Rupiah Melemah, Pemerintah Siapkan Paket Kebijakan
Menghadapi perekonomian global yang penuh ketidakpastian dan melemahkan rupiah, paket-paket kebijakan disiapkan. Kebijakan fiskal dan moneter juga disinkronkan.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menghadapi dinamika perekonomian global yang sangat dinamis dan melemahkan rupiah, pemerintah menjanjikan akan menyiapkan paket-paket kebijakan. Kebijakan fiskal dan moneter juga akan diselaraskan.
Presiden Joko Widodo memanggil Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Senin (23/10/2023) sore. Hadir dalam pertemuan yang dimulai pukul 16.00 WIB sampai 17.30 WIB itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa.
Seusai pertemuan, Sri Mulyani menjelaskan baru saja menghadiri pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia dan menteri keuangan serta gubernur bank sentral G20 di Marakesh, Maroko. Situasi perekonomian global terkini, menurut Sri Mulyani, sangat dinamis ditandai dengan pergerakan dollar AS yang makin menguat, kenaikan suku bunga yang sangat tinggi di Amerika Serikat, Eropa, serta pelemahan dari ekonomi Republik Rakyat China.
Situasi ini harus diantisipasi pada bulan depan dan tahun mendatang. Untuk itu, koordinasi antara kebijakan fiskal di bawah Kementerian Keuangan melalui APBN dan kebijakan moneter di bawah Gubernur Bank Indonesia akan terus disinkronkan. Dengan demikian, harapannya stabilitas ekonomi terjaga dengan pertumbuhan ekonomi tetap pada kisaran 5 persen.
”Fiskal dan moneter akan terus berkoordinasi secara sinkron harmonis, tentu kita harus saling melakukan penyesuaian. Kita menggunakan dari mulai instrumen di market maupun dari sisi komunikasi kebijakan yang akan terus kita lakukan bersama antara BI dan Kemenkeu. Ini nanti akan masih di-followup,” tutur Sri Mulyani.
Di sektor keuangan, stabilitas dari sektor keuangan, perbankan, ataupun pasar modal, dan juga lembaga keuangan bukan bank akan dipantau. Hal ini, menurut Sri Mulyani, termasuk pergerakan aliran modal (capital flow) yang masuk (in)baik di surat berharga maupun di saham dan juga keluar (out) kalau sedang mengalami penarikan modal (capital), terutama merespons kebijakan di AS.
KSSK juga akan berkumpul kembali pada akhir bulan Oktober 2023 ini untuk mengevaluasi dan memastikan sektor keuangan baik.
Sri Mulyani menambahkan, untuk merespons kondisi sektor riil agar tetap terjaga, inflasi, nilai tukar, ataupun stabilitas sistem keuangan semua terjaga, akan dilakukan berbagai langkah mengamankan. ”Ada adjustment pasti, namun itu adalah untuk terus menjaga stabilitias dan pertumbuhan ekonomi tetap bisa berjalan secara sustainable,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi berbagai dinamika ini, termasuk menjaga sektor riil dan menjaga daya beli masyarakat, berbagai langkah paket kebijakan disiapkan. Instrumennya juga masih akan disiapkan.
Terkait instrumen dan kebijakan macam apa yang akan digunakan, Sri Mulyani mengelak menjawab. ”Kita selama ini masih sangat baik, jadi kita akan terus menyinkronkan instrumen kita di lapangan maupun komunikasi dan arah kebijakan kita bersama,” ujarnya.
Adapun terkait melemahnya nilai rupiah sampai hampir menembus Rp 16.000 per dollar AS, Sri Mulyani menyebut ini akibat inflasi tinggi di Amerika Serikat ditambah kondisi ekonomi yang masih cukup kuat. ”Mereka memberikan sinyal atau dibaca oleh market bahwa higher for longer akan terjadi dan ini yang menyebabkan banyak terjadinya capital flowing back ke AS, menyebabkan dollarindex menguat di 106, Pak Gubernur (BI) mengatakan sebelumnya di 93. Berarti dollar AS menguat secara global. Kita akan terus menyinkronkan kebijakan moneter dan fiskal agar dalam situasi di mana pemacunya adalah negara seperti AS, dampaknya bisa kita mitigasi dan kita minimalkan baik terhadap nilai tukar, inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas sistem keuangan. Itu akan terus kita lakukan secara insentif,” tuturnya.
Imbas melemahnya rupiah pada asumsi makro ataupun kemungkinan subsidi energi membengkak, Sri Mulyani mengatakan semua akan terus dipantau. Ke depan, akan dilihat seperti apa penyesuaian pada APBN.
Sebelum ini, pada 19 Oktober, Bank Indonesia menaikkan tingkat suku bunga acuan 25 poin menjadi 6 persen. BI juga menaikkan suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility sebesar 25 basis poin sehingga masing-masing menjadi 5,25 persen dan 6,75 persen.
Ini, menurut Perry, dalam keterangan pers saat itu, dilakukan untuk mengantisipasi situasi perekonomian global yang sangat dinamis dan penuh ketidakpastian.