Sektor manufaktur yang masih membutuhkan impor sejumlah bahan baku mulai mengalami kenaikan biaya produksi dan logistik.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengakibatkan sejumlah sektor industri manufaktur, seperti industri makanan-minuman serta industri tekstil dan produksi tekstil dalam negeri, terdampak. Pelemahan kurs juga berpotensi memangkas daya beli dan permintaan masyarakat.
Nilai tukar rupiah saat ini tengah melemah atau terdepresiasi akibat ketidakpastian pasar keuangan global. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Selasa (17/10/2023) malam, kurs rupiah berada di level Rp 15.718 atau melemah 1,49 persen dibandingkan dengan akhir September 2023. Secara kalender berjalan, nilai tukar rupiah juga tercatat melemah 0,80 persen dibandingkan akhir Desember 2022.
Sebagian besar kebutuhan produksi industri makanan-minuman, seperti bahan baku dan barang modal, masih impor.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman di Jakarta, Selasa (17/10), mengatakan, dampak depresiasi rupiah dirasakan oleh para pelaku industri makanan-minuman di Tanah Air. Sebab, sebagian besar kebutuhan produksi industri makanan-minuman, seperti bahan baku dan barang modal, masih impor.
”Di samping bahan baku dan barang modal, ada juga biaya lain, seperti logistik dan kapal. Semua itu, kan, dalam bentuk dollar AS sehingga kemudian menyebabkan terjadinya kenaikan, baik di sisi produksi, harga pokok produksi, maupun dalam biaya logistik dan distribusinya,” kata Adhi.
Beberapa impor bahan baku yang dibutuhkan oleh industri makanan-minuman, antara lain gandum, gula, dan kedelai. Kendati dampak penguatan dollar AS belum dirasakan terlalu signifikan, para pelaku industri terpaksa mengeluarkan biaya lebih besar dari biasanya untuk membeli bahan baku kebutuhan produksi itu.
Pada tahun 2022, para pelaku industri makanan-minuman masih bisa memperoleh gula rafinasi sebagai bahan baku produksi di kisaran harga Rp 8.000-Rp 9.000 per kg. Kini, harga gula rafinasi telah menembus Rp 13.000 per kg.
Adhi menambahkan, para pelaku industri menengah dan industri besar cenderung memilih untuk menahan beban biaya produksi dengan memangkas margin keuntungan sembari melihat perkembangan dari tren pelemahan nilai tukar rupiah. Sebaliknya, dampak dari pelemahan rupiah tersebut secara signifikan justru dirasakan oleh para pelaku industri kecil sehingga membuat mereka terpaksa menyesuaikan harga barang hasil produksi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Sastraatmaja menyampaikan, depresiasi rupiah turut berdampak bagi para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Situasi ini semakin menekan para pelaku industri TPT yang tengah menghadapi permasalahan perlindungan pasar dalam negeri terkait dengan maraknya impor pakaian bekas dan barang tekstil murah.
”Alangkah lebih baik kalau nilai tukar itu stabil karena mayoritas komponen dari bahan baku dikalikan dengan kurs dollar AS,” ujarnya.
Saat ini, Indonesia tengah mengembangkan serat selulosa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri TPT di dalam negeri. Salah satunya adalah serat viskosa yang berasal dari akasia.
Bergantung impor
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Bobby Gafur Umar menjelaskan, dampak negatif pelemahan nilai tukar rupiah akan dirasakan oleh pelaku industri yang bergantung pada impor bahan baku. Beberapa industri yang masih bergantung pada bahan baku impor, antara lain, ialah industri farmasi, industri TPT, serta industri makanan-minuman.
Di sisi lain, para pelaku industri yang berfokus pada ekspor hasil produksi justru akan merasakan dampak positif. Menguatnya kurs dollar AS akan meningkatkan nilai ekspor.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga berpotensi akan memangkas daya beli dan permintaan masyarakat.
Sementara itu, pelemahan nilai tukar rupiah juga berpotensi akan memangkas daya beli dan permintaan masyarakat. Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan, pelemahan rupiah berpotensi mendorong tekanan inflasi pangan berlanjut, terutama apabila pemerintah mendorong impor- impor pangan strategis.
”Selain itu, impor minyak juga akan lebih mahal sehingga harga bahan bakar (BBM) nonsubsidi akan meningkat dan berujung pada penurunan daya beli serta permintaan masyarakat,” ujarnya.
Josua memperkirakan, pelemahan rupiah akan mencapai titik puncaknya sebelum berbalik menguat pada Oktober- November 2023. Namun, perlu diperhatikan pula mengenai keputusan bank sentral AS, The Fed. Apabila ketidakpastian masih terjadi, pasar keuangan cenderung akan berfluktuasi dan rupiah akan berada dalam tren pelemahan.
Oleh sebab itu, Josua melanjutkan, Bank Indonesia (BI) perlu mengintervensi pasar keuangan sebagai upaya mitigasi agar stabilitas rupiah tetap terjaga di tengah sentimen yang memburuk. Kebijakan yang dapat dilakukan oleh BI, antara lain, ialah melalui triple intervention dan optimalisasi instrumen yang sudah dirilis.
”Beberapa kebijakan itu, yakni penguatan pengelolaan devisa hasil ekspor (DHE) melalui implementasi Term Deposit Valuta Asing DHE. Lalu, ada juga penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai instrumen operasi terbuka untuk menarik investor asing sehingga mendorong terjaganya ketersediaan valuta asing di domestik yang berikutnya akan menopang terjaganya stabilitas rupiah,” ujar Josua.
Melansir data BI, secara kalender berjalan per 12 Oktober 2023, transaksi asing di pasar Surat Berharga Negara tercatat beli neto senilai Rp 52,7 triliun. Transaksi asing tercatat jual neto senilai Rp 7,08 triliun di pasar saham dan beli neto sebesar Rp 9,21 triliun di SRBI.
Cadangan devisa Indonesia per akhir September 2023 sebesar 134,9 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan akhir Agustus sebesar 137,1 miliar dollar AS. Penurunan ini dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai langkah antisipasi dampak rambatan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.