Persoalan Lahan Membayangi Pemenuhan Rumah
Pemenuhan rumah layak huni di Indonesia memerlukan terobosan untuk mengatasi berbagai hambatan suplai dan permintaan.
Sebagian besar rumah tangga di Indonesia tercatat ingin memiliki rumah. Namun, sebanyak 12,7 juta rumah tangga di Indonesia belum bisa mengakses rumah layak huni. Ketersediaan lahan serta pembenahan regulasi dan tata ruang dinilai menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan rumah.
Koordinator Perumahan Direktorat Perumahan dan Kawasan Permukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ira Lubis mengemukakan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) fokus pada pemenuhan akses terhadap rumah layak huni. Kriteria kelayakan hunian mencakup ketahanan bangunan, luas bangunan, sanitasi, dan air minum.
”Apa pun rumah yang dihuni harus layak kondisinya. Kalau salah satu kriteria (kelayakan hunian) tidak tersedia, berarti akses (hunian layak) tidak terpenuhi,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Kebutuhan Perumahan untuk Mengatasi Backlog Perumahan dalam Rangka Penguatan Ketahanan Nasional” yang diselenggarakan secara hibrida di Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Menurut Ira, laju kebutuhan akan rumah di Indonesia bertambah sejalan dengan pertumbuhan rumah tangga baru. Pemenuhan akses hunian yang belum optimal mendorong kekurangan (backlog) rumah di Indonesia. Sebagian besar rumah tangga ingin memiliki rumah, tetapi kemampuan ekonomi rumah tangga menentukan kesanggupan akses rumah, yakni memiliki atau menyewa rumah.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, dari 70,62 juta rumah tangga di Indonesia, sekitar 80,16 persen tinggal di rumah sendiri, sedangkan 19,84 persen menyewa rumah. Dari jumlah rumah tangga yang menyewa rumah, sebanyak 90,17 persen tidak memiliki rumah di tempat lain.
Pemenuhan hunian yang belum optimal menyebabkan kekurangan rumah di Indonesia. Meski demikian, pemenuhan akses hunian oleh masyarakat, berupa rumah milik ataupun rumah sewa, sangat bergantung kemampuan ekonomi. Survei yang dilakukan di Jakarta dan Bandung, kelompok masyarakat bawah mengorbankan ketidaklayakan hunian untuk mendapatkan tarif sewa murah. Penyediaan rumah susun sewa, misalnya, dinilai perlu menjadi solusi bagi masyarakat yang hanya mampu menyewa rumah.
”Akses hunian harus dipenuhi dengan berbagai cara. Kalau rumah tangga sanggup memiliki rumah, didorong untuk memiliki rumah. Namun, kalau (rumah tangga) hanya sanggup menyewa rumah, diarahkan ke rumah sewa,” katanya.
Paradigma pembangunan perumahan dan kawasan permukiman telah bergeser, yakni pembangunan rumah harus dibarengi kelengkapan infrastruktur pendukung. Oleh karena itu, pemenuhan akses hunian memerlukan dukungan legalitas, lahan, penyedia air minum, pengolahan limbah, persampahan, dan drainase.
Baca Juga: Perkuat Dukungan Rumah Bersubsidi
Keberpihakan pemerintah terhadap penyediaan akses hunian yang layak dinilai terhambat minimnya kewenangan pemerintah daerah (pemda). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda tidak mengatur kewenangan pemerintah daerah (pemda) untuk program perumahan. Sejak tahun 2014, penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah dikelola oleh pemerintah pusat.
”Ketika (program perumahan) tidak menjadi kinerja pemda, tidak sepeser pun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) ke situ. Selama ini, program-program perumahan di pemda masuk melalui kanal program kemiskinan. Ini menjadi batu sandungan,” tutur Ira.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Joko Suranto menambahkan, angka kekurangan rumah terus bertambah dan terakumulasi. Persoalan permukiman kian pelik karena 60 persen orang Indonesia diprediksi tinggal di perkotaan. ”Masalah (backlog) ini tidak masuk akal kalau tidak segera dibenahi,” katanya.
Keberpihakan pemerintah terhadap program perumahan dinilai masih rendah karena pengentasan warga dari kekurangan rumah bukan merupakan program prioritas. Dari sisi anggaran, alokasi anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk perumahan di bawah 10 persen dari total anggaran. Sementara itu, pemborosan biaya bahan bakar yang terbuang akibat kemacetan di jalan mencapai nilai Rp 71,4 triliun per tahun. Hal itu dinilai akibat dari pengembangan kota yang dibangun tanpa desain yang tepat.
Kendala lahan
Kepala Badan Kajian Strategis DPP REI, Ignesjz Kemalawarta, mengemukakan, kendala dalam pasokan hunian di antaranya belum terdapat mekanisme pengaturan harga lahan. Lahan di perkotaan semakin tidak bisa terjangkau secara ekonomi untuk pembangunan perumahan.
Harga tanah yang terus naik berbenturan dengan harga rumah bersubsidi yang dipatok bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara itu, harga bahan bangunan juga terus naik yang turut mengerek harga jual rumah. Akibatnya, harga rumah yang terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah semakin jauh dari pusat kota dan pusat kegiatan.
Akibatnya, harga rumah yang terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah semakin jauh dari pusat kota dan pusat kegiatan.
Penyediaan bank tanah dinilai mendesak untuk kebutuhan sektor perumahan. Intervensi tata ruang diperlukan dalam bentuk zona khusus perumahan terjangkau dengan harga yang dibekukan sehingga harga jual rumah bisa tetap.
”Solusi yang ditawarkan adalah ada intervensi tata ruang, termasuk zona khusus rumah terjangkau dengan harga yang dibekukan sehingga harga jual rumah tidak terus naik,” ujarnya.
Baca Juga: Minat Pasar Perumahan 2023 Diprediksi Melaju
Terkait tata ruang wilayah, menurut Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Kementerian Agraria dan Tata Ruang Senthot Sudirman, harus menjadi pedoman dalam perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Hingga kini, pengaturan tata ruang belum konsisten. Konflik kebutuhan lahan terjadi antarsektor.
”Semua kegiatan membutuhkan lahan. Mencari lahan tidak susah, tetapi karena sudah dikuasai pemilik modal, teori pasar berlaku. Harga lahan menjadi naik tidak terjangkau,” ujarnya.
Senthot menambahkan, arus urbanisasi telah mengancam ketersediaan permukiman di perkotaan. Pada 2022, komposisi penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 56,7 persen, dan diprediksi menjadi 66,6 persen pada tahun 2035. Peningkatan keluarga baru juga menambah kebutuhan akan rumah, sedangkan hunian berorientasi transit belum terwujud secara optimal.
Solusi pemenuhan kebutuhan akan perumahan memerlukan kolaborasi dan dukungan seluruh pemangku kepentingan. Kolaborasi dalam pasokan lahan untuk pembangunan perumahan diusulkan, antara lain, berupa pemanfaatan tanah pemerintah, bekas tanah telantar, tanah negara bebas, bank tanah, pelepasan kawasan hutan, tanah reklamasi, dan 20 persen lahan hak guna usaha (HGU). Selain itu, harga khusus bahan baku perumahan untuk rumah bersubsidi.
Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Adi Setianto, menambahkan, ekosistem perumahan belum optimal. Ekosistem itu meliputi pengembang, perizinan, pembiayaan, dan masyarakat penerima. ”Ekosistem masih jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.