Investasi Pabrik Nikel Belum ”Menetes” pada Warga Lokal
Dalam setiap proyek berbasis infrastruktur, kesiapan SDM harus dipikirkan lebih dulu. Selain itu, perlu ada koneksi antarsektor yang dapat mempercepat respons ekonomi akan satu investasi yang masuk.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masifnya investasi terkait hilirisasi hasil tambang, terutama di berbagai sentra nikel di Indonesia, belum mengangkat kesejahteraan warga lokal. Hal itu, antara lain, karena belum siapnya daerah menyambut peluang yang ada. Perlu ada rencana strategis agar respons dan koneksi antarsektor bisa lebih cepat demi peningkatan kesejahteraan.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, dihubungi di Jakarta, Kamis (5/10/2023), mengatakan, dalam satu siklus bisnis, idealnya, aktivitas ekonomi atau investasi menggerakkan langsung ekonomi di daerah tersebut. Itu mulai terlihat setelah produksi atau operasi serta setelah memasarkan produknya.
Mengenai investasi terkait pertambangan serta industri pengolahan dan pemurnian nikel, seperti di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, memang ada perekrutan tenaga kerja. Namun, yang menjadi masalah ialah kebanyakan tenaga kerja yang direkrut berasal dari luar daerah itu, baik luar kabupaten, luar provinsi, maupun luar pulau.
”Ini menjadi catatan. Bagaimana agar investasi pertambangan dan pengolahan nikel ini dapat menyerap tenaga kerja lokal di kemudian hari. Harus dibuat semacam strategi penyiapan sumber daya manusia (SDM) lokal, yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dari industri atau smelter tersebut,” kata Rizal.
Sebelumnya, dalam Data Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2023, menunjukkan persentase penduduk miskin terpantau naik di wilayah penghasil dan pengolah nikel, yakni Sulawesi. Sulawesi Tenggara, misalnya, yang kemiskinannya dari 11,27 persen pada September 2022 menjadi 11,43 persen pada Maret 2023.
Di Sulawesi Tengah, yang juga sentra pengolahan nikel, kemiskinan naik dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Sementara di Sulawesi Selatan, wilayah penghasil nikel lainnya, kemiskinan juga naik dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen. Kenaikan persentase penduduk miskin juga terjadi, antara lain, di Maluku dan Maluku Utara.
Hal itu kontras dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di wilayah-wilayah itu setelah gencarnya hilirisasi nikel. Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2022 tumbuh 15,17 persen dan pada triwulan I-2023 sebesar 13,18 persen. Ekonomi Sulawesi Tenggara pada 2022 tumbuh 5,53 persen dan pada triwulan I-2023 tumbuh 6,48 persen (Kompas, 21/7/2023).
Rizal menambahkan, dari riset yang dilakukan, diketahui bahwa respons dari struktur ekonomi setiap wilayah terhadap investasi tambang ini berbeda satu dengan lainnya. Sebab, itu menyangkut interaksi antarsektor di daerah itu, seperti pertambangan, pertanian, industri pengolahan, pengolahan berbasis pertanian/tambang, dan lainnya.
Berbeda dengan Sulteng dan dan Sultra, respons struktur ekonomi di Sulsel lebih cepat. ”Baik di industri pengolahan itu sendiri, jasa, maupun sektor primer lainnya. Efek pengganda, dari penerimaan pendapatan masyarakat terhadap kinerja sektor tambang itu sendiri menjadi lebih besar. Apalagi dari industri pengolahan tambang,” ujarnya.
Oleh karena itu, ucap Rizal, dalam setiap proyek berbasis infrastruktur, kesiapan SDM harus dipikirkan lebih dulu. Selain itu, perlu ada koneksi antarsektor yang dapat mempercepat respons ekonomi akan satu investasi yang masuk. Hal itu akan mempercepat penerimaan, pemerataan, hingga pendapatan dari rumah tangga.
Perlu ada semacam peta jalan, rencana strategis, atau grand strategy terkait ketersediaan tenaga kerja di mana proyek itu berada dengan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan.
