Terlena Transfer Pusat, Pemda Minimalis Himpun Pajak dan Retribusi Daerah
Kemampuan pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi relatif rendah. Rasio pajak daerah pada 2022 baru 1,3 persen.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak dan retribusi masih rendah. Pemda masih kerap mengandalkan transfer dana dari pemerintah pusat untuk alokasi belanja daerah kendati potensi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sangat tinggi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pemerintah daerah memiliki wewenang memungut pajak. Namun, kinerja pungutan pajak daerah sejauh ini masih lemah. Ini tecermin pada rendahnya rasio pajak pemda.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio pajak daerah pada 2022 baru mencapai 1,3 persen. Ini dihitung dari data agregasi pajak daerah dan retibrusi daerah (PDRD)dari provinsi, kabupaten, dan kota dibagi produk domestik regional bruto (PDRB).
Masih banyak ruang untuk menaikkan rasio pungutan pajak dan retribusi daerah itu, salah satunya dengan memperbaiki administrasi perpajakannya tanpa harus menaikkan tarifnya.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Sandy Firdaus menyampaikan, rasio pajak daerah tahun ini tidak jauh berbeda dengan kondisi selama lima tahun terakhir.
”Masih banyak ruang untuk menaikkan rasio pungutan pajak dan retribusi daerah itu, salah satunya dengan memperbaiki administrasi perpajakannya tanpa harus menaikkan tarifnya,” kata Sandy di Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Menurut Sandy, banyak pemda masih mengandalkan transfer dana dari pemerintah pusat untuk program pembangunan di daerah dan belanja konsumtif, seperti belanja pegawai dan barang. Padahal, PDRD merupakan sumber penerimaan potensial yang dapat dimanfaatkan untuk percepatan pembangunan di daerah.
Saat ini baru kawasan Bali dan Nusa Tenggara yang tercatat memiliki tingkat rasio pajak daerah tertinggi, yakni mencapai 3,23 persen. Ini pun masih tergolong belum optimal. Sementara Kalimantan Timur mendapat catatan sebagai kawasan dengan tingkat rasio pajak daerah terendah sebesar 0,32 persen.
Pemerintah pusat menargetkan rasio pajak daerah pada tahun depan bisa meningkat ke 3 persen. Instrumen Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) akan dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan penerimaan pajak daerah agar pemerintah daerah tidak terus-menerus bergantung pada dana transfer dari pusat.
Penguatan perpajakan daerah dilakukan lewat intervensi kebijakan pajak daerah, di antaranya pengaturan tarif pajak, perluasan obyek pajak, opsen pajak kendaraan bermotor serta bea balik nama kendaraan bermotor. Ikthiar dilakukan sambil menyelaraskan peraturan daerah dengan peraturan pemerintah pusat.
”Sinergi di tingkat daerah dan pusat (penting untuk meningkatkan rasio pajak daerah) tanpa harus meningkatkan beban bagi dunia usaha dan masyarakat,” kata Sandy.
Sementara itu, untuk mendorong modernisasi administrasi perpajakan pemerintah daerah, kerja sama dengan pemerintah pusat dapat dilakukan lewat optimalisasi pemungutan dengan memanfaatkan data bersama wajib pajak antara yang ada di pusat dan daerah. Basis data Kementerian Keuangan yang berskala nasional dapat dimanfaatkan pemerintah daerah untuk memperkuat penerimaan pajak daerah.
Peningkatan rasio pungutan juga bisa dilakukan dengan meningkatkan bimbingan dan super visi modernisasi administrasi perpajakan di daerah. Cara lainnya adalah dengan meningkatkan kompetensi dan kemampuan teknis dari sumber daya manusia perpajakan daerah serta kolaborasi memanfaatkan data dan informasi sistem perpajakan.
Kementerian Keuangan tengah berinvestasi untuk membangun sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Kementerian Keuangan tengah berinvestasi untuk membangun sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system). Ini merupakan sistem teknologi informasi dalam administrasi perpajakan untuk mengotomasi proses bisnis yang dijalankan oleh Direktorat Jenderal Perpajakan sebagai pihak yang memegang otoritas perpajakan.
”Ini investasi yang luar biasa penting dan besar yang akan tingkatkan kemampuan perpajakan kita setara infrastruktur perpajakan negara-negara lain. Saya harap ini beri manfaat ke seluruh daerah,” kata Sri Mulyani dikutip dari situs Kementerian Keuangan.
Dihubungi secara terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Benedictus Raksaka Mahi, mengatakan, rendahnya rasio pajak pemerintah daerah terkait sistem pungutan pajak yang belum optimal. Perkembangan teknologi seharusnya dimanfaatkan secara maksimal untuk mengelola basis pajak daerah, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
”Rendahnya rasio pajak pemerintah daerah juga dipengaruhi jenis-jenis pajak daerah yang memang bouyant (kurang elastis),” ujarnya.
Raksaka mengatakan, rasio pajak pemerintah daerah Bali tertinggi di atas 3,5 persen karena penerimaan dari pajak hotel dan restoran cukup tinggi. Di sisi lain, PDRB Bali juga cukup besar. Setiap daerah memiliki potensi pajak berbeda bergantung pada roda ekonominya.
Apabila mencermati beberapa jenis pajak daerah yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat jenis-jenis pajak yang bersifat bouyant. Ada pula jenis-jenis pajak yang non-bouyant.
Salah satu contoh jenis pajak yang bersifat bouyant adalah PKB. Jenis pajak ini pendapatannya bertumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya permintaan kendaraan bermotor. Adapun jenis pajak yang tergolong non-bouyant adalah pajak restoran. Hal ini karena pertumbuhan ekonomi tidak mendorong masyarakat untuk makan di restoran.