Sebagai negara penghasil sawit terbesar, Indonesia bermimpi untuk dapat memiliki bursa CPO. Namun, adanya bursa tersebut tetap perlu memperhatikan kepentingan berbagai pihak.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski tidak seusai dengan target awal peluncuran, rencana pembentukan bursa minyak kelapa sawit mentah (CPO) dipastikan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Namun, pemerintah dinilai perlu memperhatikan baik segi pengenaan biaya tambahan agar harga kompetitif maupun potensi permainan harga CPO yang berpotensi dimonopoli pihak-pihak tertentu.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Perdagangan menargetkan Indonesia dapat memiliki referensi harga CPO dunia pada Juni 2023. Namun, dua bulan berselang, bursa CPO masih dalam proses pembentukan melalui perumusan peraturan menteri perdagangan (permendag).
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko menyampaikan, perumusan permendag telah sampai pada tahapan telaah hukum oleh Biro Hukum Kemendag. Meski sudah dalam proses antrean di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), akan ada tahapan finalisasi dengan kementerian/lembaga terkait pada Jumat (4/8/2023).
”Kami ingin memastikan penyusunan permendag ini tidak bertabrakan dengan aturan lainnya. Oleh sebab itu, kami sangat berhati-hati dalam menyusunnya. Memang, diakui bahwa kami gagal karena tidak sesuai dengan target, tapi sejauh ini masih on the track (sesuai jalur),” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis.
Permendag tersebut nantinya akan mengatur ekspor CPO, yakni CPO berkode HS 15.111.000. Selain itu, kebutuhan CPO domestik juga turut diperdagangkan melalui bursa. Sementara untuk ekspor produk turunan CPO, mekanismenya tidak harus melalui bursa.
Berdasarkan data Bappebti, rata-rata produksi CPO nasional per tahun mencapai 50 juta ton. Dari jumlah tersebut, rata-rata ekspor CPO 30 juta ton per tahun. Sementara yang tergolong berkode HS 15.111.000 hanya sekitar 3 juta ton atau 9,75 persen.
Didid menambahkan, perdagangan melalui bursa CPO ini dapat menjadi acuan di sektor hulu, yakni petani, dan hilir, yakni perusahaan. Dengan adanya kesepakatan antara permintaan dan penawaran di bursa, diharapkan tercipta harga yang wajar, baik harga tandan buah segar (TBS) petani maupun pengenaan pajak untuk pelaku usaha.
Tujuan utama CPO masuk bursa agar kita memiliki harga acuan tersendiri. Harga acuan ini tentu bisa memengaruhi harga CPO internasional karena produksi kita di atas 50 persen.
”Tujuan utama CPO masuk bursa agar kita memiliki harga acuan tersendiri. Harga acuan ini tentu bisa memengaruhi harga CPO internasional karena produksi kita di atas 50 persen,” lanjut Didid.
Sembari menunggu permendag mengenai bursa CPO diterbitkan, Bappebti tengah menyusun regulasi tentang tata tertib bursa. Didid menyebut, permendag diharapkan dapat diterbitkan pada Agustus 2023.
Terkait dengan penyelenggara bursa CPO, terdapat dua lembaga yang berpotensi ditunjuk oleh Bappebti, yakni Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) atau Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX). Saat ini, kedua lembaga itu tengah dievaluasi oleh Bappebti terkait dengan kesiapannya.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengatakan, mekanisme perdagangan CPO selama ini tidak melalui bursa yang bersifat mandatori, melainkan sukarela (voluntary). Sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, bursa CPO diharapkan memiliki acuan harga yang kompetitif.
”Kalau harga menjadi mahal, bisa jadi pembeli tidak tertarik. Intinya, jangan sampai mandatori ekspor CPO ini menambah biaya. Dikhawatirkan, kalau ada beban biaya yang ditambah, harga kita menjadi tidak kompetitif,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Eddy menjelaskan, para eksportir CPO selama ini menanggung bea keluar dan pungutan ekspor. Pada periode 1-15 Agustus 2023, bea keluar dan pungutan masing-masing 33 dollar AS per ton dan 85 dollar AS per ton atau naik dibanding periode 1-15 Juli yang sebesar 18 dollar AS per ton dan 75 dollar AS per ton.
Biaya tersebut ditentukan berdasarkan harga referensi CPO pada periode yang sama, yakni 826,48 dollar AS. Harga tersebut menguat 35,46 dollar AS per ton atau 4,48 persen dibandingkan periode 16-31 Juli 2023.
Didid menambahkan, pemerintah hingga kini belum mempertimbangkan adanya insentif pajak guna menarik para pelaku usaha masuk ke bursa CPO. Namun, tidak tertutup kemungkinan jika bursa CPO sudah berjalan, pemerintah akan memberikan insentif tersebut. Menurut dia, adanya tambahan biaya tersebut dapat tertutup dengan harga CPO yang semakin membaik.
Di sisi lain, pembentukan bursa CPO ini justru menuai penolakan dari sejumlah kalangan. Ini karena bursa CPO dikhawatirkan hanya akan dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto berpendapat, kebijakan mengatur ekosistem komoditas kelapa sawit di Indonesia cenderung bergantung pada kelompok tertentu dari pelaku industri kelapa sawit. Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki referensi dan kapasitas dalam membangun bursa CPO sebagai penentu harga acuan.
”Takutnya, nanti akan ada monopoli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar pemain CPO. Kalau mereka kongkalikong, nanti harga CPO di bursa akan ditentukan oleh mereka,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Monopoli tersebut, lanjut Darto, sangat memungkinkan terjadi lantaran struktur pasar CPO di Indonesia tidak sehat. Dia menyebut, ada perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang bermain di semua lini, yakni hulu, tengah, dan hilir.
Ia mengemukakan, perlu ada sistem pengawasan dalam mekanisme pembentukan harga di bursa agar tidak merugikan para petani kelapa sawit dan perusahaan skala kecil. Sebab, petani dan perusahaan-perusahaan kecil menggantungkan harga komoditas CPO kepada perusahaan-perusahaan besar.
”Adanya bursa CPO ini memicu problem baru di sektor kelapa sawit. Sebab, tidak ada mekanisme terkait transparansinya, tidak ada referensi yang akan digunakan, dan juga belum ada standardisasi harga petani sebagai jaminan jika harganya turun,” ujarnya.
Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk membuat pemetaan terkait dengan berbagai risiko dari adanya bursa CPO. Hal ini mengacu pada kecenderungan untuk mendorong permintaan CPO kepada bursa melalui penetapan harga yang lebih murah dibandingkan bursa lain.
Dengan produktivitas CPO yang tinggi, kata Darto, dibutuhkan tingkat permintaan pasar yang tinggi pula, yakni melalui skema harga yang kompetitif atau rendah. Hal ini akan membuat harga TBS petani di sektor hulu semakin rendah. Di sisi lain, perlu dipertimbangkan juga mekanisme pemenuhan kebutuhan pasar domestik agar fenomena melambungnya harga minyak goreng tidak terulang kembali.