Hotel Didorong Konservasi Energi
Pemberlakuan konservasi energi di sektor perhotelan dinilai perlu memastikan tidak menimbulkan biaya tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha perhotelan didorong mulai menerapkan penghematan energi dan menurunkan emisi karbon. Pelaksanaan konservasi energi tersebut akan diikuti skema insentif dan disinsentif bagi badan usaha.
Penerapan konservasi energi bagi subsektor akomodasi itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi, tanggal 16 Juni 2023, yang merupakan perubahan atas PP No 70/2009 tentang Konservasi Energi.
Koordinator Pengembangan Usaha Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Devi Laksmi mengemukakan, ketentuan konservasi energi bertujuan melestarikan sumber daya energi dalam negeri dan pemanfaatan energi yang lebih efisien. Penerapan konservasi energi melalui manajemen energi berlaku untuk penyedia energi, pengguna sumber energi, dan pengguna energi, meliputi badan usaha, pemerintah, ataupun rumah tangga.
PP No 33/2023 memperluas cakupan konservasi energi pada bangunan gedung komersial, termasuk hotel, dan sektor transportasi. Konsumsi energi untuk sektor bangunan gedung dibatasi 500 ton setara minyak (TOE) per tahun atau setara penggunaan listrik 5,8 gigawatt per jam (GWh) per tahun. Sementara itu, pemanfaatan energi untuk sektor transportasi dan sektor industri dibatasi 4.000 TOE per tahun.
Sebelumnya, PP No 70/2009 hanya mengatur kewajiban konservasi energi pada penyedia energi di sektor ESDM, seperti pembangkit, pemurnian (kilang), dan pertambangan, serta industri lahap energi, antara lain semen dan pupuk, dengan pemanfaatan energi dibatasi 6.000 ton TOE per tahun. Pada tahun 2022, jumlah yang melaporkan konservasi energi 242 perusahaan, meliputi sektor industri dan ESDM. Konsumsi energi total tercatat 852.126 GWh, penghematan energi sebesar 20,461 GWh, sedangkan penurunan emisi 11.727.813 Ton Co2 eq.
”Mulai tahun depan, pelaporan (manajemen energi) dari sektor hotel dan transportasi sudah masuk,” ujar Devi dalam Peluncuran Rencana aksi Mitigasi Pengurangan Emisi dari Subsektor Akomodasi, yang diselenggarakan secara hibrida, oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Selasa (3/10/2023).
Baca juga: Mulai Transisi dan Konservasi Energi dari Level Komunitas
Saat ini, sekitar 60 persen penggunaan energi terbesar di bangunan gedung adalah untuk tata udara, seperti AC, diikuti oleh tata cahaya. Hotel atau gedung komersial yang mengonsumsi energi melebihi 500 TOE per tahun terkena kewajiban melaksanakan konservasi energi melalui manajemen energi. Konservasi energi di sektor hotel dan akomodasi dinilai mendukung sektor pariwisata rendah karbon.
Manajemen energi meliputi penunjukan manajer energi dan penyusunan program efisiensi energi di internal hotel atau gedung komersial lain. Selain itu, audit energi secara berkala oleh auditor bersertifikasi, serta pelaporan manajemen energi melalui platform aplikasi. Pemenuhan kriteria akan ditandai dengan pencantuman standar kinerja energi minimum atau label tanda hemat energi.
”Dengan regulasi ini, kami mendorong pengembangan usaha jasa konservasi energi, membuka pasar dengan kewajiban audit energi yang dilakukan badan usaha untuk sektor industri, ESDM, transportasi, hotel dan gedung,” katanya.
Devi menambahkan, kewajiban konservasi energi untuk bangunan gedung juga diberlakukan untuk gedung yang dikelola kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah. Manajemen energi itu dilaporkan secara berjenjang ke Kementerian ESDM.
Insentif dan disinsentif
Devi mengemukakan, pemerintah menyiapkan insentif fiskal dan nonfiskal untuk penerapan konservasi energi. Insentif berupa pelatihan, dukungan sertifikasi manajer energi, dan auditor energi. Pengendalian konsumsi energi dinilai dapat menciptakan efisiensi energi sebelum industri beralih atau melakukan transisi ke energi baru terbarukan.
Sementara itu, disinsentif akan diterapkan untuk pengelola gedung komersial atau badan usaha lain yang memiliki konsumsi energi melebihi 500 TOE, tetapi tidak melaksanakan konservasi energi melalui manajemen energi, serta tidak menyampaikan pelaporan lewat platform digital. Disinsentif itu berupa pemberian peringatan, hingga mencabut insentif yang sudah diberikan.
Uji coba pengukuran emisi dan penyusunan aksi mitigasi pada hotel dan resor telah dilakukan di Nusa Dua, Bali, pada 27-29 September 2023, serta pelatihan. Survei dilakukan bekerja sama dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Baca juga: Sektor Energi Bersiap Ramaikan Bursa Karbon Nasional
Heri Tabadepu, National Project Coordinator UNDP Indonesia, mengemukakan, dari survei penggunaan energi dan pengelolaan sampah pada 20 hotel di Nusa Dua, tercatat enam hotel yang mengonsumsi energi melebihi 500 TOE per tahun. Konsumsi energi oleh salah satu hotel mencapai 4.721 TOE per tahun. Pemanfaatan rata-rata energi di hotel didominasi oleh listrik sebesar 69 persen, dan gas 31 persen.
”Pola penggunaan energi dan pengelolaan sampah tidak hanya terkait okupansi, tetapi juga penyelenggaraan acara di hotel, seperti pernikahan, pergelaran, dan pertemuan,” kata Heri.
Ia menambahkan, sumber emisi paling besar di sektor pariwisata adalah transportasi dari daerah atau negara asal wisatawan, penggunaan energi, serta pengelolaan sampah yang masih belum terorganisasi dengan baik. Gas metana yang dihasilkan sampah, misalnya, merupakan sumber gas rumah kaca dengan emisi tinggi. Namun, sebagian hotel telah mengimplementasikan efisiensi energi melalui pengembangan teknis peralatan konsumsi energi.
Asisten Deputi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kosmas Harefa mengemukakan, pengurangan emisi karbon merupakan tanggung jawab seluruh pihak. Meski demikian, kewajiban konservasi energi sebagai bagian dari tumbuhnya industri pariwisata, khususnya sektor akomodasi, perlu dipastikan tidak menambah beban pelaku usaha, serta proses sertifikasi yang rumit dan berbiaya tinggi.
Pemerintah dinilai harus menjadi contoh terhadap pemberlakuan sistem konservasi energi. Diperlukan kejelasan parameter dan indikator yang bisa diterapkan oleh seluruh sektor. Di sisi lain, pelaku usaha harus juga memiliki tanggung jawab lingkungan yang semakin besar, dan tidak sekadar mencari keuntungan.
”Perlu penyiapan seluruh material pendukung sehingga prosesnya tidak memberatkan dan terkesan menimbulkan biaya mahal. Apalagi, di tengah situasi kita dalam periode untuk keluar dari keterpurukan akibat kondisi ekonomi yang lalu,” kata Kosmas.