Emiten Sawit Lebih Dihargai jika Berpartisipasi di Bursa CPO
Bursa CPO akan memberikan alternatif bagi perusahaan produsen CPO yang sebelumnya bertransaksi mengacu pada bursa berjangka luar negeri seperti Bursa CPO Malaysia, MDEX.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia resmi memiliki Bursa Penyelenggara Pasar Fisik Minyak Sawit Mentah atau Bursa CPO, Jumat (13/10/2023). Meski media perdagangan minyak sawit mentah ekspor ini tidak diwajibkan bagi pengusaha, keikutsertaan itu dinilai akan lebih diapresiasi investor pasar modal di masa mendatang.
Peluncuran Bursa CPO dilakukan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan penyelenggara Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (ICDX) di bawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Bursa akan mulai efektif beroperasi pada 23 Oktober 2023.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, Bursa CPO akan memberikan alternatif bagi perusahaan produsen CPO yang sebelumnya bertransaksi mengacu pada bursa berjangka luar negeri seperti Bursa CPO Malaysia, MDEX.
Bursa negeri jiran itu selama ini menjadi salah satu referensi harga acuan CPO walaupun Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2022, total produksi CPO Indonesia sebanyak 46,73 juta ton. Setiap tahun, rata-rata 30 juta ton CPO diekspor.
”Buat perusahaan sawit, ikut dalam bursa ini adalah pilihan, sebagai alternatif untuk menjamin risiko atas harga jual dan kursnya. Yang tidak ikut tidak akan terkena dampak apa pun alias tidak ada efek,” katanya kepada Kompas.
Penyelenggara Bursa CPO juga menyatakan, perdagangan itu bersifat voluntary atau sukarela. Sejauh ini, sudah ada 18 pelaku usaha CPO yang terdaftar di ICDX. Seiring dengan bertambahnya pelaku usaha terdaftar, nantinya bursa itu ditargetkan mampu membentuk harga acuan CPO pada triwulan I-2024.
Keikutsertaan perusahaan yang sebelumnya sudah melantai di pasar modal, kata Budi, akan memberi keuntungan lebih. ”Saya pikir, emiten-emiten yang memanfaatkan bursa ini akan lebih dihargai, terutama karena levy (biaya transaksi) dan pajak ekspor saat harga CPO tinggi tidak diberlakukan lagi,” ujarnya.
Penyelenggaraan bursa berupa peraturan dan tata cara perdagangan fisik CPO akan disosialisasikan lebih lanjut oleh Bappebti bersama ICDX mulai 16 September 2023. Sementara sosialisasi berjalan, penyelenggara juga mengharapkan pemerintah memberikan insentif untuk penjual dan pembeli agar jumlah peserta perdagangan semakin bertambah banyak.
Pengamat Bursa Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, butuh waktu sangat lama bagi Bursa CPO Indonesia untuk bisa setara dengan bursa serupa di Malaysia atau Belanda yang selama ini dijadikan acuan perdagangan komoditas ekspor tersebut.
”Indonesia untuk menuju referensi harga itu butuh waktu cukup lama, mungkin tiga periode presiden atau 15 tahun. Di Malaysia saja cukup lama, 10-15 tahun. Namun, ini semangat juang, harus kita dukung, yang penting kita jalan dulu,” ujarnya.
Komitmen pemerintah untuk melaksanakan Bursa CPO dinilai penting karena selama ini banyak perdagangan ilegal yang dilakukan perusahaan CPO. Akibatnya, pemerintah sulit menghitung pendapatan pajak yang berpotensi menambah pendapatan negara. Bursa seperti ini diharapkan juga bisa dikembangkan untuk komoditas lainnya.
”Walau sudah masuk bursa, ada juga perusahaan yang melakukan ekspor di pasar gelap. Untuk menghapus pasar gelap ini, yang masuk bursa jangan hanya CPO, semua komoditas unggulan sebaiknya masuk bursa agar preferensi harga dan pendapatan pajak semua jelas,” katanya.
Peluncuran Bursa CPO hari ini tidak menunjukkan respons signifikan pada perdagangan saham emiten sawit. Sampai penutupan perdagangan Jumat (13/10/2023) sore, harga-harga saham emiten tersebut bergerak beragam.
Sejumlah saham sawit bergerak ke garis merah, seperti PT Johnlin Agro Raya Tbk (JARR) turun 4 persen, saham PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) melemah 5 persen. Lalu, emiten sawit milik PT Sinar Mas, Smart Tbk (SMAR) dan saham PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) sama-sama jeblok 10 persen.
Sementara, emiten lainnya, seperti saham sawit milik grup Astra, Astra Agro Lestari Tbk (AALI), emiten Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), saham PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG), tetap atau sideways.
Kemudian, ada yang menghijau, seperti emiten sawit PP London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) dan saham emiten sawit milik Sungai Budi Group Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) yang sama-sama naik 5 persen.