”Perlu ada semacam peta jalan, rencana strategis, atau grand strategy terkait ketersediaan tenaga kerja di mana proyek itu berada dengan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan. Selama ini, problemnya, (investasi) datang, diberi izin terkait lahan, langsung membangun, tapi daerah belum siap. Padahal, jika SDM tak mendukung, akselerasi pertumbuhan atau scale up bisnisnya juga akan terhambat,” ucap Rizal.
Fasilitas pendidikan, termasuk kurikulum yang berkait dengan pengembangan industri di wilayah tersebut, juga mesti betul-betul disiapkan secara matang. Termasuk melalui sekolah menengah kejuruan ataupun berbagai politeknik. Hal tersebut penting agar SDM-SDM lokal secara perlahan dapat menyambut peluang-peluang yang ada.
Saat ini, sebagian besar investasi smelter nikel berasal dari China karena saat ini teknologinya yang paling efisien. ”Tinggal bagaimana memastikan transfer knowledge (pengetahuan) bisa berjalan. Begitu juga bahasa hingga budaya kerja yang baik, termasuk good mining practice (tata kelola pertambangan yang baik),” lanjutnya.
Berproses
CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus menuturkan, seiring pembangunan pabrik di IMIP, Morowali, Sulteng, masyarakat sekitar dipekerjakan. Namun, dengan kapasitas yang ada, relatif hanya mampu menjadi pemasok (supplier), misalnya ikan. Pihaknya telah mengupayakan warga untuk mandiri, misalnya melalui pelatihan menjahit.
Namun, upaya itu kerap gagal karena ada kecenderungan warga ingin menjadi karyawan. ”Kami tetap mencoba. Saya dan semua pemegang saham juga setuju jika ada produk yang diproduksi masyarakat, misalnya sepatu kerja, agar dibeli meski harganya sedikit lebih mahal daripada impor. Syaratnya, spec-nya setidaknya sama,” ucapnya.
Ia berharap ke depan dampak ikutan investasi di IMIP benar-benar dirasakan oleh masyarakat. ”Kalau ditanya kapan, saya harapkan 2-3 tahun lagi mereka sudah bisa mandiri. Kami tidak harapkan lagi mereka hanya menjadi supplier. Politeknik (Industri Logam Morowali) juga sudah kami bangun, dan mereka juga akan melihat kegigihan pendatang (sehingga bisa ikut terpacu),” ucapnya.
Mengenai penerimaan mahasiswa politeknik, Barus mengakui pernah mendapat komplain karena anak-anak muda lokal tidak bisa serta-merta langsung diterima. Menurut dia, bagaimanapun pendidikan itu obyektif. Oleh karena itu, yang bisa dilakukannya ialah memberikan pelatihan-pelatihan kepada siswa-siwa SMA atau SMK di sana.
”Tapi, untuk masuk ke sana (politeknik), harus fight karena ada kualitas yang harus kami jaga. Namun, sekarang ini, di politeknik sudah banyak yang berasal dari Indonesia timur. Intinya, kami melakukan apa yang kami bisa lakukan (untuk masyarakat setempat), tapi pada akhirnya tetap semua kembali ke masing-masing,” ujar Barus.
Tapi, untuk masuk ke sana (politeknik), harus fight karena ada kualitas yang harus kami jaga. (Alexander Barus)
Sebelumnya, dalam diskusi ”Tantangan dan Kebijakan Hilirisasi di Indonesia”, di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (15/9/2023), Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menuturkan, tantangan paling krusial dalam hilirisasi ialah SDM.
Saat ini, Indonesia bekerja sama dengan perguruan tinggi di China, khususnya pada jurusan metalurgi dan materials science. ”Juga ada perusahaan nikel bahan baku baterai (HPAL), yang saat mulai konstruksi (di Indonesia), merekrut 35 orang Indonesia untuk disekolahkan S-2 di China. Saat pembangunan pabrik selesai, mereka kembali untuk mengoperasikannya. Saat ini sudah batch kedua,” katanya.