Garuda Indonesia Jajaki Penggunaan Bioavtur pada Penerbangan Komersial
Garuda Indonesia dan Pertamina siap melanjutkan sinergi ke tahap selanjutnya, yaitu penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan dalam penerbangan komersial.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maskapai Garuda Indonesia telah berhasil melakukan rangkaian uji penerbangan dengan menggunakan bioavtur berbasis bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit. Sebagai pemroduksi bioavtur, Pertamina optimistis bahan bakar penerbangan berkelanjutan ini dapat segera dipasarkan secara komersial.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, dirampungkannya uji coba penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan tersebut menjadi cara perseroan mendukung inisiatif dekarbonisasi.
”Ini menjadi langkah untuk merealisasikan mimpi mewujudkan green energy pada ekosistem aviasi nasional sekaligus memperkuat komitmen Indonesia dalam mencapai net zero emission yang diproyeksi dapat terealisasi pada tahun 2060,” ujar Irfan dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Selasa (10/10/2023).
Dengan hasil baik ini, lanjut Irfan, Garuda Indonesia dan Pertamina siap melanjutkan sinergi ke tahap selanjutnya, yaitu penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan dalam penerbangan komersial.
Uji coba terakhir penggunaan bioavtur dilakukan pada Rabu (4/10/2023) pekan lalu. Uji coba dilakukan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, melalui tahapan putaran dasar dan uji terbang pada pesawat jenis Boeing 737-800 NG dengan nomor registrasi PK-GFX milik Garuda Indonesia.
Uji terbang dilakukan selama satu jam dan berhasil melintasi area udara Palabuhanratu, Jawa Barat, sebelum akhirnya pesawat tersebut kemudian kembali mengarah dan mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Bioavtur yang masuk dalam klasifikasi bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) dengan kandungan minyak inti kelapa sawit 2,4 persen (J2.4) tersebut adalah hasil pengembangan Garuda Indonesia bersama PT Pertamina (Persero).
Sebelumnya uji coba serupa telah dilakukan pada Rabu (26/7/2023) melalui uji statis pada mesin pesawat CFM56-7B yang digunakan pada armada B737-800 NG Garuda Indonesia. Uji coba kemudian akan dilanjutkan dengan rangkaian uji lanjutan lain, yakni berupa uji coba tes darat dan tes penerbangan.
Bioavtur yang digunakan dalam uji penerbangan Garuda merupakan bahan bakar nabati hasil campuran avtur dan bahan baku minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) yang dikembangkan oleh Pusat Rekayasa Katalis Institut Teknologi Bandung (PRK-ITB) bersama Pertamina Research and Technology Innovation (Pertamina RTI) sejak tahun 2010.
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, produksi SAF dilakukan pada fasilitas green refinery milik PT Kilang Pertamina Internasional di Cilacap, Jawa Tengah. Adapun metode yang digunakan adalah co-processing ester dan fatty acid (HEFA).
Produksi SAF dilakukan pada fasilitas green refinery milik PT Kilang Pertamina Internasional di Cilacap, Jawa Tengah.
HEFA memurnikan minyak nabati, minyak limbah, atau lemak menjadi SAF melalui proses dengan menggunakan hidrogen (hidrogenasi).
”Produk SAF merupakan hasil inovasi lintas fungsi dan subholding Pertamina. Ini jadi bukti dan komitmen Pertamina dalam mengembangkan renewable fuel, khususnya bahan bakar pesawat terbang,” ungkap Nicke.
SAF memiliki banyak keunggulan, salah satunya emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Nantinya SAF akan dipasarkan melalui PT Pertamina Patra Niaga untuk industri aviasi Indonesia.
”Harapannya SAF bisa dapat segera dipasarkan penerbangan komersial sebagai tonggak utama pengembangan green energy di Indonesia dan berkontribusi pada program dekarbonisasi,” lanjut Nicke.
Iman K Reksowardojo, pakar motor bakar dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung, pernah menjelaskan, bioavtur amat cocok dikembangkan di Indonesia karena melimpahnya potensi bahan baku untuk bahan bakar nabati.
Ia menilai penggunaan bioavtur akan tepat jika diproyeksikan menggantikan energi fosil. Jika terus dikembangkan, Iman optimistis Indonesia bisa menjadi sumber utama bioavtur. Saat ini, kehadiran bioavtur yang rendah emisi mulai menjadi pertimbangan penerbangan komersial untuk beralih dari energi fosil.
”Kalau energi fosil, pembuangannya langsung mengumpul di udara dan jadi panas. Itu amat berbahaya bagi lingkungan. Kalau pembuangan bioavtur, itu akan dimakan lagi oleh tanamannya,” ucapnya.
Namun, harga bioavtur diperkirakan sedikit lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil. Itu karena proses produksi bioavtur lebih lama. ”Kalau energi fosil tinggal ambil. Sementara bioavtur harus dibuat dulu, mulai dari penanaman tumbuhannya. Hal itu membuat harganya lebih mahal,” kata Iman.