Fragmentasi Pasar Komoditas Dunia dan Dampaknya bagi Indonesia
IMF menyebutkan pasar komoditas dunia telah terfragmentasi menjadi dua blok besar pendukung Rusia dan Ukraina. Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim akan semakin membuat tantangan global semakin berat.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·5 menit baca
Pasar komoditas dunia telah terfragmentasi pascaperang Rusia-Ukrania. Banyak negara yang membatasi perdagangan komoditas, terutama pangan dan mineral, sehingga membuat harganya melonjak tinggi. Jika hal itu tidak segera diatasi, ketahanan pangan dan transisi hijau bisa terancam. Ketahanan pangan bahkan semakin tertekan akibat dampak cuaca ekstrem.
Hal itu mengemuka dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang Fragmentasi Geoekonomi Mengancam Ketahanan Pangan dan Transisi Energi Bersih. Laporan itu merupakan salah satu bagian dari Tinjauan Ekonomi Dunia IMF Oktober 2023 yang dirilis, Selasa (3/10/2023), di Washington, Amerika Serikat, waktu setempat.
IMF menyebutkan, pada 2022, kerugian ekonomi dunia akibat fragmentasi komoditas sebesar 0,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) global yang senilai 101,003 triliun dollar AS. Nilai kerugian itu masih relatif kecil karena ada efek penyeimbang di negara-negara produsen dan konsumen kendati beban terbesarnya ditanggung negara-negara berpenghasilan rendah dan rentan.
Namun, negara-negara berpenghasilan rendah dan rentan dapat mengalami kerugian ekonomi jangka panjang rata-rata sebesar 1,2 persen PDB. Bagi beberapa negara, kerugiannya bisa mencapai 2 persen PDB. Faktor penyebab yang paling dominan adalah gangguan impor pangan karena negara-negara tersebut sangat bergantung pada pangan yang didatangkan dari negara lain.
Negara-negara berpenghasilan rendah dan rentan dapat mengalami kerugian ekonomi jangka panjang rata-rata sebesar 1,2 persen PDB.
Fragmentasi pasar komoditas global menjadi dua blok geopolitik itu mencuat sejak perang Rusia-Ukraina. Hal itu dapat menyebabkan perbedaan harga yang besar antarblok pendukung Rusia, termasuk China, dan pendukung Ukraina, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, khususnya komoditas pertanian dan mineral. Bahkan, satu negara produsen komoditas saja yang mengalihkan kesetiaan geopolitiknya dapat memicu fluktuasi harga yang signifikan.
Sejak itu, banyak negara yang membatasi perdagangan komoditas, baik itu terkait dengan blok maupun tidak. Selain itu, tekanan, khususnya di sektor pangan, bertambah berat karena faktor perubahan iklim.
”Cuaca ekstrem yang berdampak pada penurunan hasil panenan komoditas pertanian akan semakin memperburuk stok pangan dunia,” kata Ekonomi Departemen Riset IMF Jorge Alvarez.
Kendati tren harga komoditas global pada tahun ini mulai turun dibandingkan tahun lalu, fragmentasi pasar komoditas telah menyebabkan harga komoditas pangan, energi, dan mineral naik. Di sektor pangan, kenaikan harga terjadi pada gandum dan minyak nabati, termasuk minyak sawit (CPO). Di sektor mineral, harga batubara dan nikel melambung tinggi. Demikian juga di sektor energi, harga minyak mentah dan gas alam naik cukup signifikan.
Selain berdampak pada kenaikan harga dan terhambatnya akses pangan impor, fragmentasi komoditas global dapat menghambat transisi energi. Untuk mencapai target emisi nol karbon, permintaan bahan tambang mineral, seperti litium, nikel, kobalt, mangan, dan grafit, akan meningkat beberapa kali lipat di tahun-tahun mendatang.
Bahan-bahan tambang itu terkonsentrasi di sejumlah negara, sehingga fragmentasi pasar komoditas dapat menyebabkan pergerakan dan perdagangan komoditas itu terhambat. Investasi di sektor transisi energi juga dapat turun signifikan lantaran akan mengarah pada negara-negara mitra dalam satu blok.
Hasil simulasi IMF menyebutkan, jika perdagangan mineral penting antarblok terganggu, investasi pada energi terbarukan dan kendaraan listrik pada 2030 bisa turun 30 persen. Hal ini dapat memperlambat mitigasi perubahan iklim.
