Pelemahan rupiah dan perlambatan kinerja bursa bagi investor menjadi momen yang baik untuk berinvestasi di pasar modal Indonesia. BEI hari ini juga mencatatkan rekor emiten baru terbanyak secara tahunan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG yang melambat di triwulan ketiga 2023 tetap diramaikan pencatatan emiten baru di bursa. Momen ini dinilai pengamat baik bagi masyarakat untuk menginvestasikan dananya di instrumen saham dan obligasi.
Sejak akhir Juli hingga hari ini, grafik kinerja IHSG hanya bergerak di antara level 6.800 dan 6.900. Dibanding periode tahun lalu, IHSG ada di posisi lebih tinggi dan beberapa kali menyentuh level 7.000, bahkan mencapai rekor tertingginya pada 13 September 2022 di angka 7.318.
Pada Jumat (6/10/2023) ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat rekor emiten baru terbanyak yang masuk bursa secara tahunan dengan masuknya PT Kokoh Exa Nusantara Tbk dan PT Sumber Sinergi Makmur Tbk. Mereka menggenapkan emiten baru menjadi sebanyak 68 perusahaan pada 2023. Ini menjadi pencatatan terbanyak sepanjang sejarah Bursa, yang sebelumnya terjadi pada 1990 dengan 66 perusahan.
Perusahaan teknologi PT Sumber Sinergi Makmur Tbk, pencipta produk pelacak mobil-sepeda motor Fix Logger, yang tercatat di bursa dengan nama IOTF menawarkan saham baru sebanyak 1,1 miliar lembar dengan harga Rp 100 per saham. Setelah debut pada sekitar pukul 09.40, harga saham IOFT melambung secara konsisten menjadi Rp 135 per saham.
”Hari ini dapat kepercayaan publik untuk meraih dana Rp 110 miliar sehingga membuat valuasi perusahaan kami sekitar Rp 528 miliar, lebih kurang 2.640 kali lipat dalam waktu delapan tahun perusahaan ini berdiri,” kata Direktur Utama PT Sumber Energi Makmur Tbk Alamsyah Cheung di Bursa Efek Indonesia, Jakarta.
Sementara itu, perusahaan konstruksi yang berfokus pada rumah subsidi, PT Kokoh Exa Nusantara Tbk (KOCI) melepas sebanyak 4,5 juta lot saham dengan harga penawaran Rp 120 per sahamnya. Saham KOCI yang telah disahkan sebagai efek syariah itu turun 15,87 persen menjadi Rp 101 per saham.
Perusahaan itu akan memanfaatkan sebagian besar dana hasil penawaran publiknya untuk membeli land bank dan modal kerja. Lalu, dalam waktu 1-2 tahun membangun area komersial untuk pendapatan berulang.
Sampai akhir tahun ini, BEI akan ketambahan 26 emiten lainnya. Dua emiten lain juga menyusul di awal 2024. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menyebut, secara jumlah korporasi baru yang melantai di bursa memang membuat rekor. Namun, tidak dari segi dana yang dihimpun.
Meski belum dapat memastikan jumlah dana yang hendak dihimpun emiten baru tahun ini, Nyoman menyebut belum ada yang mengalahkan penawaran saham perdana atau IPO pada 2021. Rekor saat itu dicetak emiten Bukalapak (BUKA) yang menghimpun dana Rp 21,9 triliun dan anak usaha Telkom, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL), sebesar Rp 18,8 triliun.
”Dua itu menyumbang hampir setengah dari total penghimpunan dana pada saat itu,” kata Nyoman secara terpisah.
Budi Frensidy, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menilai, saat ini memang bukan waktu yang baik bagi perusahaan untuk mencari investasi tambahan jika tidak ada rencana ekspansi bisnis. Kebutuhan berutang untuk ekspansi sekalipun perlu dipertimbangkan baik-baik.
Untuk investor yang pegang tunai justru ini momen yang bagus untuk membeli saham dan obligasi. (Budi Frensidy)
Saran ini tidak lepas dari tekanan pasar global yang membuat rupiah anjlok. Sentimen global atas kebijakan The Fed di Amerika Serikat yang akan terus menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi dinilai akan membuat sebagian besar korporasi, termasuk emiten yang ada di Bursa, tertekan.
”Dampak ini akan dirasakan perusahan yang banyak komponen impornya dalam biaya produksi dan yang berutang dengan bunga floating, seperti kredit investasi dari bank,” katanya saat dihubungi Kompas.
Namun, pelemahan rupiah dan perlambatan kinerja bursa bagi investor menjadi momen yang baik untuk berinvestasi di pasar modal Indonesia. Suku bunga termasuk imbal balik obligasi di Indonesia diprediksi stabil, masing-masing di angka 5,75 persen dan di atas 5,9 persen, hingga akhir tahun.
”Untuk investor yang pegang tunai justru ini momen yang bagus untuk membeli saham dan obligasi. Ini waktu yang baik sampai ada tanda bunga The Fed tidak akan dinaikkan lagi, tetapi akan diturunkan,” imbuhnya.