Tantangan Kemandirian dan ”Angka Indah” Target Transisi Energi
Target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025 menyisakan gap menganga. Hingga akhir 2022, realisasi baru 12,3 persen.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Transisi energi dari fosil ke energi terbarukan tak terelakkan seiring komitmen Indonesia dalam mencapai target-target dekarbonisasi. Namun, ada sejumlah tantangan menanti, seperti kemandirian industri energi terbarukan hingga peningkatan konsumsi listrik di tingkat nasional. Ketepatan asumsi dan penggunaan pengalaman menjadi faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya target energi terbarukan.
Komitmen yang diikrar oleh Indonesia di antaranya ialah enhanced nationally determined contribution (ENDC), yakni pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Kemudian, capaian emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Langkah untuk menggapai target itu menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk setiap tahun. Untuk jangka pendek, misalnya target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025 menyisakan gap menganga. Sebab, hingga akhir 2022 realisasi baru 12,3 persen. Energi terbarukan tumbuh, tetapi energi fosil pun tumbuh seiring peningkatan permintaan energi.
Di tengah sederet tantangan itu, investasi, dalam dan luar negeri, diperlukan dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, perlu perencanaan dan peta jalan pengembangan industri energi terbarukan dalam negeri. Jangan sampai Indonesia seterusnya bergantung kepada negara lain dalam pemenuhan infrastruktur dan teknologi energi terbarukan.
Hal itu mengemuka dalam seminar ”Perspektif Akademik Manuju Industri Kelistrikan yang Sehat untuk Mendukung Transisi Energi” yang digelar Engineering Research and Innovation Center (ERIC) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), secara hibrida, Jumat (29/9/2023) lalu.
Pakar energi yang juga Guru Besar Bidang Ilmu Power and Energy System UGM Tumiran menuturkan, Indonesia harus menjadi tuan rumah dalam penguasaan dan pengembangan energi ke depan. Generasi muda mesti bersiap menjadi pemegang kendali demi terciptanya kemandirian energi di masa mendatang.
”Jangan sampai Indonesia menjadi pasar impor dari produk-produk teknologi. Bagaimana agar ada industri kelistrikan yang sehat untuk mendukung transisi energi. Artinya, (perusahaan energi) keuangan dan tata kelola perusahaannya baik serta peralatan-peralatan pendukungnya harus hidup dari industri yang ada di Indonesia,” kata Tumiran.
Ekonomi baru
Tumiran, yang merupakan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2009-2014 dan 2014-2019, menyatakan, pengembangan energi terbarukan harus menciptakan ekonomi baru di sektor energi. Artinya, ada industri yang tumbuh, lapangan kerja baru tercipta, ada penguasaan teknologi, serta meningkatnya ketahanan energi.
Saat ini, menurut Tumiran, cita-cita tersebut belum terwujud. Oleh karena itu, bersama sejumlah akademisi lain, pihaknya tengah menyusun buku mengenai transisi energi, untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah. Hal itu diharapkan menjadi kontribusi dalam mendukung kemandirian dalam penguasaan energi ke depan.
Kemandirian industri pendukung juga akan membawa hal positif bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). ”Kalau industri sehat, PLN harus bagus. PLN dibikin sehat dengan harapan menjadi offtaker (pembeli) energi yang bertumbuh,” ujar Tumiran.
Adapun Indonesia tengah mengembangkan rantai pasok industri energi terbarukan, mulai dari pasir silika, membuat photovoltaic (panel surya), hingga pembangkit listrik tenaga surya di Batam, Kepulauan Riau. Indonesia juga menjalin kerja sama dengan Singapura, termasuk nantinya untuk mengekspor listrik rendah karbon ke negara itu.
”Kita tak hanya menciptakan bisnis dan produksi besar kelistrikan rendah karbon yang bisa dibagi bersama negara-negara tetangga. Namun, juga menciptakan industri panel surya serta baterai di Indonesia, yang akan menghadirkan banyak kesempatan kerja bagi masyarakat,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin, beberapa waktu lalu.
Pakar energi sekaligus Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS Mukhtasor menuturkan, realisasi capaian energi terbarukan tergantung dari asumsi dan pengalaman yang dimiliki, apakah kemudian digunakan atau tidak. Ketepatan asumsi itu akan menentukan apakah energi terbarukan terealisasi atau tidak.
Dari tahun ke tahun, berganti pemerintahan, target angka-angka (tahun) energi terbarukan kerap berubah. ”(Karena itu), saya minta agar asumsi kita diyakinkan tepat dan pengalaman yang berubah-berubah ini menjadi pegangan. Apakah ’angka-angka indah’ itu akan tercapai atau tidak?” ujar Mukhtasor, yang juga anggota DEN 2009-2014.
Apakah ’angka-angka indah’ itu akan tercapai atau tidak?
Dalam mengembangkan atau melakukan transisi energi, lanjut Mukhtasor, faktor geopolitik berperan. Sejak era awal fosil, sejumlah perusahan dari negara-negara maju menguasai pasokan energi di dunia. Kini, di era transisi energi, peta persaingan penguasaan energi juga masih relatif belum berubah.
Oleh karena itu, prospek energi terbarukan yang dimiliki Indonesia mesti diamankan dengan peningkatan kapasitas di segala lini, termasuk pendanaan. ”Begitu juga inovasi dan teknologi yang harus dikolaborasikan. PLN harus memimpin ini dengan mengambil (menguasai) kemampuan terbaik, termasuk finansial,” katanya.
Kepala Satuan Supply Chain Management and Procurement PLN Indonesia Power Cita Dewi menuturkan, pada 2020 atau tahun pertama pandemi Covid-19, pemakaian listrik tumbuh negatif 0,78 persen. Namun, pada tahun-tahun selanjutnya hingga sekarang kembali meningkat dengan stabil, dengan rata-rata 5,7 persen.
Stabilitas pemakaian energi listrik menjadi salah satu kunci dalam transisi energi. ”Apabila ingin mencapai transisi energi yang diinginkan, kita tidak hanya fokus pada masalah pasokan, tetapi juga bagaimana hilirnya. Artinya, (perlu diseimbangkan dengan) konsumsi energi listriknya,” ucap Cita.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga akhir 2022, konsumsi listrik di Indonesia hanya 1.173 kilowatt jam (kWh) per kapita atau di bawah target 2022 yang 1.268 kWh per kapita. Angka tersebut di bawah rata-rata negara Asia Tenggara, sekitar 3.672 kWh per kapita.
”Padahal, berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), untuk mencapai (target transisi energi) pada 2050, konsumsi listriknya sekitar 6.500 kWh per kapita. Target di RUEN tinggi sekali. Jadi, kesiapan pasokan listrik sangat berpengaruh, tetapi permintaan juga memegang kendali dalam transisi energi,” ucap Cita.
Semakin merata
Di sisi lain, distribusi kelistrikan diupayakan semakin merata. Menurut data Kementerian ESDM hingga akhir 2022, rasio elektrifikasi di Indonesia ialah 99,63 persen. Sementara rasio desa berlistrik 99,79 persen. Ada 318.470 rumah tangga dan 199 desa yang belum berlistrik. Karakteristik negara kepulauan menjadi salah satu tantangan.
Cita menuturkan, dalam memenuhi konsep trilema energi—yang salah satunya adalah energi dapat diterima masyarakat secara andal—PLN akan membangun jaringan listrik interkoneksi yang lebih fleksibel. Dengan demikian, sistem itu juga dapat mengakomodasi sumber energi terbarukan yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia.