Impor Gula Cadangan Pemerintah Baru Terealisasi 24,69 Persen
Cadangan gula pemerintah sangat terbatas akibat minimnya realisasi impor gula konsumsi dan mentah yang ditugaskan kepada 16 perusahaan. Di sisi lain, Gapmmi menyebutkan, harga gula rafinasi sudah di atas gula konsumsi.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi impor gula kristal putih dan mentah untuk cadangan gula pemerintah masih rendah, yakni hanya 24,69 persen dari 1,01 juta ton kuota tahun ini. Jika sisa kuota impor tidak segera direalisasikan, stok gula konsumsi akan menipis dan harganya akan semakin melonjak tinggi.
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, produksi gula nasional pada tahun ini diperkirakan turun akibat dampak El Nino. Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasinya dengan penugasan impor gula konsumsi dan mentah sebanyak 1,01 juta ton tahun ini kepada 16 perusahaan milik negara dan swasta.
”Namun, realisasinya masih rendah. Per 5 Oktober 2023, gula konsumsi yang didatangkan dari luar negeri baru 249.781 ton atau 24,69 persen dari total kuota,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Per 5 Oktober 2023, gula konsumsi yang didatangkan dari luar negeri baru 249.781 ton atau 24,69 persen dari total kuota.
NFA mencatat, terdapat 16 perusahaan yang mendapatkan persetujuan impor gula konsumsi dan gula mentah yang akan diolah menjadi gula konsumsi. Dua perusahaan mendapatkan kuota impor gula konsumsi sebanyak 215.800 ton dan 14 perusahaan memperoleh kuota impor gula mentah 796.000 ton. Dari 16 perusahaan itu, 10 perusahaan sama sekali belum mengimpor gula.
Salah satu perusahaan yang mendapatkan penugasan tersebut, yakni ID Food, telah menyiapkan dana Rp 1,5 triliun untuk mendatangkan gula sisa kuota impor. Dari 107.900 ton yang sudah mendapatkan persetujuan impor pada tahun ini, hingga 5 Oktober 2023, sudah terealisasi sebanyak 97.041 ton.
Arief menjelaskan, total realisasi impor 16 perusahaan itu masih rendah karena banyak perusahaan yang mempertimbangkan faktor harga gula dunia yang tinggi dan pelemahan rupiah. Di tengah kondisi itu, NFA tetap meminta perusahaan-perusahaan itu segera merealisasikan impor agar pemerintah memiliki cadangan gula cukup hingga tahun depan.
”Saat ini kami tengah menggodok fleksibilitas harga jual gula impor itu di pasar dalam negeri agar tetap menguntungkan mereka. Kemungkinan fleksibilitas harganya sekitar 10 persen atau Rp 1.000 per kilogram,” kata Arief.
Kami tengah menggodok fleksibilitas harga jual gula impor itu di pasar dalam negeri agar tetap menguntungkan mereka.
TradingEconomics mencatat, per 12 Oktober 2023, gula mentah dunia diperdagangkan seharga 26,37 sen (dollar AS) per pon atau naik 40,24 persen secara tahunan. Hingga akhir tahun ini, harga gula diperkirakan bisa tembus 27,31 sen per pon.
Harga tersebut hampir mencapai harga tertinggi dalam 12 tahun terakhir atau pada 19 September 2011, yakni sebesar 27,5 sen per pon. Sementara itu, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah berada di Rp 15.702 per dollar AS atau melemah 2,27 persen secara bulanan.
Rabu lalu, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) memperkirakan produksi gula nasional pada 2023 turun menjadi 2,25 juta ton dibandingkan produksi 2023 yang sebanyak 2,386 juta ton. Dengan kebutuhan gula konsumsi sebanyak 3,2 juta ton per tahun, berarti akan terjadi defisit gula sebanyak 950.000 ton. Jika tidak ada tambahan impor gula, harga gula konsumsi akan melonjak di atas Rp 16.000 per kg (Kompas, 12/10/2023).
Berdasarkan Panel Harga Pangan NFA, per 12 Oktober 2023, harga rata-rata nasional gula konsumsi Rp 15.490 per kg. Harga tersebut telah naik 3,5 persen secara bulanan dan 8 persen secara tahunan. Harga rata-rata gula konsumsi tertinggi berada di Papua, yakni Rp 19.340 per kg, sedangkan terendah di Jawa Timur, yakni Rp 14.530 per kg.
Peralihan gula
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyebutkan, saat ini harga gula rafinasi di pabrik (berdasarkan dokumen pengiriman barang atau (DO) lebih tinggi dari harga lelang gula konsumsi. Hal ini tidak hanya akan berpengaruh pada kenaikan harga makanan-minuman jadi, tetapi juga menambah kebutuhan gula konsumsi.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman menuturkan, harga gula rafinasi di pabrik sudah mencapai Rp 13.000 per kg. Harga tersebut di atas rata-rata harga lelang gula konsumsi Rp 12.800 per kg.
”Situasi sudah berbalik. Kini, harga gula rafinasi lebih tinggi dari harga lelang gula konsumsi. Hal ini akan berimbas pada kenaikan harga makanan-minuman olahan. Selain itu, sudah mulai banyak industri rumahan atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang beralih dari gula rafinasi ke gula konsumsi,” tuturnya.
Situasi sudah berbalik. Kini, harga gula rafinasi lebih tinggi dari harga lelang gula konsumsi.
Adhi menjelaskan, harga makanan-minuman jadi diperkirakan akan naik 3-15 persen bergantung jenis produk dan industrinya. Khusus industri besar yang telah mengamankan kontrak pembelian harga gula rafinasi sebelum harga gula melambung tinggi, mereka berencana menunda kenaikan harga hingga awal tahun. Hal itu lantaran mereka masih mendapatkan harga gula rafinasi lama, yakni Rp 10.000 per kg.
Adapun bagi industri yang membeli gula rafinasi secara bulanan atau jika saat dibutuhkan, mereka akan menaikkan harga atau mengefisienkan biaya produksi. Efisiensi itu antara lain berupa pengurangan volume produk, mencari bahan baku sejenis yang harganya lebih murah, bahkan mengurangi margin atau keuntungan.
”Namun, yang perlu diperhatikan adalah industri rumahan atau UMKM yang beralih dari gula rafinasi ke gula konsumsi. Kendati hal itu dilarang, mereka terpaksa beralih karena harga gula rafinasi lebih tinggi dari gula konsumsi. Situasi itu dapat menyebabkan konsumsi gula kristal putih bertambah,” kata Adhi.
Rabu lalu, tenaga ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Yadi Yusriyadi, juga berpendapat serupa. Peralihan bahan baku pelaku UMKM makanan-minuman dari gula rafinasi ke gula konsumsi diperkirakan akan menambah konsumsi gula kristal putih dari 250.000 ton per bulan menjadi 270.000 ton per bulan.