost of fund (biaya dana) perbankan bisa naik juga. Kondisi ekonomi global yang cenderung slowdown juga akan menahan pendapatan dari sisi kredit," tutur Josua.
Lebih lanjut, ketidakpastian global dan pilihan investor untuk tidak mengambil risiko turut mendorong aliran modal masuk ke negara dengan tingkat risiko yang rendah serta suku bunga yang kompetitif. Akibatnya, DPK valas di Indonesia semakin tergerus dan mendorong kenaikan loan to deposit ratio (LDR) atau pengetatan likuiditas sehingga dapat memicu berlanjutnya kenaikan cost of fund.
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur BI pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), suku bunga Deposit Facility, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 basis poin (bps). Dengan demikian, masing-masing menjadi 6 persen, 5,25 persen, serta 6,75 persen. Hal ini dilakukan sebagai langkah pencegahan dan antisipasi ke depan untuk memitigasi dampak inflasi barang impor.
Baca juga: Merespons Ketidakpastian Global, BI Naikkan Suku Bunga Acuan
Menurut Josua, keputusan BI untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan, melalui bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan intervensi pasar keuangan, sudah cukup tepat. Namun, kebijakan itu membutuhkan waktu agar dapat berjalan secara efektif.
Di sisi lain, stabilisasi nilai rupiah turut membutuhkan peran pemerintah. Dalam hal ini, depresiasi rupiah dapat dioptimalkan dengan menggenjot ekspor komoditas dan sektor pariwisata.
"Percepatan hilirisasi, pencarian produk dan pasar ekspor potensial baru, serta pemanfaatan kerja sama perdagangan internasional secara efektif perlu sekali. Perbaikan perizinan, regulasi, dan iklim investasi di dalam negeri juga harus dipercepat guna menarik foreign direct investment di tengah naiknya aksi wait and see akibat tahun politik," lanjut Josua.