Peningkatan nilai tambah mineral dan batubara terus dilakukan. Namun, Indonesia perlu ke tahap yang lebih maju lagi, yaitu mendorong tumbuhnya industrialisasi penyerap produk smelter di dalam negeri.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memerlukan setahap lebih maju dari program hilirisasi mineral tambang di dalam negeri, yaitu industrialisasi. Hanya dengan industrialisasi, semua produk hilirisasi mineral bisa terserap dan terjadi peningkatan nilai tambah yang lebih optimal. Sejumlah pekerjaan rumah perlu diselesaikan untuk menuju tahap industrialisasi tersebut.
Demikian benang merah diskusi ”Kesiapan Industri Pendukung dalam Menyerap Produk Hilirisasi”, Selasa (3/10/2023), di Jakarta, yang diselenggarakan harian Kompas dan Indonesian Mining Association (IMA). Narasumber diskusi adalah Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Irwandy Arif, Wakil Ketua IMA Ezra Sibarani, Ketua Komite Tetap Mineral dan Batubara Kadin Indonesia A Rizqi Darsono, dan CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus.
Irwandy menyampaikan, dalam mendukung hilirisasi, Kementerian ESDM terus melakukan optimalisasi peningkatan mineral dan batubara di Indonesia. Setelah itu, agar sampai ke tahap industrialisasi, ada pekerjaan rumah bersama Kementerian ESDM dengan Kementerian Perindustrian.
”Harus ada kebijakan bersama (terpadu) agar industri hilir di bawah Kementerian ESDM dan smelter-smelter independen berjalan baik. Pengawasannya harus dilakukan bersama. Di Kementerian ESDM, setiap komoditas sudah memiliki pohon industri sampai ke hilir,” kata Irwandy.
Kementerian ESDM juga telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 296 Tahun 2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam Klasifikasi Mineral Kritis yang ditetapkan pada 14 September 2023. Dalam peraturan itu, ada 47 jenis mineral kritis, termasuk di antaranya aluminium, kobalt, litium, nikel, tembaga, dan timah.
Klasifikasi mineral kritis itu, ujar Irwandy, bukan hanya untuk hilirisasi. ”Namun, untuk benar-benar dipikirkan tata kelola dan strateginya. Bagaimanapun rantai pasok mineral kritis ini akan dibutuhkan untuk industri strategis nasional. Beberapa sudah dilarang ekspor dalam bentuk bijih. Nikel dan bauksit sudah, nanti juga yang lain. Pelarangan ini dengan pertimbangan-pertimbangan matang untuk perkembangan industri ke depan,” tuturnya.
Ezra menambahkan, menghubungkan hilirisasi mineral dengan industrialisasi menjadi pekerjaan rumah bersama antarseluruh pemangku kepentingan. Menurut dia, harus ada keselarasan antara pemerintah dan pelaku usaha dalam hal kebijakan, grand strategy, pembukaan pintu investasi, dan komunikasi yang terjalin baik.
”Di sisi hilir, diperlukan keseimbangan antara sumber daya mineral dan smelter di dalam negeri. Jangan sampai, misalnya, 15 tahun ke depan saat tren kendaraan listrik berada di puncak, sumber daya (nikel)-nya sudah tidak ada (untuk diolah dan dimurnikan di smelter),” ujar Ezra.
Oleh karena itu, lanjut Ezra, pemerintah perlu mengundang investor untuk mengeksplorasi lebih lanjut demi meningkatkan cadangan mineral di Indonesia. Dengan demikian, akan ada kesinambungan dan keberlanjutan program hilirisasi dalam rangka memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
Investasi dan energi
Sementara itu, Rizqi berpendapat, ada sejumlah tantangan yang dihadapi pelaku usaha dalam mewujudkan industrialisasi dalam negeri. Tantangan itu, antara lain, masalah pembiayaan atau investasi, sumber energi yang murah dan ramah lingkungan, serta terciptanya pasar sebagai penyerap produk industrialisasi.
”Investasi itu yang utama. Pelaku usaha masih dibebani biaya bunga yang tinggi dari perbankan dalam negeri. Begitu juga untuk penyediaan sumber energi listriknya. Agar efisien, biaya listrik harus murah. Sementara ada tuntutan listrik yang digunakan bersumber dari energi terbarukan. Padahal, selama ini yang paling murah dan pasokannya stabil baru dari batubara,” kata Rizqi.
Bagi pelaku usaha, lanjut Rizqi, sudah tidak ada masalah untuk hilirisasi mineral di dalam negeri. Justru yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana menciptakan pasar selaku penyerap produk industrialisasi yang menjadi tahap lanjutan setelah hilirisasi. Menurut dia, dibutuhkan peran besar pemerintah dalam menciptakan pasar tersebut.
Faktor penting lainnya dalam mengoptimalkan hilirisasi dan mewujudkan industrialisasi dalam negeri, menurut Barus, adalah kapasitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Ia mengakui, Indonesia masih membutuhkan kemampuan teknologi dari negara lain selaku investor. Namun, sulit diharapkan investor tersebut memberikan alih teknologi kepada Indonesia.
”Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus memperbesar dana riset dan pengembangan (untuk teknologi hilirisasi) agar semua berjalan optimal. Begitu juga pengiriman tenaga kerja ahli ke luar negeri untuk meningkatkan kapasitas mereka,” ucap Barus.
Barus menambahkan, dari sisi tenaga kerja, diakui memang di awal investasi atau operasi industri pengolahan dan pemurnian di Morowali, Sulawesi Tengah, masih banyak menggunakan tenaga kerja asing. Namun, lambat laun tenaga kerja lokal lebih dominan. Di IMIP, dari sekitar 97.000 tenaga kerja, kurang dari 10 persen tenaga kerja asing.