Jika perdagangan mineral penting antarblok terganggu, investasi pada energi terbarukan dan kendaraan listrik pada 2030 bisa turun 30 persen.
Untuk mengatasi hal itu, IMF menekankan pentingnya kerja sama multilateral baik untuk memperkuat rantai pasok pangan maupun pembentukan koridor hijau untuk menjaga aliran mineral penting. Para pembuat kebijakan juga harus berupaya memitigasi risiko dan berkembangnya fragmentasi pasar komoditas global.
Langkah-langkah itu perlu ditopang dengan kebijakan makroekonomi, struktural, dan fiskal yang kuat. Termasuk di dalamnya mencakup jaring pengaman sosial dan persiapan menghadapi gangguan pasokan komoditas, baik pangan, energi, maupun mineral.
Untung-rugi Indonesia
Di tengah fragmentasi pasar komoditas global, Indonesia yang berada pada posisi netral atau nonblok tetap terkena imbasnya. Dampak langsung yang dialami Indonesia adalah kenaikan harga gandum dunia telah menyebabkan harga tepung terigu di dalam negeri naik cukup signifikan. Harga gandum dunia berada di level tertinggi sepanjang sejarah, yakni 1.177,5 dollar AS per gantang (1 gantang sama dengan 27,2 kg) pada 9 Mei 2023.
Hal serupa juga terjadi pada kedelai yang harga tertingginya pernah mencapai 1732,25 dollar AS per gantang. Indonesia merupakan negara pengimpor gandum dan kedelai. Pada 2022, impor gandum Indonesia sebanyak 9,45 juta ton dan kedelai 2,32 juta ton.
Di tengah dampak El Nino yang melanda sejumlah negara produsen pangan, Indonesia juga tertatih-tatih mendatangkan beras dari sejumlah negara lain. Hal itu terjadi saat India melarang ekspor beras jenis tertentu, serta Thailand dan Vietnam mulai mengurangi ekspor beras untuk mencukupi kebutuhan domestik di tengah musim kemarau.
Saat meninjau operasi pasar beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (4/10/2023), Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menegaskan pentingnya stabilisasi harga dan stok beras di dalam negeri baik melalui impor maupun peningkatan produksi dalam negeri. Ia juga menekankan pentingnya proses stabilisasi itu berjalan beriringan dengan penegakan hukum.
Menurut Erick, kebijakan impor beras harus melihat atau tidak boleh mengabaikan produksi dalam negeri. Artinya, kebijakan impor itu harus melihat basis data produksi dalam negeri agar tidak merugikan petani.
”Keterbatasan stok beras juga acapkali menimbulkan area abu-abu yang dapat dimanfaatkan oknum yang ingin mencari keuntungan sesaat. Pemerintah melalui Satuan Tugas Pangan dapat menindak tegas para oknum tersebut,” ujarnya.
Erick memastikan stok beras di dalam negeri aman karena Perum Bulog masih memiliki stok beras sebanyak 1,7 juta ton per Oktober 2023. Pada November 2023, stok beras Bulog diperkirakan bisa bertambah menjadi 2 juta ton.
Kebijakan impor beras harus melihat atau tidak boleh mengabaikan produksi dalam negeri.
Selain itu, pemerintah juga telah menggulirkan bantuan pangan senilai Rp 8 triliun kepada 21,35 juta keluarga berpenghasilan rendah pada September, Oktober, November 2023. Ada kemungkinan pemerintah akan memperpanjang bantuan itu pada Desember 2023 dan Januari 2024.
Namun, di sisi lain, Indonesia juga memetik keuntungan atas kondisi global tersebut. Harga CPO melonjak tinggi dan pernah menembus 7.104 dollar AS per ton 25 April 2023. Selain itu, Indonesia juga mendapatkan berkah kenaikan harga nikel, serta investasi pengolahan nikel, baterai kendaraan listrik, dan kendaraan listrik. Investasi tersebut berasal antara lain berasal dari China, Korea Selatan, dan Inggris.
Survei United States Geological pada 2022 menyebut cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta ton atau setara dengan 22 persen dari cadangan nikel global. Dengan total produksi sebesar 1 juta ton pada 2021, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara penghasil nikel, jauh di atas Filipina dengan produksi 370.000 ton dan Rusia dengan 250.000 ton.