Penyaluran Subsidi Salah Sasaran Pertalite Mendesak Diatasi
Pada 2022, pemerintah menyampaikan bahwa distribusi pertalite tak tepat sasaran. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional, pertalite lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan mampu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak kian mendesak diterbitkan. Apabila tidak dilakukan, potensi distribusi salah sasaran pertalite, bahan bakar minyak bersubsidi, kian membesar di tengah meningginya harga minyak mentah dunia.
Per 1 Oktober 2023, PT Pertamina (Persero) menaikkan harga sejumlah BBM nonsubsidi, termasuk pertamax. Harga pertamax naik dari Rp 13.300 per liter menjadi 14.000 per liter. Dengan harga baru tersebut, ada disparitas harga sebesar Rp 4.000 per liter dengan harga pertalite yang dijual seharga Rp 10.000 per liter.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, Senin (2/10/2023), mengemukakan, semakin tinggi disparitas antara harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi, maka kemungkinan masyarakat beralih semakin besar. Dalam hal ini, jika semakin banyak masyarakat yang menggunakan pertalite, akan semakin besar juga subsidi yang disalurkan oleh negara.
”(Migrasi) seperti ini tidak bisa dihindari mengingat perangkat regulasi yang mengatur siapa masyarakat yang berhak untuk membeli pertalite belum ada. Dengan demikian, semua kalangan masyarakat masih bisa membeli,” ujarnya.
Oleh karena itu, imbuh Daymas, pengesahan regulasi yang mengatur pembeli pertalite menjadi pilihan mendesak yang dapat segera dilakukan di tengah meningginya harga minyak mentah. Apabila tidak dilakukan, potensi ketidaktepatsasaran bisa terus terjadi saat harga minyak meninggi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, di Jakarta, Senin, mengakui, disparitas harga pertalite dan pertamax membuka potensi terjadinya migrasi. Ada kemungkinan pengguna pertamax berganti menggunakan pertalite yang harganya lebih murah.
”Kemungkinan itu ada, tetapi jumlahnya saya kira tidak banyak,” ujar Tutuka. Di samping itu, pihaknya juga terus memantau pergerakan harga minyak mentah, yang saat ini ada kecenderungan turun kembali. Per Senin sore, berdasarkan data Trading Economics, harga minyak mentah jenis Brent tercatat 92,4 dollar AS per barel atau lebih rendah dibandingkan dengan kemarin yang sempat menyentuh 95 dollar AS per barel.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan akan berbicara dengan sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN guna membuat distribusi pertalite lebih tepat sasaran. Pasalnya, saat ini belum ada regulasi yang mengatur siapa saja yang berhak membeli pertalite.
Pada 2022, saat harga minyak mentah menembus lebih dari 100 dollar AS per barel, pemerintah menyampaikan bahwa distribusi pertalite, jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, tak tepat sasaran. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2020, pertalite lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan mampu.
Setelah kenaikan harga pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter pada 3 September 2022, pemerintah juga menyiapkan revisi Perpres No 191/2014. Namun, kemudian harga minyak mentah cenderung melandai hingga akhirnya kelanjutan revisi perpres menjadi tidak jelas.
Berdasarkan catatan Kompas, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) beberapa kali menyampaikan skenario dalam revisi perpres itu. Misalnya, semua sepeda motor tetap boleh mengonsumsi pertalite kecuali yang kapasitas mesinnya di atas 150 cc. Adapun untuk mobil, semua mobil pelat hitam dengan kapasitas mesin tak lebih dari 1.400 cc dibolehkan menggunakan pertalite.
Tutuka mengakui ada rencana untuk mengangkat kembali revisi Perpres No 191/2014. ”(Rencana) itu yang pernah kami sampaikan, bahwa BBM, untuk jenis BBM khusus penugasan (BBM bersubsidi), harus tepat sasaran. (Dengan kementerian lain), komunikasinya sudah berjalan,” ucap Tutuka.
Adapun Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting berharap tidak terjadi migrasi pengguna pertamax ke pertalite. Di sisi lain, menurut dia, para pengguna pertamax umumnya sudah memahami jenis BBM yang sesuai untuk kendaraannya.
”Harapannya konsumen pengguna BBM nonsubsidi tidak migrasi ke pertalite. Segmen ini umumnya memahami perlunya BBM yang sesuai dengan spesifikasi kendaraannya,” ujar Irto.